Gangsalwelas

Pagi datang bersama rintik hujan. Udara dingin pegunungan kian terasa beku. Bahkan hembusan nafas nampak beruap. Bunyi air sungai yang biasanya menenangkan, kini terdengar mengerikan. Warna bening kehijauan kali ini berubah cokelat pekat membawa larutan pasir dan tanah dari bagian hulu.

Narsih menyalakan api di tungku. Bukannya hendak memasak, perempuan itu sengaja memantik bara untuk membuat dapur terasa lebih hangat. Setelah beberapa saat, barulah daun teh kering dituangkan dalam kuali kecil berisi air. Daripada bara api menyala tak berguna lebih baik untuk menyeduh teh, begitu pikir Narsih. Saat mendidih, aroma harum pun menyeruak di udara.

Hujan kian deras, mencipta genangan air di halaman belakang. Aroma tanah basah terasa nyaman menenangkan. Semenjak mengalami mimpi buruk kemarin petang, semakin besar rasa syukur di hati Narsih. Dia merasakan kebebasan. Dapat menghirup udara segar, melihat matahari pagi, juga menikmati rintik hujan yang menentramkan.

Terkadang manusia lupa caranya bersyukur. Bukankah sanggup bernafas di pagi hari sudah merupakan anugerah? Musim hujan datang untuk memberi air pada tanah demi kehidupan. Begitupun saat musim kemarau yang kering, terik sinar matahari juga demi keberlangsungan kehidupan. Tidak ada yang sia-sia, semua sesuai takaran. Mengeluh bukan pilihan, saat bersyukur menjadikan hidup makmur.

Narsih tersenyum menyesap air teh tanpa gula. Bukankah hidup memang tidak selalu terasa manis? Kadang juga sedikit pahit, 'sepet' seperti air teh.

Terdengar langkah kaki mendekat di halaman depan. Siapa gerangan yang datang di tengah derasnya hujan? Masih pagi pula. Narsih meletakkan cangkir tehnya. Dia beranjak menuju ke ruang depan saat pintu diketuk perlahan.

Narsih sempat mengintip dari celah dinding, dan menemukan sosok laki-laki gagah berdiri di depan pintu. Wira datang dengan baju hitam yang sedikit basah. Narsih buru-buru membuka pintu. Dia ingin segera menemui tamu yang tidak terduga itu.

Saat pintu terbuka, Narsih dapat melihat dengan jelas rambut ikal yang lepek tersiram air hujan. Wajah datar Wira tetap terasa menyebalkan namun mampu membuat dada Narsih berdebar.

"Ada apa?" tanya Narsih ketus. Dia mencoba mengimbangi sikap acuh Wira. Meski sudut hati menyalahkan sikapnya sendiri.

"Bukankah seharusnya kamu mempersilahkan aku masuk? Di luar dingin kamu tahu," sahut Wira kesal.

"Kamu sendiri kemarin yang ngomong, jangan mempercayai laki-laki manapun. Dan nyatanya kamu seorang laki-laki datang kemari sendirian. Tindakanku yang berusaha waspada sudah benar bukan?" balas Narsih mengejek.

"Terserahmu saja. Aku mau pulang jika demikian," jawab Wira menghela nafas. Narsih cemberut kesal, kemudian meraih lengan Wira. Percuma jual mahal di hadapan laki-laki dingin tidak memiliki ekspresi seperti Wira.

"Masuklah. Aku memang berhutang teh hangat padamu," ucap Narsih menarik Wira masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu diam saja menuruti sang tuan rumah.

Narsih buru-buru pergi ke dapur untuk menyeduh teh. Sedangkan Wira masih berdiri mengedarkan pandangan di ruang depan. Wira baru pertama kali masuk ke rumah itu. Rumah sederhana yang terlihat kosong. Hanya ada satu hiasan di dinding ruang depan. Aksara jawa yang tertulis pada selembar kulit kambing yang dikeringkan.

"Sapa sira sapa ingsun," gumam Wira sambil tersenyum.

"Apa artinya itu?" tanya Narsih sembari meletakkan teh di meja.

"Emmm, intinya jangan suka menggurui, memerintah serta mencampuri urusan orang lain tanpa izin, apalagi memaksakan kehendak. Biarlah masing-masing memiliki prinsip, pandangan, keyakinan serta pemikiran sendiri," jawab Wira antusias. Narsih kini menyadari apa yang bisa membuat laki-laki di hadapannya itu bersemangat dan tidak bersikap acuh.

"Ternyata kamu menyukai hal semacam itu? Maksudku pepatah dan nasehat, Syair atau semacamnya?" tanya Narsih. Wira mengangguk cepat.

"Yah, aku banyak mempelajari tentang sastra di kota. Dan aku berniat membangun desa ini dengan pendidikan yang layak bagi anak-anak. Bagaimanapun kemampuan dasar, baca dan tulis itu sangat dibutuhkan untuk kemajuan negara," ucap Wira dengan sorot mata tajam, masih memandangi tulisan yang terpajang di dinding. Narsih semakin kagum dengan laki-laki di hadapannya itu.

"Silahkan duduk. Diminum tehnya mumpung masih hangat," ucap Narsih kemudian. Wira pun menurut. Dia duduk dan segera meraih cangkir teh di meja. Menghirup aroma wangi teh, kemudian menyesapnya perlahan. Dahi laki-laki itu nampak mengkerut detik berikutnya.

"Pantas saja rumah ini sepi," gumam Wira.

"Hah?"

"Tamu tidak akan kerasan jika kamu beri teh dengan rasa seperti ini," lanjut Wira. Narsih tersipu malu.

"Maaf, tidak ada gula di dapur. Dan aku tidak memiliki uang untuk membelinya," jawab Narsih tertunduk.

"Ya aku mengerti. Aku juga bisa melihat baju pemberian buaya darat kemarin pun kamu pakai," ejek Wira. Ekspresinya kembali menyebalkan. Terasa congkak dan sombong.

"Sebenarnya untuk apa kamu datang kemari? Mengejekku?" protes Narsih kesal.

Wira terdiam mendengar pertanyaan Narsih. Suasana berubah sunyi. Hujan di luar semakin deras.

"Aku kemari untuk melamarmu," ucap Wira kemudian. Dia tidak menatap Narsih, malah tertunduk memandangi teh di cangkir.

"Hah?" Narsih melotot. Ucapan Wira seperti sebuah candaan yang menyebalkan.

"Aku kemari melamarmu. Apakah kamu bersedia?" tanya Wira. Kali ini dia meletakkan cangkirnya dan menatap wajah Narsih.

"Tung tunggu dulu. Kenapa mendadak, terkesan tiba-tiba? Apa kamu mengejekku? Atau beginikah cara orang kota bermain-main?" cerca Narsih.

"Ya karena aku mau serius. Kamu ndak perlu banyak protes. Cukup jawab saja, mau atau tidak?" desak Wira.

"Apa begini cara melamar seorang perempuan? Kamu seperti orang yang hendak menagih hutang," ejek Narsih mengurangi kegugupan di hatinya.

Wira membetulkan posisi duduknya. Dia nampak gelisah. Narsih menduga Wira sama gugupnya. Hanya saja tertutupi oleh sikap dingin dan wajah datarnya.

"Aku akan memenuhi setiap kebutuhanmu. Kamu mau kan?" tanya Wira sekali lagi. Narsih yang bingung dan bimbang, pada akhirnya hanya mengangguk pelan. Wira terlihat menghela nafas panjang. Jelas laki-laki itu merasa lega lamarannya diterima. Meski ekspresinya tetap saja datar.

"Setelah hujan reda, kamu ikut aku ke rumah."

"Untuk apa?" protes Narsih.

"Berkenalan dengan Bapak dan Si Mbok. Sekaligus cari hari baik untuk melangkah ke pernikahan," jawab Wira meyakinkan.

Narsih mencubit lengannya sendiri. Dia khawatir semua yang terjadi hanya mimpi belaka. Ternyata terasa sakit. Artinya semua itu nyata dan benar adanya.

"Kenapa mendadak begini Mas?" tanya Narsih setelah beberapa kali menghela nafas.

"Aku pernah baca sebuah kalimat nasehat. Kadang mripat iso salah nyawang, kuping iso salah krungu, lambe iso salah ngomong, nanging ati ora bakal iso diapusi," jawab Wira meyakinkan.

Narsih pun terdiam, memilin ujung bajunya. Dia benar-benar tidak menduga dilamar Wira secepat itu. Dia memang jatuh hati pada Wira sejak pertemuan pertama. Tapi takut berharap karena asal usul dirinya yang tidak jelas.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

betul...

2024-01-24

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

gak ada gula minumnya sambil liat Narsih aja...🤭

2024-01-24

0

❤Lembayung Jingga❤

❤Lembayung Jingga❤

berarti si Narsih ini dulunya dipasung ke dua orangtuanya karena dianggap gila atau bawa sial, dan diserahkan kepada ki Darso

2023-12-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!