Wolu

Senja tiba. Langit warna jingga menjadi sebuah pertanda, siang pergi tergantikan oleh malam dengan udara yang beku. Obor di sepanjang jalan desa telah dinyalakan. Jalanan tanah semakin nampak merah oleh pantulan cahaya dari api obor. Sesekali percikan bara nan hangat beterbangan tertiup angin.

Tanpa alas kaki, Pono menyusuri jalanan desa. Langkahnya nampak malas. Seperti biasa, laki-laki itu selalu tidak bersemangat dalam segala hal. Sesekali dia berpapasan dengan orang yang baru pulang dari ladang.

"Mau ke ladang sampai tengah malam pun, kalau dasarnya buruh ya tetap nggak bakalan kaya," gumam Pono mencibir orang-orang yang baru pulang bekerja.

Bagi Pono, kekayaan bukan soal kerja keras. Kaya tidaknya seseorang tergantung pada garis keturunan. Dan dia merasa memiliki garis keturunan konglomerat bukan keluarga melarat. Maka dari itu Pono menganggap tidak perlu lelah bekerja, dia akan tetap menjadi orang terpandang dan berada.

Pono sampai di balai desa. Bangunan joglo yang luas dengan empat tiang besar di bagian tengahnya. Setiap surup atau waktu dimana terjadinya pergantian siang dan petang, para tetua desa selalu berkumpul di bangunan balai luas itu. Mereka membahas perkembangan desa, juga menggelar doa bersama di akhir pertemuan.

Begitupun malam ini. Ada empat orang tetua yang duduk di balai desa. Mbah lurah dengan baju putihnya. Mbah Bayan Kidul yang berbadan kurus kering. Mbah Bayan Lor, seorang laki-laki berkepala plontos dengan kumis tebal menutupi bibir. Dan tentu saja, orang yang paling tua dan paling berpengaruh di desa, Ki Mangun duduk di kursi paling tinggi. Sebenarnya masih ada satu kursi kosong, yaitu untuk Bayan wilayah Tengah, Bapaknya Pono.

Melihat kedatangan Pono, Ki Mangun tersenyum sekilas. Mbah Lurah mempersilahkan Pono untuk duduk. Laki-laki pengangguran itu pun duduk tanpa menyalami tetua yang ada disana. Adab dan sopan santun yang diajarkan oleh Bapaknya dulu, tidak diterapkan sama sekali.

"Ada tujuan apa Nak Pono datang kemari?" tanya Mbah Lurah penasaran. Wajahnya tertutup bayangan tiang tengah yang diterpa sinar obor bergerak meliuk liar tertiup angin.

"Nggeh, langsung saja tanpa basa basi. Aku ingin meminta pertanggungjawaban Darso atas tewasnya Bapakku," ucap Pono dengan sorot mata tajam, mengarah pada Mbah Lurah.

"Lhah, bukannya keinginanmu sudah dituruti oleh warga. Darso sudah mati. Dan kamu sendiri yang menguburkan jasadnya," sergah Bayan Kidul. Dia tidak suka dengan sikap Pono yang tidak menaruh hormat pada Mbah Lurah.

"Masalahnya tidak selesai hanya dengan kematian dukun sesat itu. Kehidupanku hancur, ekonomiku mulai goyah semenjak kematian Bapak. Maka, Darso pun harus bertanggungjawab soal nafkahku," balas Pono berapi-api. Orang yang tidak memiliki unggah-ungguh dan sopan santun memang cenderung berani meski dirinya belum tentu berdiri di posisi benar.

"Lalu, apa maumu? Bahkan mayat pun kamu minta pertanggungjawaban," sahut Bayan Lor tak kalah jengkel. Hanya Ki Mangun yang nampak santai di pertemuan malam ini.

"Ladang dan tegalan Darso selayaknya diberikan padaku. Kurasa itu cukup impas sebagai bentuk ganti rugi," jawab Pono penuh percaya diri.

"Lagipula si Darso kan ndak punya sanak saudara, masak iya lahan peninggalannya mau dijadikan aset desa. Aku yakin para tetua desa sudah sangat cukup dengan jatah bengkok nya. Sebagai keluarga korban kejahatan Darso, aku memiliki hak untuk menuntut," lanjut Pono.

Suasana hening. Mbah Lurah nampak mengerutkan kening. Berpikir, bagaimana sebaiknya? Apa yang disampaikan Pono ada benarnya. Tapi jika menuruti semua tuntutan Pono, tentu di lain waktu bocah tidak tahu diri itu akan semakin 'ngelunjak'.

Mbah Lurah bertukar pandang dengan para Bayan. Dari sorot mata mereka, semua sama-sama bingung dan kesal. Pada akhirnya tiga tetua desa itu sepakat mengarahkan tatapannya pada Ki Mangun yang nampak tersenyum saja sedari tadi.

"Pono, kamu kemarin mengatakan Darso adalah sosok yang jahat. Kemudian menghakimi Darso berdasar prasangka. Padahal di situasi sekarang ini, seharusnya warga desa mulai mengutamakan hukum negara dibanding hukum rimba. Kamu yang menjadi pemantik api amarah warga pada Darso. Apakah Darso terbukti yang mencelakai Bapakmu? Hal itu tidak terjawab pada akhirnya, karena Darso terlanjur mati," ujar Ki Mangun menatap Pono dengan tajam. Pono yang sedari tadi merasa sangat percaya diri dan penuh keberanian kini kehilangan nyali di hadapan Ki Mangun. Laki-laki sepuh itu memang memiliki aura yang sangat kuat.

"Ta tapi Ki. Semua warga memang sudah tidak nyaman dengan keberadaan Darso," kilah Pono.

"Meski demikian apa kamu berhak mengambil nyawanya? Padahal sudah kukatakan, aku akan membantu melumpuhkannya jika kalian berjanji untuk tidak main hakim sendiri. Masih banyak yang perlu kutanyakan pada Darso. Sejujurnya aku kesal dan jengkel padamu Pono! Apalagi sekarang dengan tidak tahu malu kamu menghadap kemari, meminta ladang milik Darso? Sungguh menggelikan," cerca Ki Mangun. Laki-laki tua itu sedikit terkekeh. Senyum di bibirnya terlihat mengejek.

"Ya soal itu bukan salahku Ki. Yang mengeroyok Darso kan warga desa. Njenengan itu memang orang paling berpengaruh di desa, tapi tetap saja keputusan mayoritas warga adalah hukum tertinggi," sahut Pono merasa memiliki celah untuk mematahkan ucapan Ki Mangun.

"Jaga mulutmu di depan Ki Mangun!" bentak Bayan Lor. Dia menggebrak meja, habis kesabaran. Sebuah penghinaan berani membantah Ki Mangun, orang yang telah membuka hutan dan memindahkan 'sosok-sosok' penghuni sebelumnya ke tempat lain. Ki Mangun adalah pendiri desa Karang.

Ki Mangun tetap tersenyum. Tangannya menunjuk Bayan Lor dan memberi isyarat agar kembali duduk. Seperti diperintah oleh seorang majikan, Bayan Lor pun menurut. Di bawah meja, tangannya terkepal erat ingin mendaratkan pukulan pada wajah Pono.

"Sekarang kutanya padamu Nak Pono. Siapa yang sebenarnya memiliki hak penuh atas lahan dan ladang Darso?" tanya Ki Mangun kalem.

"Ya seharusnya sanak saudaranya. Tapi dukun sesat itu kan sebatang kara sebatang kere, jadi ya lahan dan ladangnya tidak bertuan," jawab Pono menggebu-gebu. Ki Mangun manggut-manggut.

"Perlu kamu ketahui, saat ini di rumah Darso ada seorang perempuan yang mengaku sebagai anaknya Darso," sahut Ki Mangun. Semua orang nampak terkejut mendengar ucapan Ki Mangun. Bola mata Pono membulat, tidak percaya pada Sang tetua desa.

"A anak darimana? Itu mustahil. Dukun itu tidak punya istri!" bantah Pono kesal. Mbah Lurah dan para Bayan bertukar pandang dalam diam.

"Kamu boleh tidak percaya. Tapi silahkan berkunjung ke rumahnya besok pagi, dan lihat sendiri. Jadi lahan dan ladang Darso, anaknya lah yang lebih berhak," jawab Ki Mangun.

"Bagaimana jika ada orang yang mengaku-ngaku sebagai anak Darso? Siapa tahu orang itu memang ingin menguasai kekayaan Darso?" Pono nampak panik.

"Yaah artinya, perempuan itu sama sepertimu kan? Mengaku-ngaku berhak menguasai milik Darso," sahut Ki Mangun terkekeh.

"Arrghhh!" teriak Pono kesal. Laki-laki itu berdiri dari duduknya. Dengan kaki menghentak, dia melangkah pergi tanpa berpamitan. Meninggalkan para tetua yang masih tetap duduk nyaman di kursi tengah balai desa.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Amelia

Amelia

❤️❤️👍

2024-02-26

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

sipono njalok di geplak...

2024-01-23

0

FiaNasa

FiaNasa

Ndak punya tata Krama Sama sekali si pono,

2024-01-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!