Pitu

Laki-laki dengan ikat kepala hitam lusuh itu berhenti. Raut wajahnya terlihat datar, tanpa ekspresi. Dia mengelus-elus tongkat yang bergambar kepala harimau.

"Untuk apa Njenengan datang kemari? Masuk rumah tanpa ijin," ucap Narsih dengan suara bergetar. Dia ketakutan, tapi tetap berusaha untuk tenang.

Ki Mangun menghela nafas, kemudian menoleh. Ekspresinya masih tetap sama. Terlihat datar dan dingin.

"Apakah semalam kamu ada di dalam rumah ini Nduk?" Ki Mangun balik bertanya. Narsih mengangguk perlahan.

"Berarti kamu melihat apa yang sudah dilakukan warga pada Ki Darso. Termasuk perbuatanku melumpuhkannya. Kamu pun mengenaliku mungkin dari Ki Darso. Dan kurasa kamu sudah mendengar pesan darinya, agar tidak dekat denganku. Bisa saja aku diceritakan sebagai sosok jahat tak berperi kemanusiaan. Sehingga saat melihatku, wajahmu tidak lagi mampu menyembunyikan rasa takut," cerca Ki Mangun.

Narsih ternganga. Semua tebakan Ki Mangun benar adanya. Apakah laki-laki tua itu asal menerka? Atau jangan-jangan memang bisa membaca isi hati Narsih? Perempuan itu memilin ujung bajunya, dan mundur selangkah karena merasakan takut yang kian menggerogoti nyali.

"Aku tidak akan menyakitimu Nduk. Dan sebenarnya aku juga tidak ada niatan untuk menyakiti siapapun. Hidup bermasyarakat itu memang tidak gampang. Ada norma, adat istiadat, pakem yang harus dipatuhi. Jika dalam kehidupanmu melanggar itu semua, pada akhirnya kamu akan diasingkan dan dianggap berbeda. Hal itulah yang terjadi pada Darso," ucap Ki Mangun. Suaranya lirih namun terdengar jelas dan mengintimidasi.

"Lalu orang yang dianggap berbeda harus diadili?" sergah Narsih cepat.

"Seperti rumput liar di tengah tanaman bunga yang indah. Harus dicabut," balas Ki Mangun.

"Dimana Darso sekarang?" tanya Narsih dengan nada suara yang semakin tinggi. Entah darimana dia mendapatkan keberanian untuk sedikit membentak laki-laki tua di hadapannya.

Ki Mangun diam saja. Mata sayu renta itu memandangi Narsih. Jari tangannya semakin erat menggenggam tongkat. Narsih menelan ludah. Timbul kekhawatiran di benaknya, bagaimana jika Ki Mangun marah? Tentu dukun itu akan mudah memantrai dan melumpuhkan Narsih.

"Tujuanku kemari hanya berkunjung. Tidak lebih dari itu," ucap Ki Mangun. Laki-laki sepuh itu tidak menjawab pertanyaan terakhir Narsih. Dia berbalik badan, dan pergi meninggalkan Narsih. Namun baru tiga langkah, Ki Mangun berhenti kembali.

"Jika kamu membutuhkan bantuan, apapun itu, silahkan datang ke rumahku," tukas Ki Mangun. Laki-laki tua itu melangkah kembali. Kini lebih cepat. Dalam sekejap saja, punggung yang sedikit bongkok termakan usia sudah hilang di pandangan Narsih.

Sedikit terhuyung, Narsih duduk di teras depan. Setelah bertemu langsung dengan Ki Mangun, Narsih merasa laki-laki tua itu bukan sosok yang jahat. Meskipun dia gemetar ketakutan karena aura Ki Mangun yang kuat, namun sorot mata sang dukun tidak menunjukkan kejahatan. Berbeda dengan cara memandang Darso kemarin, yang terasa seolah hendak menerkam Narsih.

"Apa yang dilakukan Ki Mangun di rumah ini?" gumam Narsih penasaran. Narsih jelas melihat Ki Mangun keluar dari dalam rumahnya.

Dengan tergesa-gesa Narsih pun berdiri dari duduknya dan segera mengayunkan langkah memasuki rumah. Dia memperhatikan dengan seksama setiap sudut ruang depan hingga dapur. Tidak ada sesuatu yang aneh. Letak barang-barang pun tidak ada yang berubah.

"Kamar?" ujar Narsih terlonjak. Perempuan itu segera menyingkap kelambu penutup bilik kamar Darso. Matanya kembali nyalang, mengamati. Dan sekali lagi, tidak ada yang terlihat berubah.

Narsih membuka laci, memeriksa kotak kecil yang pagi tadi dia simpan. Masih tetap utuh di tempatnya. Narsih bernafas lega. Namun saat kotak tersebut diangkat, Narsih merasakan keanehan. Kotak terasa lebih ringan. Ketika kotak itu dibuka, sarung keris yang tadi tersimpan di dalamnya telah raib.

Ki Mangun pasti telah mencuri sarung keris, begitu pikir Narsih. Meski dia belum tahu apa fungsi sarung keris itu, tapi kini Narsih meyakini jika sarung keris adalah benda yang sangat penting. Bagaimana dengan kerisnya? Dimana kerisnya? Semakin banyak pertanyaan di benak Narsih. Namun percuma, tidak ada yang bisa menjawab kecuali Darso.

Sementara itu di sudut desa, seorang laki-laki duduk termenung di teras depan rumahnya. Dia bernama Pono, anak Mbah Bayan satu-satunya. Matanya nyalang memandang langit biru dengan beberapa awan putih bersih yang bertumpuk. Bergerak perlahan tertiup sang bayu.

Datang seorang perempuan dengan rambut terurai basah. Sedikit ikal dan kusut. Perempuan itu hanya mengenakan tapih jarik cokelat dengan dadanya yang bulat menggantung. Cukup cantik dengan badan sintal dan kulit kuning langsat yang mulus. Perempuan itu bernama Darmini, istri Pono, menantu Mbah Bayan.

"Melamun terus Mas? Apa nggak sebaiknya kamu bekerja ke sawah atau ke ladang?" tanya Darmini.

"Cerewet!" sambung Pono setengah membentak.

"Bukan cerewet Mas. Tapi persediaan beras juga tinggal sedikit. Sejak kematian Bapak mertua, kita nggak ada pemasukan. Hasil ladang nggak jelas kemana. Aku kan butuh makan Mas. Mosok tiap hari mbok tumpak i tapi nggak mbok pakani," protes Darmini kesal. Bibirnya terlihat lancip sedikit merah merekah.

"Aku juga bingung. Biasanya kan Bapak yang ngurus sawah dan ladang. Bapak sudah nggak ada. Aku nggak ngerti gimana caranya ngurus tanaman," keluh Pono. Laki-laki itu memang terkenal dimanjakan oleh Bapaknya. Dari awal berdirinya desa, Bapaknya Pono memang terkenal cakap dalam bekerja dan bersosialisasi, hingga mendapat sebutan Mbah Bayan. Jauh berbeda dengan Pono.

Hingga akhirnya saat struktur organisasi desa Karang terbentuk, Mbah Bayan benar-benar terpilih sebagai Bayan. Sayangnya belum sempat menikmati bayaran sebagai seorang pimpinan dusun, Mbah Bayan mati secara mendadak.

"Gimana kalau kita jual ladang yang ada di lereng bukit?" usul Pono.

"Kalau begitu terus, semua tanah peninggalan Bapakmu habis kita jatuh melarat Mas," sanggah Darmini.

"Sial! Ini semua gara-gara Darso. Meskipun dia sudah mati, hidupku tetap berantakan. Darso harus bertanggungjawab. Aku akan usul pada sesepuh, agar tanah milik Darso bisa dialihkan padaku sebagai ganti rugi karena Darso sudah mengirim teluh pada Bapak hingga mati. Bukankah itu setimpal? Lagipula Darso tidak memiliki sanak saudara. Untuk apa tanah dan lahan miliknya?" Pono tersenyum. Kumis tipisnya sedikit terangkat.

"Benar juga Mas. Lahan Darso luas kan ya." Darmini bersorak girang.

"Pinter kan suamimu? Makanya jangan banyak protes. Kurangi cerewetmu itu," seloroh Pono. Darmini nyengir. Pono memandangi istrinya yang hanya terbalut selembar kain tipis.

"Apa? Kok memandangiku begitu?" protes Darmini.

"Ya sebagai upah ideku yang pinter, segera masuk rumah sana! Waktunya nggarap sawah. Lepas tapihmu, kita ulangi sekali lagi yang tadi pagi," perintah Pono.

"Mas, rambutku belum kering lho."

"Berisik. Mana bisa kutahan melihatmu begini," tukas Pono, mendaratkan cubitan di dada Darmini. Istrinya tersenyum manja.

Darmini segera berdiri dan berjalan melenggak-lenggok menggoda Pono. Dia masuk ke dalam rumah, kemudian disusul Pono dengan air liur yang mengucur. Mata laki-laki itu membulat buas, siap menerkam.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

ngikik aku....
air liur Sampek netes-netes. kayak anj1ng aja.... xiexiexiexie....

2025-01-24

0

Yuli a

Yuli a

ya kamu Narsih kerisnya... kamu jimat yang dicari-cari itu...

2025-01-24

0

Rose_Ni

Rose_Ni

kerisnya didlm tubuh Narsih kali

2024-01-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!