Wajah Pono merah padam menahan amarah. Rencananya berantakan di hadapan Ki Mangun. Dari awal dia sudah merasa laki-laki tua itu menjengkelkan. Pengaruhnya di desa terlalu besar bahkan lebih kuat dibandingkan Lurah, sang pemimpin desa.
Sambil terus mengayunkan langkah, Pono mulai berpikir bagaimana cara menyingkirkan Ki Mangun dari desa. Paling tidak agar nama sesepuh itu tidak lagi kondang kawentar bagi warga. Meski pemalas sebenarnya Pono cukup cerdas dalam hal merencanakan sesuatu, licik dan culas.
"Bagaimana mungkin Darso memiliki anak perempuan? Wong dia bujang lapuk. Perempuan mana yang doyan dengan aki-aki bau menyan?" gumam Pono kesal.
"Atau jangan-jangan Si Tua Peyot Mangun itu pikun? Sesepuh, panutan, pikun, ya bosok!" lanjut Pono menggerutu sepanjang jalan.
Angin malam berhembus dingin. Dada bidang Pono merinding karena bajunya tidak dikancingkan. Selepas bermain kuda-kudaan dengan Darmini, Pono memang langsung pergi ke balai desa. Makanya dia mengenakan pakaian secara asal-asalan.
Pono menutupi dadanya, mengancingkan bajunya. Udara dingin membuat Pono teringat pada Darmini. Pikirannya tentang lahan dan ladang Darso teralihkan.
Kini otak laki-laki licik itu dipenuhi dengan bayangan lekuk tubuh Darmini. Kulit kuning langsat mulus, dengan bulu-bulu halus sepanjang lengan hingga ketiak. Bahkan suara nafas Darmini kala mereka bergumul terngiang di telinga Pono.
Pono senyum-senyum sendiri. Tangannya terkepal erat, ingin secepatnya pulang ke rumah. Nafasnya sudah terdengar berat tidak beraturan, membayangkan apa yang akan dia lakukan pada istrinya semalaman nanti.
"Makan nggak makan yang penting kumpul." Pono terkekeh.
Kala kaki Pono menapaki jalanan di tengah ladang tebu, dia menyadari lampu obor di sekitar dalam keadaan padam. Kegelapan yang sangat pekat mengurung Pono. Padahal seingatnya waktu berangkat ke balai desa tadi, area tersebut masih terang oleh nyala api obor.
Bersama dengan kegelapan, mulai muncul rasa takut. Dan bayangan wajah Darso mulai memenuhi pikiran Pono. Bukankah semalam dia yang menguburnya? Pono yang melihat wajah Darso untuk terakhir kalinya. Tulang tengkorak yang remuk. Bola mata yang rusak sebelah, serta lidah berwarna merah pekat terjulur di antara gigi seri atas yang hancur.
Keringat dingin mulai menetes di pelipis. Juga membanjiri punggung yang tertutup baju lengan panjang. Kesunyian yang ganjil juga melengkapi kegelapan. Detak jantung tak beraturan terdengar bertalu-talu menghantam gendang telinga. Pono menelan ludah, dan mempercepat langkah.
Dalam ketakutan, langkah kakinya terasa lebih lamban. Ladang tebu terasa lebih panjang dan tidak berujung. Indera pendengaran semakin tajam menangkap bunyi-bunyi ganjil di belakang saat penglihatan tidak bisa diandalkan dalam kegelapan.
Pono menghentikan langkah. Kemudian dengan sigap memutar badan kala menyadari ada suara langkah kaki yang berlarian di belakangnya. Pono yakin ada yang tengah mengikuti. Namun saat dia menoleh, tidak terlihat apapun. Jalanan kosong dan sunyi.
Pono mengedarkan pandangan ke sekitar. Di seberang jalan nampak batang tebu bergerak liar meski tidak ada hembusan angin. Pono mengepalkan tangan, mengumpulkan keberanian.
"Heh! Siapa disana? Jangan main-main yo!" bentak Pono mengusir rasa takutnya.
Suasana kembali hening. Tidak ada lagi batang tebu yang bergerak tak wajar. Kesunyian yang membuat Pono malah semakin takut. Pono menghela nafas perlahan.
"Janma manungsa digdoyo ning dunyo!" pekik Pono sambil memejamkan mata. Pono komat kamit merapal mantra yang diajarkan oleh Mbah Bayan. Pada dasarnya semua tetua desa memiliki ngilmu, dan mantra. Begitupun anggota keluarganya tentu dibekali dengan beberapa japa mantra.
Kini Pono bisa mengendalikan rasa takutnya. Laki-laki itu kembali melangkah. Dan di kejauhan mulai terlihat cahaya obor yang tertancap di halaman depan rumah warga.
Pono menduga dirinya sudah aman. Dia lengah, berjalan tanpa rasa waspada. Tiba-tiba dari arah ladang tebu, sosok hitam menyambar tubuhnya hingga jatuh berguling di parit tepi jalanan.
Belum sempat Pono mengaduh, tubuhnya ditindih oleh sosok yang mengenakan pakaian serba hitam. Wajahnya tertutup kain yang juga berwarna kelam. Hanya terlihat dua bola mata bulat melotot ke arah Pono.
Pono hendak membuka mulut. Namun niatnya diurungkan kala dia melihat kilatan warna perak mengkilap di arahkan ke lehernya. Sebuah pisau kecil berbau amis dan anyir menempel di kulit leher Pono. Mencipta sensasi dingin dan rasa nyeri di dadanya.
"Diam! Atau putus lehermu!" bentak sosok hitam. Suaranya tidak terdengar jelas tertutup kain penutup wajah.
"Kamu kan yang sudah menghabisi Darso? Jawab!" bentak sosok hitam. Karena panik Pono mengangguk, hingga tanpa sengaja lehernya tergores pisau. Perih tak terperi. Pono kini menangis. Takut akan kematian. Padahal tadi sempat memikirkan rencana bergumul dengan sang istri, tapi kini nyawanya berada di ujung sebilah pisau.
Pono benar-benar takut membayangkan kematian. Dia tidak mau berpisah dengan Darmini. Pono khawatir istrinya itu tidak bersedih jika suaminya mati. Mungkin saja Darmini segera menikah lagi saat Pono tiada. Membayangkan istrinya berada di dekapan laki-laki lain Pono semakin terisak.
"Guobloogg! Jangan bergerak. Jawab saja pertanyaanku! Jangan berteriak. Dan berhentilah menangis!" sekali lagi sosok hitam itu membentak.
"Kamu yang mengubur Darso?" Sosok hitam kembali bertanya.
"I iya, aku yang mengubur Darso. Tapi sumpah yang menghabisinya bukan aku, semua warga desa terlibat," jawab Pono sambil terisak.
"Siapapun kamu, jika kamu hendak membalas dendam maka carilah Ki Mangun. Orang tua itu yang menggerakkan warga. Dia yang melumpuhkan Darso," lanjut Pono. Meski tengah ketakutan hingga buang air di celana, nyatanya dia sempat memiliki ide untuk mengarahkan semua kesalahan pada Ki Mangun.
"Diam! Aku tak peduli soal itu. Jawab saja pertanyaanku!" Sosok hitam menampar wajah Pono menggunakan tangan kiri. Pipi Pono terasa panas. Tercium aroma bawang yang menyengat.
"Jika kamu yang mengubur Darso, berarti kamu yang mengambil keris kecil miliknya. Dimana kamu menyimpan keris itu? Di rumahmu? Dalam kamar? Lemari?" cerca Sosok hitam.
"Hah?" Pono kebingungan. Dia sama sekali tidak mengerti dengan maksud pertanyaan sosok asing yang menindihnya.
"Cepat jawab!" bentak sosok hitam menekan leher Pono.
"Keris kecil? Keris apa? Aku ndak tahu yang kamu maksud. Sumpah, demi apapun," sahut Pono cepat. Sosok hitam itu mengamati Pono. Dan merasa laki-laki pemalas itu berkata jujur.
"Jangan berbohong! Jika kamu tidak mau memberitahukannya, maka akan kuobrak abrik rumahmu!" ancam sosok hitam.
"Sumpah, aku ndak tahu," ucap Pono sekali lagi.
Sosok hitam mengayunkan tinjunya ke pelipis Pono beberapa kali. Hingga laki-laki itu pingsan tanpa perlawanan. Kemudian sosok asing itu mengambil tali, dan mengikat tangan serta kaki Pono.
Dengan susah payah sosok hitam mengangkat tubuh Pono. Kemudian melemparnya ke tengah ladang tebu. Sosok hitam berlutut di tanah mengatur nafas. Tubuhnya lebih kurus dari Pono, wajar saja sosok itu kewalahan.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Yuli a
mangan ora mangan penting kumpul. Yo suwe-suwe mati to Yo....🤣🤣🤣
2025-01-24
0
Yuli a
kerisnya ujuh berubah wujud
2025-01-24
0
Laksmi Amik
kamu y min katimin
2024-02-01
1