Suara kokok ayam hutan sayup-sayup terdengar di kejauhan. Bulu mata lentik mengerjap-ngerjap. Rambut panjang terurai terlihat tetap indah hitam legam, meski semalaman berada di atas dipan bambu yang keras. Mahkota kepala itu tetap mengembang rapi, tidak kusut ataupun semrawut. Berbeda dengan kebanyakan orang yang terbangun dari tidurnya dengan penampakan seperti landak.
Narsih tetap cantik dan anggun. Dan entah bagaimana, aroma bunga melati menguar dari pori-pori kulit. Harum dan memabukkan bagi lelaki. Narsih menggeliat sesaat. Tidurnya sangat nyenyak semalam. Tidak ada sesuatu yang mengganggu. Meski saat hendak merebahkan badan, dia sempat khawatir akan ada hal-hal menakutkan lagi yang menerornya.
Narsih menjulurkan kaki, turun dari ranjang. Dengan perlahan dia melangkah ke dapur. Memasukkan kayu kering ke dalam tungku dan membakarnya. Udara pagi yang beku, membuatnya merasa betah berada di dekat api, memandangi kobarannya yang sedikit menyilaukan. Bola mata bulat itu nampak kosong. Narsih belum mampu mengingat tentang kehidupannya yang telah lalu.
Perut Narsih berbunyi, minta diisi. Haruskah dia mencari bunga melati lagi? Apakah wajar jika seorang manusia merasa kenyang hanya dengan memakan beberapa tangkai bunga? Sudut mata Narsih menemukan ubi jalar yang tergeletak di bawah meja makan. Tanpa pikir panjang Narsih mengambil ubi, mengupas kulit ari nya dan segera memasukkan pada panci yang berisi air mendidih di atas tungku.
Narsih menambah beberapa kayu ke dalam kobaran api di tungku. Menunggu ubi matang, perempuan itu berjalan keluar berniat ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ada sedikit rasa was-was kala teringat di dalam kamar mandi ada penampakan mengerikan kemarin malam. Nyatanya pagi ini tidak ada sesuatu yang aneh. Tembok bata bilik kamar mandi itu tetap berdiri kokoh meski penuh lumut hijau yang sedikit menghitam.
Sayangnya, kolam batu tempat menampung air nampak kosong. Selang kecil yang kemarin masih mengalirkan sang tirta kini tidak ada setetes pun yang keluar dari ujungnya. Padahal Narsih merasa perlu membasuh diri. Tubuhnya terasa lengket.
Narsih pun mengayunkan langkahnya menuju ke sungai. Di dekat rumah Darso memang terdapat aliran dua sungai yang bertemu membentuk sebuah 'tempuran' dengan airnya berwarna hijau dan tenang. Narsih menyusuri jalanan batu yang cukup terjal hingga akhirnya sampai di tepian tempuran.
Memandangi air sungai yang tenang, Narsih sedikit merasakan dingin di tengkuknya. Bola mata jernih itu seperti terhipnotis. Kedalaman air yang sulit diterka membuat siapapun yang melihat akan merasakan sensasi ngeri, sekaligus penasaran.
Beberapa saat terdiam, Narsih pun akhirnya memilih duduk di atas batu blondos besar berwarna hitam di tepian tempuran. Kakinya yang putih tercelup ke dalam air yang jernih. Narsih mulai membasuh wajahnya. Sensasi air sungai yang dingin, membuatnya merasa lebih segar.
Narsih memperhatikan sekeliling. Suasana benar-benar sunyi. Setelah yakin tidak ada seorang pun di sekitarnya, Narsih melepas tapih yang menutupi tubuhnya. Kulit perempuan itu benar-benar bersih. Seolah bercahaya kala bertemu dengan air sungai nan bening.
Saat membasuh badan, Narsih menyadari warna biru lebam yang kemarin ada di beberapa bagian tubuhnya kini telah hilang. Narsih mengambil batu kecil yang halus di bawah kakinya. Perlahan dia menggosok kulit lengan dan kaki.
Angin bertiup cukup kencang. Kain jarit penutup tubuh Narsih yang tergeletak di atas batu tiba-tiba saja terbang dan jatuh ke dalam air. Narsih hendak mengambilnya, namun kain itu malah bergerak ke bagian tengah tempuran.
Tanpa pikir panjang, Narsih pun menyeburkan dirinya ke dalam air. Tidak ada keraguan di hati, dia yakin bisa berenang. Entah bagaimana, Narsih begitu lihai mengapung di air dengan gaya katak. Meskipun dia tidak ingat, sejak kapan belajar berenang.
Narsih berhasil meraih kain jaritnya. Dia berusaha menepi, tiba-tiba dari dalam air kaki jenjangnya terasa ditarik dengan sangat kuat. Narsih berusaha melawan. Menendang, menjejak sebisanya. Air tempuran yang sedari tadi tenang, kini beriak bergelombang tak beraturan.
Tenaga Narsih terkuras habis. Otot betisnya mulai terasa kaku karena kram. Pada akhirnya Narsih mulai tenggelam. Tubuh yang tak tertutup selembar kain itu pun mulai terseret ke dalam tempuran.
Di dalam air, mata Narsih mengerjap-ngerjap. Dia menahan nafas seraya mencari tahu apa yang sebenarnya sudah menarik kakinya. Hewan buas kah? Narsih menunduk memperhatikan pergelangan kakinya. Tidak ada apapun disana.
Aneh. Narsih kebingungan. Dengan sedikit tenaga yang tersisa, Narsih kembali mendayung tubuhnya untuk kembali ke permukaan. Tiba-tiba dalam kegelapan air tempuran, Narsih melihat sosok Darso yang berenang mendekat.
Darso, orang yang mengaku sebagai Bapak Narsih. Darimana datangnya laki-laki itu? Bagaimana mungkin dia tiba-tiba muncul di dalam air? Gerakan Darso sangat cepat, mendekat dengan wajah pucat. Terlihat jelas tatapan mata laki-laki itu kosong. Mulutnya bergerak-gerak dalam air, mengucap sesuatu. Sayup-sayup Narsih dapat mendengarnya.
"Tempatmu bersamaku!" ucap Darso dengan suara serak.
Di waktu yang sama, terdengar sesuatu jatuh ke dalam tempuran. Mencipta riak air, yang melenyapkan sosok Darso dari pandangan Narsih. Sebuah lengan kekar melingkar di pinggang Narsih kemudian menariknya ke permukaan.
Dalam keadaan setengah sadar, Narsih dapat merasakan hangatnya sinar matahari menerpa tubuhnya yang basah. Sedikit silau, mata Narsih bertemu pandang dengan seorang laki-laki dengan dagunya yang berjenggot tipis. Laki-laki asing itu tengah membopong Narsih.
Narsih dapat merasakan kulitnya yang putih bersih, bersentuhan langsung dengan kulit cokelat pembungkus gumpalan otot di sekujur tubuh laki-laki penolongnya itu. Narsih kemudian menyadari, tubuhnya tidak tertutup benang barang sehelai pun. Dia merasa malu. Dengan segera, menggunakan telapak tangannya untuk menutupi bagian tubuhnya yang terlarang dilihat laki-laki.
Sampai di tepi sungai, laki-laki itu menurunkan tubuh Narsih perlahan. Kemudian dia kembali menceburkan dirinya ke dalam tempuran. Sesaat berikutnya, laki-laki itu sudah keluar dari dalam air membawa kain jarit Narsih yang sudah basah kuyup.
"Pakailah," ucap sosok laki-laki asing sambil memalingkan wajah. Narsih segera menyambar kain jarit itu. Menutupi tubuh yang sudah pasti terlihat jelas setiap lekuknya oleh laki-laki asing.
"Terimakasih," ucap Narsih singkat. Hanya ucapan terimakasih yang terpikirkan di benak Narsih.
"Rumahmu dimana? Kenapa berenang di tempuran ini sendirian? Atau jangan-jangan kamu memang berniat untuk mati?" cerca laki-laki asing ketus. Tatapannya nampak dingin dan menyebalkan.
Narsih merasa kesal sebenarnya. Namun di sisi lain dia bersyukur karena sudah ditolong, dan kebetulan sang penolong bukanlah tipe buaya yang memiliki mata liar. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana jika tadi penolong Narsih adalah laki-laki nakal?
"Rumahku di dekat sini," jawab Narsih.
"Mana ada? Satu-satunya rumah di dekat sini kan rumah Ki Darso," sergah laki-laki asing.
"Ah, memang benar. Aku Narsih, anaknya Ki Darso," ucap Narsih memperkenalkan diri.
"Hah? Anaknya Ki Darso?" Laki-laki asing mengernyitkan dahi. Ekspresinya yang kebingungan nampak lucu. Tanpa disadari, Narsih memperhatikannya dengan seksama. Garis rahang yang tegas. Alis tebal yang nyaris menyatu. Hidung mancung dan rambut ikal yang unik. Satu kata di benak Narsih, tampan.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Yuli a
hemmm.... kesengsem....
2025-01-24
1
pioo
jangan jangan ini yg mirip sama dani ya makanya narsih cinta
2024-11-03
0
Syahrudin Denilo
akhirnya dapat pasangan juga si Narsih
2024-02-26
1