"Dengan pertimbangan sebagai penerus dari mendiang Mbah Bayan, kami memilih Pono untuk bersaing dengan Wira dalam pemilihan malam ini," ucap Mbah Lurah lantang.
Pono terlonjak girang. Dadanya membusung, lubang hidungnya kembang kempis penuh kebanggaan. Dia sangat yakin warga akan memilihnya. Pono merasa sudah menebar berita tentang kehebatannya. Bukankah kemarin dia telah meminta pada Katimin untuk menceritakan bagaimana dia melawan perampok? Pono yakin kabar akan sangat mudah menyebar dari mulut ke mulut.
Pono mengedarkan pandangan, namun tidak menemukan sosok Katimin. Apa mungkin tidak diundang? Atau berada di barisan belakang?
"Jika sudah menerima kertas, segera tuliskan pilihan Njenengan semua. Tidak perlu ada obrolan. Pilih saja sesuai hati njenengan. Dan segera kumpulkan ke depan," perintah Mbah Lurah. Mbah Bayan Kidul terlihat mengangkat sebuah kotak kayu sebagai wadah untuk kertas aspirasi warga.
Pono pun segera menuliskan namanya di kertas. Saat hendak mengumpulkan kertasnya ke depan, Pono melihat beberapa orang kebingungan menulis. Memang masih cukup banyak warga desa yang buta huruf.
"Ngapunten, ada yang bisa saya bantu Pak?" tanya Pono kalem. Dia terus menerus menyunggingkan senyuman agar terlihat ramah.
"Oh, Nak Pono. Ini aku mau nulis tapi bingung nulisnya gimana," jawab salah seorang Bapak yang mengenakan sarung kotak-kotak.
"Saya bantu Pak. Siapa yang Bapak pilih, saya tuliskan," ucap Pono menawarkan bantuan dan segera meraih kertas yang dipegang Pak Tua.
"Waduh. Tapi gimana ya Nak. Ini sejujurnya Bapak pengen milih Nak Wira," jawab Bapak bersarung kotak-kotak. Kepala Pono langsung berdenyut mendengarnya. Kesal sudah pasti. Amarahnya di ubun-ubun.
"Oh ya nggak pa-pa. Namanya juga pilihan. Bebas tanpa paksaan. Memangnya apa yang membuat Njenengan yakin memilih Mas Wira?" tanya Pono menahan emosinya. Bagaimanapun dia perlu tahu apa keunggulan saingannya.
"Ya mbuh. Pengen aja gitu," sahut Bapak bersarung kotak-kotak.
"Waahh, mungkin karena pengaruh Ki Mangun ya Pak. Saran saja Pak, meski ada peribahasa mengatakan buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya tapi belum tentu juga kehebatan dan bijaknya Ki Mangun nenurun pada Mas Wira. Meski begitu, pilihan tetap di tangan Njenengan. Pengen tetap Wira, atau mungkin diganti saya saja? Atau mau nulis yang lain juga tak tuliskan. Monggo," rayu Pono. Dia terus tersenyum meski dalam hatinya mengumpat dan berkata kotor.
"Yah, katanya Mbah Lurah tadi sesuai hati kan. Aku tetep milih Nak Wira saja," jawab Bapak bersarung kotak-kotak penuh keyakinan.
Pono menggenggam ujung kertas hingga kusut. Ingin rasanya dia merobek kertas dan membuangnya. Tapi Pono tidak kehilangan akal. Dia menuliskan namanya sendiri di kertas dan menyerahkannya kembali pada Pak Tua. Toh Pak Tua bersarung kotak-kotak tidak bisa baca, tidak mengenal huruf, begitu pikir Pono.
"Sudah Pak. Silahkan dikumpulkan ke depan," ucap Pono mengembalikan kertas 'suara' ke pemiliknya.
Dengan cara liciknya, Pono terus berkeliling. Berkedok membantu orang-orang tua, tapi sebenarnya menambah jumlah suara pemilihan untuk dirinya sendiri. Ada belasan orang yang percaya pada Pono. Laki-laki itu semakin yakin, dirinya akan terpilih sebagai Bayan malam ini.
Semua kertas suara sudah terkumpul. Langit merah sudah berganti hitam pekat. Malam sudah datang, bersama hawa dingin yang membuat beberapa orang memilih duduk di dekat obor. Pono duduk di bawah pohon trembesi, menyalakan rokok untuk mengusir kegelisahan.
Keringat dingin mulai menetes di pelipis. Hati Pono gusar. Dia sangat mengharapkan bisa memenangkan pemilihan Bayan. Lututnya pun tak berhenti bergerak, harap-harap cemas.
Tiba waktunya penghitungan suara. Setiap kertas yang dibuka langsung dibaca dan hasilnya ditulis di papan kayu balai desa. Nama pilihan pertama yang muncul adalah Pono.
"Awal yang baik. Lanjut," gumam Pono sendirian, menyesap asap rokoknya dalam-dalam.
Secara beruntun nama Pono muncul lima kali. Laki-laki itu mulai merasa jumawa. Dadanya membusung. Warga terdiam melihat hasil awal penghitungan suara. Banyak yang terlihat berbisik-bisik. Mungkin tidak yakin, Pono ada yang sudi memilih.
Nama yang muncul berikutnya adalah Wira. Kemudian 10 kali berturut-turut nama anak Ki Mangun itu menguasai hasil penghitungan. Beberapa orang nampak bersorak. Pono pun gusar. Membanting puntung rokoknya ke tanah.
Pono menghabiskan lima batang rokok, dan penghitungan pun berakhir. Pemenangnya adalah Wira dengan 53 suara. Pono hanya mendapatkan 18 suara. 20 suara tidak sah karena tulisan tidak terbaca. Mungkin karena pemilih tidak mengenal huruf, buta aksara. Sisa suara tertulis nama-nama secara acak. Orang-orang yang menginginkan jabatan Bayan bukan dipegang oleh Pono ataupun Wira.
Pono tidak terima dengan kekalahannya. Dia berdiri dan merangsek maju di tengah hiruk pikuk kegembiraan pendukung Wira. Dengan tangan terkepal Pono menyibak kerumunan.
"Mbah Lurah. Apa-apaan ini! Bagaimana mungkin orang yang tidak hadir di tempat musyawarah malah menang pemilihan! Bagaimana jika yang terpilih akhirnya menolak untuk menjadi Bayan? Lagipula si Wira itu masih bau kencur! Menikah saja belum. Apa mungkin dia mampu mengatur sebuah dusun, mengatur rumah tangga saja belum ada pengalaman," teriak Pono ngotot. Urat lehernya membesar, seperti hendak meledak saja. Warga terdiam. Semua mata kini tertuju pada Pono. Mbah Lurah menghela nafas panjang.
"Bagaimanapun ini adalah hasil pemilihan yang jujur, adil, dan terbuka Nak Pono. Sebagai bagian dari masyarakat seharusnya Njenengan bisa menerima dengan legowo dan lapang dada," balas Mbah Lurah kalem. Pono masih terlihat kesal.
"Hei Pono. Bukannya aku memintamu menulis nama keponakanku tadi? Kenapa namanya sama sekali tidak muncul di hasil perhitungan? Jangan-jangan kamu malah menulis namamu sendiri di kertasku," celetuk salah seorang warga.
Suasana berubah riuh. Cemoohan dan ejekan mulai tertuju pada Pono. Mbah Lurah meletakkan telunjuk di bibir, mencoba meredakan teriakan-teriakan warga.
"Ah, musyawarah macam apa ini? Hasilnya ndak jelas!" Pono berjalan pergi meninggalkan balai desa. Dia takut dikeroyok warga. Meski begitu Pono tidak ingin mengaku salah apalagi meminta maaf. Pono pergi diiringi sorakan warga yang kesal dengan perilakunya.
Sementara itu saat balai desa riuh dengan pemilihan calon Bayan, Narsih berjalan menyusuri sungai bersama Mbok Ginah dan Tarno dengan obor sebagai penerangan. Mbok Ginah juga membawa bunga tujuh rupa dan sebuah kendi yang ujungnya ditutup dengan daun sirih.
"Kita mau kemana Mbok?" tanya Narsih penasaran.
"Ke tempat pernikahanmu Nduk," jawab Mbok Ginah singkat.
Banyak pertanyaan di benak Narsih. Namun saat melihat Mbok Ginah yang nampak lelah, Narsih memilih untuk diam saja dan menurut. Dimana Wira? Sejak masuk ke dalam kamar di rumah Ki Mangun siang tadi, Narsih tidak lagi melihat batang hidung calon suaminya itu.
Angin bertiup, membuat nyala obor bergerak liar bahkan nyaris padam. Suara katak dan serangga malam ramai bersahut-sahutan. Tarno berkali-kali memegangi tengkuknya yang dingin. Aroma pandan menyeruak di udara. Dia juga merasa ada yang mengikuti di belakang.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Yuli a
curiga sama Wira/ Mbah Mangun. kok pernikahannya agak lain ya...
apa sebenarnya yang jahat Mbah Mangun .?🤔🤔🤔
2025-01-24
0
Yuli a
ini keren banget ya... jaman dulu udah kenal demokrasi 🤣✌️
2025-01-24
0
Yuli Eka Puji R
bukannya warganya msh banyak yg buta huruf ya kok bs pemilihan suruh nulis, othornya msh bingung soalnya mau pemilu🤣😂😂
2024-01-31
0