Wolulas

"Darmini. . .sepertinya aku mau keluar!" pekik Pono sesaat sebelum tubuhnya mengejang. Laki-laki itu kemudian tergolek lemah di sudut kasur.

Darmini menarik kain jarit. Mulutnya terlihat manyun, cemberut. Ekspresi penuh kekecewaan tergambar dari perempuan bertubuh sintal itu.

"Mas Mas, tiap hari selalu begini. Minta sehari lima kali, tapi loyo. Janjimu ini bakal lama, ini aku berasa kuat. Nyatanya baru juga begitu udah kalah," gerutu Darmini kesal.

"Lha gimana lho sayang, habisnya kamu cantik banget. Uayu tenan. Aku ndak bisa pokoknya. Melihat wajahmu langsung rasanya nyerah aku," sambung Pono mengatur nafas.

Darmini enggan menyahut. Dia memilih duduk di depan cermin. Menyisir rambut panjangnya yang acak-acakan.

"Besok waktunya belanja kebutuhan makan lho Mas. Beras di baskom sudah habis. Mas sudah dapat uang?" tanya Darmini kemudian.

Pono menghela nafas. Pertanyaan istrinya membuat dada terasa sesak. Pada kenyataannya Pono tidak memiliki uang sepeser pun. Rencananya untuk menguasai tanah milik Darso pun gagal.

"Mas? Mas Pono?" panggil Darmini. Pono berdehem.

"Aku masih ndak percaya dengan perkataan si peyot Mangun. Darso katanya punya keturunan, dan dia yang lebih berhak atas tanah peninggalan dukun santet sialan itu. Pokoknya hari ini aku harus menyelidikinya," ucap Pono mengacuhkan Darmini. Laki-laki itu menyambar baju yang tergantung di samping lemari.

"Mas mau kemana?"

"Nyari duit. Katanya minta duit?" sahut Pono melotot.

"Lha iya, nyari duit kemana?" Darmini mengulang pertanyaannya.

"Mau ke rumah Darso. Pokoknya akan kucari yang katanya anak keturunan si Darso itu. Aku akan meminta pembuktian. Bisa saja kan ada orang yang ngaku-ngaku? Bagaimanapun aku memiliki hak atas harta benda Darso. Karena dukun itu lah yang membuat keluarga ini kehilangan tulang punggung," jawab Pono menggebu-gebu.

Setelah mengenakan baju, Pono pun bergegas keluar kamar. Pada saat yang sama terdengar suara ketukan di pintu depan.

"Sore-sore siapa sih yang datang bertamu?" gerutu Pono.

"Wes to Mas, bukain pintunya. Siapa tahu tamu yang datang ngasih rejeki," sahut Darmini. Pono pun menurut. Dia berjalan ke ruang depan dan menarik daun pintu dengan sedikit kasar. Sugeng berada di teras depan dengan sebuah senyuman tersungging di bibirnya.

"Owalah ternyata raimu to Geng. Ada apa?" tanya Pono kasar. Dia memang sering meremehkan Sugeng juga Tarno. Pono merasa mereka berdua hanyalah kroco, rewang dari Ki Mangun. Sama halnya seperti Katimin yang tidak memiliki tempat tinggal untuk menetap. Bagi Pono, orang-orang seperti itu tidak memiliki masa depan.

"Mbah Lurah meminta semua warga berkumpul di balai desa Kang," ucap Sugeng sedikit menunduk.

"Lhah, untuk apa?" Pono sedikit membentak.

"Katanya sih pemilihan Bayan pengganti Bapak njenengan Kang," jawab Sugeng.

"Kok mendadak banget?" protes Pono.

"Ya katanya biar suara pemilihan murni Kang. Asli dari hati nurani warga. Kalau diumumkan sebelumnya kan dikhawatirkan nanti ada yang merayu orang lain untuk memilih dirinya gitu lho."

"Lha calonnya siapa saja?" tanya Pono lagi.

"Ya ini nanti Kang dirembug. Pokoknya Kepala Keluarga setiap rumah wajib hadir. Untuk anak-anak, perempuan dan lansia tinggal di rumah saja," balas Sugeng. Pono manggut-manggut.

"Darmini sayaanggg," teriak Pono. Darmini berjalan tergopoh-gopoh keluar kamar. Tubuhnya hanya ditutupi selembar kain jarit. Sugeng melotot melihatnya.

"Apa Mas?" tanya Darmini manja.

"Aku ke balai desa dulu. Tutup dan kunci pintu. Doakan suamimu ini terpilih jadi Bayan," perintah Pono. Darmini mengangguk setuju. Sugeng masih tetap memandangi istri Pono. Tak berkedip.

"Woy! Ilermu netes!" bentak Pono membuat Sugeng gelagapan.

"Cepet tutup pintunya. Khawatir aku ada garangan pengen masuk kamar," ucap Pono sembari menarik lengan Sugeng. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke balai desa. Sugeng sesekali menoleh ke belakang, ingin melihat Darmini, sang kembang desa.

"Kang, hidupmu itu kok ya beruntung banget. Hidup berkecukupan, istri cantik luar biasa," ucap Sugeng sambil terus melangkah. Terlihat jalanan ramai, penuh dengan warga yang berjalan kaki menuju ke balai desa.

"Makanya Geng, laki-laki itu ndak boleh malas. Harus kerja keras. Letak kegagahan, kehormatan laki-laki itu dari semangat kerjanya. Mau istri cantik, jadi kaya raya, semua akan tercapai," ujar Pono memberi nasehat. Dia berusaha terlihat bijak di hadapan Sugeng. Meski sebenarnya dalam hati, Sugeng menertawakan ucapan Pono.

Sampailah Pono di balai desa. Dia berpisah dengan Sugeng yang beralasan hendak menghadap Ki Mangun. Suasana balai desa benar-benar ramai. Warga berkumpul memadati pelataran balai desa yang luas. Mbah Lurah terlihat berada di tengah warga, dengan 3 Bayan yang menemaninya. Pono sedikit merasa aneh, karena Ki Mangun tidak ada di antara para sesepuh.

"Tumben si peyot itu ndak hadir. Apa sudah ndak kuat bangun ya," gumam Pono cengengesan.

Mbah Lurah terdengar memberi sambutan tepat saat warna merah berpijar di langit. Sang surya hendak digantikan oleh cantiknya rembulan. Mbah Lurah menjelaskan tujuannya mengumpulkan warga di balai desa.

"Penghormatan sebesar-besarnya, saya sampaikan untuk pengabdian Mbah Bayan yang sudah tiada. Tapi pemerintahan desa harus dilanjutkan. Pembangunan fisik dan mental harus diutamakan, demi mendukung tujuan negara yang berdaulat. Untuk itu musyawarah mufakat hari ini dilaksanakan guna memilih calon penerus Bayan. Yang cakap, cerdas, dan bisa melaksanakan pekerjaan administrasi desa," tukas Mbah Lurah. Warga diam menyimak. Obor sudah dinyalakan untuk menyambut datangnya gelap.

"Kami akan membagikan secarik kertas dan pensil, silahkan ditulis siapapun yang njenengan rasa layak untuk mengemban tugas sebagai Bayan. Sekedar diketahui saja, saat ini desa Karang terdiri atas 107 kepala keluarga yang terbagi di 4 wilayah dusun. Setiap Bayan memiliki cakupan wilayah yang cukup luas dengan jumlah penduduk yang terbilang sedikit jika dibandingkan desa lain," jelas Mbah Bayan Kidul.

Pono merangsek maju ke barisan depan.

"Ijin bertanya Mbah Bayan Kidul," teriak Pono sembari mengangkat tangan. Warga kompak menoleh.

"Jika kami diminta untuk menulis orang yang layak mengemban tugas Bayan, bukankah akan sangat mungkin masing-masing orang menulis namanya sendiri. Lalu siapa yang menang jika demikian? Kurasa sebaiknya ditentukan saja siapa calonnya, dan kami tinggal menulis dan memilih sesuai hati kami," lanjut Pono menggebu-gebu.

"Baik. Hal itu memang benar. Sebenarnya kami sudah menyiapkan dua nama hasil rembug beberapa waktu lalu. Dan jika ternyata, njenengan tidak suka dengan calon yang kami sampaikan, njenengan semua boleh menuliskan nama orang yang njenengan mau di luar dua nama calon tersebut. Dapat dimengerti?" sahut Mbah Lurah. Semua orang manggut-manggut setuju.

"Calon Bayan yang pertama adalah Wira, putera dari Ki Mangun yang baru menyelesaikan pendidikannya. Cukup disayangkan, sepertinya hari ini Nak Wira belum bisa hadir ya," ucap Mbah Lurah setelah mengedarkan pandangan. Orang yang dicari tidak terlihat dimanapun.

"Wira? Bocah itu sudah pulang?" gumam Pono cemas. Apalagi namanya belum juga disebut oleh Mbah Lurah. Mungkinkah Pono tidak dimasukkan dalam daftar calon Bayan? Laki-laki itu mengepalkan tangannya erat.

"Calon yang kedua adalah Pono Bin Sumito!" pekik Mbah Lurah kemudian.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Ke Azhea

Ke Azhea

jadi curiga ma sugeng

2024-02-15

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

yeh nyeramahin orang situ aj males gak mau kerja

2024-01-24

0

Kᵝ⃟ᴸ<br />😻<br />نَيْ<br />🐈<br />⸙ᵍᵏ<br />㊍㊍<br />🐊⃝⃟ ⃟🍒<br />➢‮

Kᵝ⃟ᴸ
😻
نَيْ
🐈
⸙ᵍᵏ
㊍㊍
🐊⃝⃟ ⃟🍒
➢‮

rada gesrek kalau pada milih pono mah🤕

2023-12-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!