Sekawan

Dalam pekatnya kegelapan, bola mata putih bersih itu mengerjap-ngerjap. Tidak ada setitik cahaya pun tersisa di halaman depan. Hanya bara api kemerahan dari dapur, satu-satunya warna yang terlihat selain rupa hitam.

Narsih sudah menunggu terlampau lama di ruang depan. Mengintip dari balik celah dinding kayu. Berharap ada orang yang kembali ke rumah itu. Setidaknya memberi penjelasan apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Namun ternyata tidak ada satupun langkah kaki yang mendekat.

Narsih pada akhirnya beringsut mundur. Sedikit meraba-raba dalam kegelapan. Dia meraih lampu kurung 'ublik' yang tergantung di dinding. Menyalakannya kembali dengan bara api di dapur.

Cahaya kemerahan berpendar, menerpa wajah ayu yang duduk termenung sendirian di dipan berbahan bambu kuning. Perasaannya bimbang. Apa yang harus dilakukan sekarang?

Nasi thiwul hitam di atas meja terlihat dihinggapi lalat. Dua buah piring yang tadi sempat disiapkan untuk makan pun pada akhirnya hanya tertumpuk dan dibiarkan begitu saja. Ada asap tipis mengepul di atas panci yang berisi sayur daun singkong.

Perut Narsih berbunyi. Rasa lapar tiba-tiba datang tak tertahankan. Dengan tergesa-gesa dia menyambar piring dan mengambil satu centong nasi thiwul. Meski hanya ada sayur daun singkong tanpa lauk, Narsih makan dengan sangat lahap.

Aroma nasi thiwul yang sedikit kecut, tetap terasa nikmat di lidah Narsih. Perempuan itu sedikit heran, kenapa dirinya merasa sangat lapar? Seolah berhari-hari perut itu tidak terisi makanan se cuil pun.

Narsih tidak peduli jika dirinya terlihat sangat rakus. Toh, tidak ada siapapun di dekatnya saat ini. Dia mengangkat panci yang isinya hanya tinggal kuah saja. Narsih meminumnya hingga tandas. Bibirnya yang merekah menyesap ujung tembaga hangus itu, seperti seekor rusa yang kehausan di tengah padang sabana.

"Ahhhh." Narsih bersendewa. Mengusap bibirnya yang menghitam terkena panci. Wajahnya cemong, belepotan kini. Tapi tetap saja kecantikan perempuan itu tidak ada duanya.

Narsih meletakkan panci di atas tungku. Kenyang dan lega. Dia tersenyum sumringah sembari mengelus-elus perutnya. Nasi thiwul sebakul, dan sayur daun singkong satu panci penuh tak tersisa barang secuil pun.

Udara dingin berhembus, meniup nyala api di lampu kurung. Nyaris saja satu-satunya sumber cahaya itu padam. Narsih tiba-tiba merasakan begah di perutnya. Entah sejak kapan di bagian pusarnya nampak membesar. Perut itu membulat tiba-tiba.

Perut Narsih terasa panas. Menjalar dari bawah bergerak ke tenggorokan. Narsih melompat dari tempat duduknya. Setengah berlari dia meraih pintu belakang.

"Upphhh!" Pipi Narsih menggelembung. Dia membuka pintu dan langsung muntah di halaman belakang. Seluruh makanan yang tadi masuk ke perutnya dimuntahkan. Bola mata Narsih memutih. Urat-urat di wajah nampak menonjol.

Narsih terjatuh dengan lutut sebagai tumpuan di tanah. Dia tertunduk lemas. Perutnya mengempes. Keringat dingin mengucur, mengalir di pelipis. Nafas tersengal dan sulit di atur.

Malam benar-benar gelap kali ini. Rerumputan di halaman belakang nampak abu-abu. Suara gemericik air sungai menambah sensasi dingin beku yang membuat bulu kuduk meremang.

Narsih kini terduduk di atas rerumputan setelah seluruh isi perutnya terkuras habis. Mulutnya terasa pahit. Sesekali dia meludah mencoba membersihkan sisa-sisa makanan yang tertinggal di rongga mulut.

Perhatian Narsih kemudian teralihkan. Ada sesuatu yang bergerak-gerak di bilik kamar mandi yang tak beratap. Sesuatu yang melompat-lompat di tempat, terlihat dari balik dinding yang hanya setinggi leher orang dewasa itu.

Narsih menyipitkan bola mata. Mencoba melihat lebih jelas apa yang ada di dalam bilik kamar mandi. Sesuatu yang bergerak itu tiba-tiba berhenti melompat. Suasana berubah hening. Suara gemericik air sungai lenyap seketika. Tertutup bunyi detak jantung yang tak beraturan.

Kini terlihat jelas, sosok di dalam bilik kamar mandi. Terbungkus kain putih kusam, sosok itu memutar kepalanya perlahan. Narsih tak mampu berkedip, hingga nampak jelas wajah hitam dengan bola mata merah menyala menatap lurus ke arahnya.

Narsih menelan ludah. Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Dia merangkak mundur sambil tetap menjaga pandangannya ke arah kamar mandi. Apa yang Narsih khawatirkan, detik berikutnya benar-benar terjadi.

Sosok menakutkan itu kembali melompat. Kali ini tidak sekedar melompat di tempat, tetapi mulai bergerak maju. Gerakannya lebih cepat dari Narsih yang merangkak mundur. Anehnya, pintu belakang rumah terasa semakin menjauh.

Dengan nafas tersengal Narsih mencoba mempercepat gerakannya. Sosok menakutkan itu terus mengejar, malah jarak mereka kian dekat. Semakin jelas pula penampakan mengerikan. Wajah yang menghitam dengan beberapa luka yang belum mengering. Mulut yang terkatup rapat dengan cairan kental menetes dari celah bibirnya. Badan yang terbungkus kain putih lusuh itu juga bernoda merah kehitaman dalam kegelapan.

Narsih mulai menangis ketakutan. Tenggorokannya seperti tercekik. Jangankan untuk berteriak, bersuara pun tak mampu. Lagipula jika dia berteriak takkan ada orang yang mendengarnya.

Setelah merangkak dengan tenaga yang tersisa, Narsih berhasil mencapai pintu rumah. Kemudian dia masuk dan membanting daun pintu sekuat tenaga. Dengan tangan gemetar Narsih berhasil menarik besi pengunci pintu. Perempuan itu bernafas lega, berjongkok di depan pintu dengan wajah basah penuh air mata bercampur keringat.

Suasana hening. Narsih menajamkan indera pendengar. Tidak ada suara apapun yang terdengar. Benar-benar sunyi. Sedikit ragu-ragu Narsih mengintip halaman belakang melalui celah dinding kayu. Tidak ada apapun yang terlihat. Hanya rerumputan yang gelap. Di bilik kamar mandi juga tidak ada apapun.

Narsih bernafas lega. Namun saat Narsih menduga sosok yang mengejarnya sudah hilang, secara perlahan muncul wajah hitam terbungkus kain putih lusuh yang juga mengintip lewat celah di dinding. Narsih dan sosok itu saling menatap. Mereka hanya dihalangi oleh dinding kayu akasia. Wajah sosok itu tergantung terbalik.

"Aarrrrghhh!" pekik Narsih. Dia melompat mundur.

"Tempatmu bersamaku."

Terdengar suara serak dari balik dinding. Suara asing yang entah datang darimana. Mungkin sosok mengerikan yang mengintip, atau ada yang lain. Narsih terus merangkak mundur. Tangannya menyentuh kelambu kamar Darso.

Tidak ada pilihan lain, mungkin hanya kamar Darso yang aman untuk Narsih. Perempuan itu masuk ke dalam kamar, menghindari tatapan mengerikan dari halaman belakang. Kegelapan langsung menyergap. Hanya terlihat bayangan lampu kurung meliuk-liuk tertiup angin, menerobos di antara kain kelambu yang tipis.

Narsih meraba-raba dan tangannya menemukan sebuah ranjang kecil tempat tidur Darso. Narsih melompat ke atas dipan itu. Terasa empuk. Mungkin kasur kapuk, yang beraroma sedikit apek. Dalam ketakutan Narsih mencoba memejamkan mata. Apa yang bisa dilakukan? Kecuali hanya berharap malam segera pergi, dan fajar cepat menyingsing.

Suara-suara bergumam masih terdengar dari luar.

"Tempatmu bersamaku!"

Ucapan yang sama, terdengar berulang. Suara laki-laki, serak dan berat. Narsih tidak mengenali suara itu. Lagipula bagaimana mungkin Narsih bisa mengenalinya? Bahkan dia tidak mampu mengingat siapa jati dirinya. Narsih meletakkan telapak tangan di telinga, menutupi indera pendengarannya. Perlahan perempuan itu pun terlelap.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

apakah Narsih udah meninggal....

2025-01-24

0

Rose_Ni

Rose_Ni

bukan manusiakah

2024-01-31

1

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

mungkinkah itu Darso...?

2024-01-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!