"Kenapa kamu terlihat bingung, seperti tidak percaya jika aku anaknya Ki Darso?" tanya Narsih penuh selidik.
Laki-laki asing itu hanya menggaruk kepalanya. Dia tidak menjawab pertanyaan Narsih.
"Aku sudah menyebutkan namaku. Bukankah seharusnya kamu juga memperkenalkan diri?" lanjut Narsih. Entah kenapa dia sangat ingin mengetahui nama laki-laki di hadapannya. Narsih merasa harus tahu siapa gerangan penolongnya itu.
"Namaku Wira."
"Kamu warga desa sini?" tanya Narsih lagi. Wira mengangguk cepat.
"Berarti kamu kenal dengan Bapakku kan? Maksudku Ki Darso. Seperti apa orangnya? Seperti apa istrinya?" Narsih memberondong Wira dengan pertanyaan.
"Istri? Aku nggak tahu. Desa ini kan berdiri lima tahun yang lalu. Aku tinggal disini selama dua tahun, kemudian harus pindah ke kota untuk melanjutkan pendidikan. Aku baru kembali ke desa hari ini. Dan menemukan perempuan aneh sepertimu yang nyaris mati tenggelam," jawab Wira nampak kesal.
Narsih bersungut-sungut. Sikap Wira dan cara bertuturnya terasa menjengkelkan. Narsih merasa laki-laki itu terlalu sombong. Namun entah bagaimana malah membuat Narsih tertarik. Ada rasa penasaran di hati, padahal Wira tadi sempat melihat bahkan menyentuh tubuh Narsih tanpa penutup kain. Apakah tubuhnya tak se menarik itu di hadapan Wira? Memikirkannya membuat Narsih semakin malu dan kesal.
"Lagipula kamu aneh. Bukankah kamu mengaku sebagai anak Ki Darso, tapi kenapa malah bertanya tentangnya pada orang yang baru kamu temui? Kamu waras?" ejek Wira. Laki-laki itu geleng-geleng kepala dengan sedikit senyum terulas di bibir. Menunjukkan gigi taring kanan atas yang gingsul. Dada Narsih terasa berdebar seketika.
"Bukan begitu. Ah sudahlah," sergah Narsih mengalihkan pandangan.
"Pokoknya aku sangat berterimakasih padamu. Jika saja kamu tidak datang menolong, sudah pasti saat ini aku. . ." ucap Narsih ragu-ragu.
"Sudahlah. Tidak masalah," potong Wira. Dia meraih baju lurik yang tergeletak di atas batu kali dan memakainya. Ada juga sebuah karung goni yang dijahit membentuk tas slempang. Beberapa tumpukan kertas tersimpan rapi di dalamnya.
"Sebagai ucapan terimakasih, bisakah kamu mampir ke rumahku dulu? Sebentar saja. Ada ubi manis, dan bisa kusiapkan kopi nanti," ujar Narsih. Dia ingin sedikit lebih lama bersama laki-laki itu. Narsih ingin mengenalnya lebih jauh.
"Aku tidak mau merepotkanmu," balas Wira datar. Narsih mendengus kesal. Bagaimana mungkin ada laki-laki sedingin itu?
Angin berhembus, meniupkan aroma sangit yang asing. Wira nampak mengendus-endus. Sementara Narsih masih dikuasai rasa jengkel di hatinya.
"Ada sesuatu yang terbakar. Apa kamu tadi membakar sampah di rumah?" tanya Wira kemudian.
Narsih terhenyak. Dia teringat dengan ubi rebusnya yang tadi dibiarkan dalam panci di atas tungku.
"Ubiku pasti gosong," ujar Narsih berbalik badan, meninggalkan Wira yang masih berdiri memandanginya.
Wira sebenarnya merasa sulit melepaskan pandangan dari tubuh Narsih. Dia menutupi degup jantungnya dengan bersikap sinis. Tak ingin dinilai mata keranjang, Wira menjaga tatapan matanya. Padahal sungguh, bentuk tubuh Narsih nyaris sempurna. Wira hanya mampu memandanginya dari belakang. Lekuk yang menggoda, tertutup kain basah yang menempel ketat, melukis setiap sudut tubuh yang membuat otak Wira memikirkan beberapa hal kotor.
Wira menampar pipinya sendiri. Menyadarkan dari lamunan yang membuatnya merasa rendah. Dia orang yang berpendidikan. Memiliki cita-cita mulia untuk memajukan desa. Tapi benang takdir membawanya bertemu dengan Narsih di hari pertama kembali ke kampung halaman. Sungguh menyebalkan, Wira tersenyum kecut.
Narsih terus melangkah dan berhasil sampai di dapurnya yang sudah mengepulkan asap hitam. Buru-buru dia menyiram tungku dengan air. Memadamkan api yang sudah menghanguskan pancinya hingga berwarna hitam legam. Air dalam panci sudah kering. Ubi yang awalnya hendak direbus kini penampakannya lebih mirip arang sabut kelapa.
"Uhuk-uhuk." Narsih terbatuk-batuk. Dia kembali melompat keluar dari dapurnya, mencari udara yang lebih segar untuk dihirup. Ternyata Wira ada di halaman belakang. Laki-laki itu berjalan mendekat dengan ekspresi datar.
"Percuma kamu mandi. Wajahmu cemong lagi, gosong," ucap Wira mengambil selembar kain dari karung goni yang dibawanya.
"Terimakasih," ucap Narsih sambil tersenyum malu-malu. Dia membersihkan wajahnya menggunakan kain pemberian Wira.
Wira diam tak menyahut. Laki-laki itu berjalan menuju ke pohon trembesi besar yang berdiri kokoh tak jauh dari bilik kamar mandi. Daunnya yang lebat membuat area sekitar menjadi sejuk. Wira duduk di bawahnya, menyandarkan punggung pada pohon berusia puluhan tahun itu.
Narsih pun menyusul, masih menggenggam erat kain pemberian Wira. Aroma sangit masih menguar di udara. Ada sedikit bau gurih dari ubi yang hangus terpanggang.
"Dulu aku cukup sering mandi di tempuran itu. Beberapa kali bertemu Ki Darso yang meletakkan sesajen di bagian tepi sungai. Aku dan beberapa teman yang memang bandel biasanya mencuri buah-buahan sesajen, untuk kami makan. Kalau Ki Darso melihatku disini sekarang, pasti dia akan marah-marah," ujar Wira dengan sedikit senyuman di bibirnya.
"Setelah kuingat-ingat, setahuku Ki Darso tinggal sendirian. Apa benar kamu anaknya?" lanjut Wira mengernyitkan dahi.
"Menurut penuturan Katimin, selama ini aku dan ibukku tinggal di desa lain. Baru pindah beberapa hari ini," sahut Narsih ragu-ragu.
"Hah? Katimin yang ngomong? Aku jadi bingung berbincang denganmu," sambung Wira. Matanya menyipit memandangi Narsih dengan sinis. Laki-laki itu menduga Narsih tidak waras.
"Aku tidak ingat apapun. Sama sekali," balas Narsih. Dia menghela nafas panjang. Tapih jarit yang menutupi tubuhnya mulai kering.
"Lhah. Kenapa tidak minta penjelasan pada Ki Darso saja?" tanya Wira kemudian.
"Ki Darso dibawa warga desa kemarin malam. Sampai sekarang belum kembali ke rumah," jawab Narsih tertunduk.
Wira memperhatikan perempuan yang duduk di sampingnya itu. Dia merasa Narsih tidak sedang berbohong ataupun bergurau. Wira tidak terlalu terkejut mendengar kabar jika Darso dihakimi warga. Sedari dulu Darso memang sudah meresahkan bagi semua orang. Darso dianggap pembawa wabah dan kesialan. Ilmu hitamnya tidak sesuai dengan adat istiadat penduduk desa.
Wira berdiri dari duduknya. Menepuk-nepuk bagian belakang celana yang sedikit berdebu. Dia menggeliat di bawah sinar matahari yang cukup terik.
"Mau kemana?" tanya Narsih kala melihat Wira hendak mengayunkan langkah.
"Pulang," jawab Wira singkat dan dingin. Narsih mendengus jengkel. Tidak mungkin dia mencegah sekali lagi langkah lelaki di hadapannya itu. Narsih merasa harus menjaga harga dirinya di hadapan orang lain.
"Akan kutanyakan pada Bapak," ucap Wira sambil melangkah pergi.
"Hah? Apanya?" Narsih terlihat bingung.
"Tentang asal-usulmu. Lain waktu aku akan kemari. Kamu kan berhutang kopi dan ubi padaku," jawab Wira. Laki-laki itu menoleh sekejap. Rambutnya yang ikal bergerak ringan diterpa angin. Dari samping, hidung mancungnya nampak lancip dan memerah di bagian ujung.
"Baiklah. Kutunggu," jawab Narsih lirih. Degup jantungnya terasa sangat cepat. Debaran di dada membuat Narsih gelisah.
Wira berjalan pergi. Narsih tetap memandangi punggung bidang laki-laki itu. Hingga akhirnya menghilang di kejauhan, ditelan rindangnya pepohonan. Sedangkan kain pemberian Wira, masih tergenggam erat di jari tangan Narsih yang lentik.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Menteng Jaya
bagus thor tolong dijelasin jatidiri Narsih
2025-01-18
0
Yuli a
jatuh cinta..
2025-01-24
1
Zuhril Witanto
Narsih jatuh cinta pada pandangan pertama
2024-01-24
1