Udara senja yang terlampau dingin. Suara tonggeret menjadi pertanda malam akan datang. Sesekali hembusan angin menerobos lewat celah dinding kayu meniup api di tungku. Mencipta kehangatan sesaat bersama percikan kecil bara yang beterbangan.
Narsih berjongkok menuang santan ke dalam panci yang berisi daun singkong. Meski dia masih bingung dengan ingatannya yang kosong, namun ketrampilan memasaknya tidak diragukan. Aroma santan yang mendidih gurih, semerbak ke penjuru ruangan.
"Sudah matang kah sayurnya? Sayang sekali hari ini aku tidak memancing ikan untuk lauk. Aku terlalu sibuk mengurusmu dari semalam," ucap Darso sambil tersenyum. Di bawah cahaya lampu kurung yang temaram, wajah laki-laki itu nampak berminyak dan lirikan matanya menakutkan.
"Mengurusku?" Narsih mengernyitkan dahi.
Darso berdiri dari duduknya dan menghela nafas perlahan. Tepat ketika terdengar ketukan di pintu depan. Darso nampak cemberut, seolah terganggu dengan suara ketukan itu.
Dengan langkah gontai Darso menuju ke pintu depan. Ketukan terus berulang. Siapapun yang ada di balik pintu pasti orang yang tengah tergesa-gesa. Sedikit kasar Darso menarik daun pintu dengan wajah kusut. Seorang laki-laki kurus berdiri di teras depan dengan wajah ketakutan.
"Semprol! Rupanya kamu Min. Ada perlu apa kemari surup-surup?" bentak Darso kala melihat tamunya adalah Katimin. Laki-laki itu tidak mengenakan baju, hanya celana kolor hitam lusuh untuk menutupi tubuhnya. Katimin benar-benar kurus bahkan tulang iga nya nampak menonjol tanpa daging ataupun lemak.
"Gawat Ki, gawat!" pekik Katimin panik. Darso menaikkan alisnya.
"Apanya yang gawat? Ngomong yang jelas!" bentak Darso.
Narsih masih berada di dapur. Hanya menyimak dua laki-laki asing yang tengah berdebat itu. Dari cara bicaranya, Narsih menduga Katimin adalah bawahan atau mungkin rewang dari Darso.
"Orang-orang menuju kemari Ki. Warga kemari. Kayaknya berkaitan dengan matinya Mbah Bayan," ucap Katimin panik.
"Terus kenapa? Mereka mau melabrakku? Memangnya ada bukti? Orang-orang desa kok ngawur," sahut Darso santai.
"Lebih baik Ki Darso sementara sembunyi dulu. Aku khawatir Ki. Aku tahu Ki Darso punya ilmu, beladiri juga mumpuni. Tapi jumlah mereka terlalu banyak Ki," bujuk Katimin.
"Ogah. Kamu saja yang lari dan sembunyi. Pantang bagi Darso untuk takut pada orang-orang kampung yang beraninya keroyokan. Lihat saja nanti," ucap Darso sesumbar.
"Ki Mangun ikut dalam rombongan. Bukankah sebaiknya njenengan menghindari pertemuan dengannya?" Katimin mencoba mengingatkan Darso. Namun mendengar ucapan Katimin Darso malah tersinggung.
"Minggato! Dasar penakut! Dunia ini hanya milik pemberani. Manusia penakut sepertimu takkan memiliki tempat dan jabatan tinggi nantinya," bentak Darso sambil melotot.
Katimin pun terdiam, kemudian memutar badan dan segera berlari meninggalkan rumah Darso. Sesekali dia masih menoleh. Berharap Darso mau mendengarkan sarannya. Namun nyatanya yang terjadi malah Darso menutup pintu rumah dengan sekuat tenaga.
"Nduk, Narsih!" panggil Darso. Narsih masih diam terpaku di depan tungku.
"Kamu ingin tahu siapa sebenarnya dirimu kan?" tanya Darso mendekati Narsih. Perempuan itu mengangguk perlahan.
"Kamu adalah anakku Nduk. Apapun yang terjadi nanti kamu harus ingat, bahwa dirimu adalah anak satu-satunya Ki Darso. Dukun paling kondang di desa Karang," ucap Darso memegang erat pundak Narsih.
"Lalu apa yang terjadi padaku? Kenapa aku nggak ingat semua hal?" tanya Narsih, curiga Darso tengah berdusta.
"Itu semua karena Ki Mangun. Musuhku. Dia telah mengirimkan guna-guna padamu hingga kamu lupa segalanya. Aku sedari kemarin mencoba mengobatimu tapi ndak bisa. Ki Mangun adalah dukun sakti tapi hatinya penuh niat jahat," jelas Darso meyakinkan.
"Jika demikian, dimana Ibuku?" tanya Narsih sekali lagi. Darso melepaskan cengkeraman tangannya. Wajah laki-laki itu terlihat kesal mendapat pertanyaan Narsih yang bertubi-tubi.
"Kamu itu benar-benar cerewet! Banyak tanya! Pokoknya aku sudah memberitahu yang sebenarnya padamu. Setelah ini sembunyilah. Ki Mangun bersama orang-orang kampung itu sepertinya ingin menghabisiku," ucap Darso. Raut wajahnya menyiratkan kegelisahan.
Narsih masih tidak bisa mempercayai Darso. Dia diam saja, menatap kobaran api yang membakar kayu kering dalam tungku. Sementara di halaman depan tiba-tiba saja terlihat terang.
Ada puluhan obor berjejer menerangi jalan menuju ke rumah Darso. Warga desa berdatangan dengan teriakan-teriakan memanggil Darso agar keluar. Wajah Darso terlihat pucat.
"Nduk, pokoknya jauhi Ki Mangun dan keluarganya. Jangan makan pisang emas. Dan satu lagi jangan lupa, setiap hari rebo wage kamu harus mandi kembang telon. Terutama rebo wage manahil. Ingat pesanku. Dan sekarang sembunyilah di kamar. Aku mungkin takkan kembali lagi," ujar Darso setelah menghela nafas panjang. Kesombongannya kini telah pudar. Dalam batinnya Darso sedikit menyesali tidak mendengarkan saran dari Katimin. Tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi jenang.
Darso mengambil rokok kobotnya dari saku celana. Dia membetulkan ikat kepala yang agak miring. Setelah menghisap asap tembakau, Darso kembali menegakkan punggung. Berjalan dengan langkah yang terlihat congkak. Dagunya di angkat tinggi, siap menantang siapa pun yang ada di halaman rumahnya.
Suara teriakan dari luar rumah semakin kencang bergema. Kilatan warna merah jingga dari kobaran api obor terlihat menyala di antara celah dinding kayu. Narsih berjongkok di balik dipan bambu kuning. Darso meniup lampu kurung di dinding, membuat suasana dalam rumah menjadi gelap pekat.
Darso membuka pintu depan. Dia keluar rumah dengan kedua tangan diletakkan di pinggang. Puluhan warga menyambutnya dengan tatapan penuh kebencian.
"Ada apa kalian teriak-teriak depan rumahku? Ndak punya tata krama, unggah ungguh yang biasanya kalian gaung-gaungkan. Cihh!" bentak Darso menatap satu persatu warga di hadapannya. Kemudian matanya tertuju pada satu sosok yang berdiri di tengah kerumunan.
Ki Mangun, laki-laki yang memakai blangkon bermotif batik cengkeh. Setelan baju dan celana panjangnya serba hitam. Kumis tebal melintang di atas bibir. Dengan sorot mata tajam ke arah Darso.
"Darso, jangan pura-pura bodho! Kamu kan yang mengirim santet pada Pak Bayan?" teriak salah satu warga di barisan depan.
"Hah? Jaga mulutmu! Menuduh tanpa bukti itu sama saja dengan fitnah!" balas Darso tak mau kalah.
"Semua orang juga tahu kamu mengincar posisi Bayan, tapi nggak kepilih. Makanya kematian Pak Bayan pasti ulahmu!" sahut warga lainnya. Darso melotot dengan wajah memerah.
"Jadi kalian melabrakku berdasar asumsi. Menggelikan!" bantah Darso. Suasana hening. Darso memang pandai berdebat. Warga mati kutu dibuatnya.
Ki Mangun berdehem, kemudian melangkah maju. Laki-laki tua itu terlihat tegap meski untuk berjalan membutuhkan bantuan sebuah tongkat kayu.
"Darso, aku tahu soal ilmu yang menjadi peganganmu. Mengaku saja dan serahkan semua jimat yang kamu miliki!" perintah Ki Mangun.
"Kamu mengincar jimatku ya Pak Tua. Enak saja! Sudah memfitnah, terus mau merampas apa yang menjadi milikku. Pulang dan tidur di ranjang empukmu. Tak usah mengganggu hidupku," ejek Darso congkak.
Tiba-tiba salah satu warga yang berada di barisan depan berlari maju dan langsung menghantamkan balok kayu ke kepala Darso. Kayu patah dan Darso hanya tersenyum sinis.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Yuli a
lah... kalau nyesel nggak dengerin omongan Ngatimin, ngapain nggak kabur aja lewat belakang...🙄🙄
2025-01-24
0
Bayangan Ilusi
jenang nasi itu, puli bukan?
2024-11-14
0
Syahrudin Denilo
Weh maen hantam aja
2024-02-26
0