Kalihwelas

Sinar matahari menyengat ubun-ubun. Aroma tanah basah menusuk hidung. Terdengar suara dedaunan beradu. Angin sepoi-sepoi meniup luka di pipi, mencipta perih menyadarkan Pono yang tergeletak di ladang tebu.

"Eerrgghhh!" Pono menggeliat. Tangan dan kakinya terikat erat. Tubuh penuh lumpur dengan rasa nyeri di seluruh persendian.

Pono pingsan semalaman. Dan sekarang entah jam berapa dia terbangun. Matahari belum terlalu tinggi meninggalkan ufuk timur. Nampak beberapa katak melompat-lompat di sekitar Pono. Menghiraukan sosok manusia tak berguna yang tergolek di tanah lembab beraroma pupuk menyengat.

"Toloonggg!" teriak Pono. Tubuhnya masih lemah, suara yang keluar dari mulut pun tak terlalu kencang, kurang bertenaga. Pono mengulang teriakannya beberapa kali, hingga akhirnya terdengar langkah kaki mendekat. Dari balik batang tebu, muncul Katimin dengan wajah yang terlihat ketakutan.

"Min! Ini aku Pono. Tolong aku. Lepaskan ikatan di tanganku!" perintah Pono. Katimin menurut tanpa banyak tanya. Setelah semua ikatan terlepas, Katimin duduk di tepian ladang dengan nafas yang terdengar berat. Laki-laki itu nampak sangat terkejut, kedua lututnya terus bergerak menunjukkan kegundahan hatinya.

"Desa ini sudah nggak aman Kang. Kalau begini caranya aku nggak bisa tenang tidur di area pasar. Apa yang terjadi padamu? Bertemu penjahat? Seorang perampok?" cerca Katimin panik.

Pono ikut duduk di tepian parit. Dia membersihkan pakaiannya yang penuh lumpur. Sesekali menyentuh pelipis yang bengkak dan nyeri. Bekas hantaman orang asing semalam yang membuatnya jatuh pingsan.

Pono memperhatikan Katimin. Dia tidak mungkin menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Katimin. Bagi Pono, Katimin hanyalah sosok gelandangan yang hidupnya tak berguna.

"Aku dikeroyok subuh tadi. Ada beberapa orang yang mencegatku. Kalau satu lawan satu tidak mungkin aku akan kalah. Entah apa tujuan mereka Min. Tapi yang jelas selama ada aku, dusun sini akan kujaga dengan segenap jiwa raga. Tidak apa aku yang terluka, asalkan warga bisa tidur nyenyak di rumahnya," ucap Pono berapi-api. Dia membual, menunjukkan wibawanya di hadapan Katimin.

"Maka dari itu Min, kamu kan setiap hari di pasar, sampaikan pada warga jika dusun ini membutuhkan seorang Bayan. Dan kurasa aku sudah siap menggantikan mendiang Bapak. Petang nanti aku pasti akan keliling dusun lagi, berjaga-jaga agar para perampok yang menyerangku semalam tidak berani datang kembali," lanjut Pono menepuk-nepuk pundak Katimin.

"Semalam atau pagi tadi perampoknya menyerangmu Kang?" sahut Pono cepat.

"Ah ehh, ya pagi tadi maksudku. Pagi buta. Masih gelap soalnya," jawab Pono tergagap.

"Lagian Kang Pono ngapain juga pagi-pagi berada di ladang tebu?" tanya Katimin sekali lagi. Pono garuk-garuk kepala merasa terjebak dengan omongannya sendiri.

"Ya anu Min, aku itu sedikit banyak setelah Bapak meninggal tuh kayak punya rasa bertanggungjawab soal keamanan lingkungan. Jadi sesekali waktu ya keliling dusun gitu," kilah Pono meyakinkan. Katimin manggut-manggut. Pono tersenyum melihat ekspresi Katimin yang terlihat mempercayai ucapannya.

"Yah namanya kehidupan bermasyarakat, satu orang pengganggu lenyap kini muncul perampok yang membawa ketidaknyamanan." Pono menunjukkan ekspresi prihatin.

"Yang Kang Pono maksud pengganggu itu Ki Darso kan? Waktu warga kesana aku ndak ikut karena sedang masuk angin. Aku dengar Ki Darso sudah mati. Dimana Kang Pono menguburnya?" tanya Katimin penasaran.

Pono hendak membuka mulut untuk menjawab. Namun dia mengurungkannya. Pono kini menatap sinis pada Katimin.

"Aku tahu kamu cukup dekat dengan Darso Min. Jadi aku tidak akan memberitahumu," sahut Pono. Tanpa disadari Katimin mengepalkan tangannya erat kala mendengar jawaban Pono.

"Ingat saja tugasmu Min. Sampaikan pada para pelanggan di pasar tentang aku yang berusaha menjaga warga dari perampok. Semua orang wajib tahu agar lebih waspada dan saranku sebaiknya dusun ini harus segera memilih bayan yang baru. Kurasa kamu juga sudah tahu siapa kandidat terbaik untuk menjadi bayan. Mari jadi manusia yang berguna untuk masyarakat Min," tukas Pono memberi nasehat. Dia berdiri dari duduknya.

"Kang Pono mau pulang? Jalan kuat? Mau diantar?" Katimin menawarkan bantuan.

"Nggak perlu Min. Kamu segera ke pasar saja, dan lakukan tugasmu untuk menyampaikan warta," jawab Pono sembari mengayunkan langkah meninggalkan Katimin yang masih duduk termenung memandangi Pono dengan deretan gigi gemeretak beradu. Katimin menahan amarah.

Pono terus melangkah dengan tegap. Barulah saat dia menoleh ke belakang dan Katimin tak lagi terlihat, laki-laki itu mengusap pelipisnya yang nyeri. Pono mendesis kesakitan. Berpura-pura kuat di hadapan Katimin untuk mencari simpati, meski sebenarnya sekujur tubuhnya merasakan lara. Pono memang orang yang cerdas meski culas.

Pono sampai di rumah dan langsung disambut Darmini yang berjemur di halaman depan. Mengeringkan rambutnya yang basah adalah pekerjaan tetap Darmini. Melihat kedatangan Pono yang berjalan sempoyongan, Darmini pun mendekat.

"Mas Pono mabuk?" tanya Darmini.

"Mabuk gundulmu. Aku dikeroyok orang semalam," jawab Pono sewot. Darmini merangkul suaminya, membantu berjalan hingga ke teras.

"Kamu baru saja keramas?" tanya Pono menyadari rambut istrinya yang basah. Darmini mengangguk cepat.

"Biasanya keramas kan kalau selesai 'njaran' sama aku," keluh Pono. Darmini mendengus kesal.

"Ya kalau kulit kepala gatal ya keramas lho Mas. Kuambilkan air hangat ya, kubasuh lukamu biar ndak nyeri," ucap Darmini. Pono mengangguk.

Darmini segera beringsut masuk ke dalam rumah menuju dapur. Dia perlu menyalakan tungku kayu untuk merebus air. Sepeninggal Darmini, Pono pun menyusul masuk ke dalam rumah. Tapi dia berjalan ke dalam kamar. Pono memeriksa lemari di kamarnya. Khawatir diacak-acak sosok asing yang menyerang semalam. Bukankah sosok itu mengancam akan datang ke rumah dan mencari keris milik Darso?

"Keris apa sialan? Aku jadi penasaran. Jangan-jangan keris sakti yang bisa bikin kaya," gumam Pono sembari membuka-buka lemari.

Pono tidak menemukan keanehan di lemari. Tetap terlihat rapi. Tidak mungkin sosok asing semalam datang ke rumah dan tidak mencoba mengacak-acak lemari untuk mendapatkan keris yang dicarinya. Berarti sosok itu hanya menggertak saja, begitu pikir Pono.

Dengan malas Pono beringsut mundur dan menjatuhkan tubuhnya di atas dipan. Pada saat itulah Pono menyadari tempat tidurnya beraroma bawang. Meskipun samar namun aroma asing itu terendus hidung Pono. Darmini selalu beraroma wangi, tapi kenapa kini ada aroma bawang? Pono mengernyitkan dahi.

"Rupanya kamu disini Mas," ucap Darmini membawa baskom berisi air hangat. Pono diam tidak menyahut.

Dengan telaten Darmini membasuh luka-luka di tubuh Pono. Sesekali Pono mendesis merasakan nyeri. Darmini sangat lembut memperlakukan suaminya. Pono pun meleleh hatinya. Dia merasa beruntung ditemani isteri seperti Darmini.

Tidak ada manusia yang sempurna, Pono sadar akan hal itu. Mungkin Darmini memang kurang pandai memasak, juga sedikit lelet cara berpikirnya. Namun Darmini selalu bisa membuat Pono merasa diinginkan. Dan yang paling penting, di atas ranjang Darmini seperti singa buas yang melahap dan menerkam.

Tiba-tiba saja Pono menarik tubuh Darmini. Kemudian memeluknya dengan erat. Detik berikutnya merebahkan Darmini di atas dipan, dan mereka pun menyatu dengan peluh bercucuran.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

🍭ͪ ͩ✿⃝ᵀᴬᶠ♥︎ⱮҼʅΑȽΙ þÚ†ÌH 🌼

🍭ͪ ͩ✿⃝ᵀᴬᶠ♥︎ⱮҼʅΑȽΙ þÚ†ÌH 🌼

nah loh pono gak pulang ada ganti nya

2024-02-22

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

keramas maneh

2024-01-24

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

pono pintar bersilat lidah

2024-01-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!