Gangsal

Suara asing, seperti benda yang dipukul terdengar nyaring. Narsih gelagapan terbangun dari tidurnya. Dia memperhatikan sekeliling. Bilik kamar Darso yang penuh dengan sarang laba-laba di setiap sudutnya. Sebuah keris usang tergantung di dinding.

Di depan tempat Narsih tertidur, nampak sebuah lemari dengan tumpukan baju dan kertas yang berwarna kuning. Tergeletak semrawut dan tidak terurus. Narsih hendak memeriksa kamar itu, namun perhatiannya teralihkan oleh suara asing yang berasal dari halaman belakang.

Narsih kembali teringat kejadian semalam. Sosok yang menakutinya dari bilik kamar mandi. Mungkinkah sosok itu belum pergi? Tapi sinar matahari pagi begitu cerah menerobos celah dinding kayu. Mana mungkin ada setan keluar di saat seperti ini?

Dengan sedikit keraguan di benaknya Narsih berjalan perlahan keluar kamar. Suara asing itu semakin terdengar nyaring. Narsih kembali mengintip dari tempat yang sama kala dia bertemu sosok mengerikan semalam.

Ternyata ada Katimin sedang membelah kayu bakar menggunakan sebuah kapak kecil di halaman belakang. Tubuhnya yang kurus membuat tenaga yang dimiliki tak seberapa. Kayu bakar yang berukuran kecil itu tidak dapat langsung terbelah. Perlu dua hingga tiga kali ayunan untuk memecahkan serat kayu.

Narsih bernafas lega. Dia buru-buru membuka pintu belakang dan membuat Katimin terkejut. Laki-laki itu menghentikan aktivitasnya. Menoleh ke arah pintu belakang rumah. Dahinya berkerut, terlihat semakin bingung kala sosok yang keluar dari dalam rumah adalah seorang perempuan cantik.

"Si- siapa?" Katimin tergagap.

"Bukankah Njenengan teman dari Ki Darso yang kemarin datang kemari? Aku Narsih, anaknya Ki Darso," ucap Narsih tak kalah bingung.

Padahal Darso kemarin menerangkan pada Narsih jika dia adalah anak dari Darso. Tapi kenapa Katimin tidak mengenalinya? Itu artinya Darso berdusta. Tapi Narsih tidak memiliki ingatan dan petunjuk apapun soal siapa dirinya.

Katimin terdiam sesaat. Dia nampak berpikir. Kemudian bibirnya mengulas senyum.

"Owalah, Narsih to? Iya Ki Darso sering cerita. Tapi memang aku belum pernah bertemu denganmu," ucap Katimin kemudian. Dia berjalan mendekati Narsih dan menyalaminya.

"Bagaimana mungkin Njenengan tidak pernah bertemu denganku? Apa Njenengan tidak sering datang ke rumah ini? Ah, kurasa itu mustahil. Buktinya Njenengan sekarang memotong kayu disini, yang artinya sudah cukup akrab dengan seluk beluk rumah ini. Tempat kayu bakar, kapak, dan semuanya. Pasti hari-hari Njenengan banyak dihabiskan di rumah ini," cerca Narsih dengan pertanyaannya.

Katimin terlihat salah tingkat. Dia garuk-garuk kepala.

"Emmm, ya kan sebelumnya kamu tinggal bareng Ibukmu. Tidak di rumah ini," sahut Katimin ragu-ragu.

"Lalu dimana Ibukku? Rumahnya? Namanya?" desak Narsih dengan bola mata yang membulat.

Katimin benar-benar mati kutu. Mulutnya terkatup rapat. Bola matanya melirik ke arah lain, tidak berani beradu tatap dengan lawan bicaranya.

"Anu, Nduk. Kalau soal itu mungkin Ki Darso yang bisa menjelaskan. Aku kan hanya rewangnya, jadi ya ndak tahu sampai detail tentang kehidupan pribadi Ki Darso," kilah Katimin. Narsih mengernyitkan dahi.

"Ngomong-ngomong, Ki Darso, ee maksudku Bapakmu kemana?" tanya Katimin mengalihkan pembicaraan.

"Seharusnya aku yang tanya. Bukankah tadi malam Ki Darso dibawa warga desa? Apa Njenengan tidak ada di tengah-tengah warga?" tanya Narsih penuh selidik.

Katimin nampak terkejut. Rahangnya mengeras. Laki-laki itu melempar kapaknya dan berjalan pergi dengan wajah tegang.

"Njenengan mau kemana?" tanya Narsih.

"Mencari Ki Darso," jawab Katimin tanpa menoleh. Kemudian dia menghentikan langkah.

"Asal kamu tahu saja, banyak warga desa yang iri pada Ki Darso. Segala cara digunakan untuk menjatuhkannya. Pada akhirnya semua berujung pada kegagalan. Namun jika Ki Darso belum kembali dari kemarin mungkin saja dia butuh bantuanku," lanjut Katimin. Dia kembali melangkah pergi. Narsih hanya mengamatinya dari ambang pintu. Punggung laki-laki kurus itu berjalan menjauh.

Katimin terus melangkah. Firasatnya tidak enak. Sesekali ujung jari kakinya tersandung kerikil terjal jalanan. Memang jalan menuju ke rumah Darso tidak terurus. Beda dengan jalan desa yang sudah diuruk dengan tanah merah. Warga desa mengucilkan Darso, menolak keberadaannya.

Dengan keringat yang mengucur di sekujur tubuhnya, Katimin sampai di pasar desa yang terletak di bagian ujung pemukiman warga. Katimin tidak memiliki tempat tinggal yang menetap. Dia hanyalah gelandangan yang hidup dan tidur secara berpindah. Saat warga desa mengacuhkannya, tidak mempedulikannya, Darso lah yang memperlakukan Katimin seperti seorang teman.

Darso memang memiliki sifat kaku, dan suka memaksakan kehendak. Awalnya Katimin pun takut pada Darso. Setiap warga memang menceritakan sosok Darso bagai jelmaan iblis. Namun kemudian anggapan itu berubah kala Katimin bertemu langsung dengan sang dukun.

Pertemuan yang tidak direncanakan itu terjadi kala Katimin mengambil daun jati untuk dijual di pasar sebagai pembungkus nasi. Tanpa Katimin sadari, dia mengambil daun jati di tanah yang diolah Darso. Katimin bersujud minta ampun pada Darso. Namun Darso hanya tertawa saja.

"Setiap jengkal tanah yang kamu pijak itu ada perjanjiannya. Jadi, jangan sembrono dan ngawur atau kamu akan celaka," ucap Darso kala itu. Kalimat yang selalu Katimin ingat, meski belum begitu dia pahami maksudnya.

Darso belum kembali ke rumah sejak kemarin sore. Padahal Katimin mendengar dari para pedagang pasar jika warga hendak menggerebek rumah Darso. Dia dituduh telah mengirimkan santet pada Mbah Bayan.

"Kenapa sih nggak mau nurut saranku," gumam Katimin panik. Dia sampai di sudut pasar, menemui pedagang empon-empon kenalannya. Namanya Sumi. Perempuan berbadan gemuk dengan jari tangan berwarna kuning bekas kunyit.

"Sum?" panggil Katimin setengah berbisik.

"Hmm? Apa? Mau ngutang?" tanya Sumi acuh.

"Emoh. Ngapain ngutang ke kamu. Kut*ng mu kebesaran," sahut Katimin. Sumi melotot.

"Kemarin aku dengar warga desa mau ke tempat Ki Darso. Terus gimana? Apa yang warga lakukan pada dukun itu?" tanya Katimin masih dengan suara lirih.

"Makanya to, kamu itu seharusnya kemarin ikut. Daripada penasaran."

Katimin cemberut. Kesal mendengar jawaban Sumi.

"Kalau dari yang kudengar, Ki Darso berhasil dilumpuhkan. Dibawa ke tanah lapang lereng bukit," tukas Sumi.

"Terus?" desak Katimin.

Sumi menyilangkan kedua telapak tangan di depan leher. Perempuan itu juga menjulurkan lidah. Memberi isyarat jika Darso telah tewas.

"Hah? Siapa yang melakukannya?" Katimin melotot. Suaranya kini terdengar melengking.

"Anak Mbah Bayan lah. Hutang darah dibayar darah. Nyawa dibalas nyawa." Sumi menimpali.

Katimin tertunduk menyembunyikan kesedihannya. Dia menyesal kenapa tidak memaksa Darso untuk sembunyi kemarin. Kini apa yang harus dilakukan Katimin? Padahal dia sudah belajar beberapa mantra dari Darso. Katimin ingin sukses dan kaya dengan menjadi seorang dukun yang tersohor.

Kemudian Katimin teringat dengan perempuan di rumah Darso. Siapa perempuan itu sebenarnya? Siapa Narsih? Darso tidak memiliki istri. Bagaimana mungkin punya anak? Menetas atau muncul dari balik batu? Mustahil.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Syahrudin Denilo

Syahrudin Denilo

waduh

2024-02-26

0

Yuli Eka Puji R

Yuli Eka Puji R

anak ayam🤣😂

2024-01-29

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

opo petek netes ..🤣

2024-01-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!