"Ki Darso kebal!" pekik salah seorang warga.
Beberapa orang berbadan gempal maju dan mencoba memukuli Darso. Namun laki-laki itu tidak goyah. Bukannya merasa sakit, Darso malah tertawa terbahak-bahak.
"Kalian itu seharusnya bersyukur. Di tengah-tengah kehidupan desa yang melarat ada orang kuat sepertiku. Jadi jika sewaktu-waktu ada gangguan dari luar aku lah yang maju. Bukannya menerimaku, kalian malah mengucilkan ku," gerutu Darso.
"Mana sudi kami mengikuti orang yang memuja ilmu hitam sepertimu! Bisa-bisa desa ini kena karma, musibah!" balas warga dengan lantang.
Darso menggeram, kesal. Dia merasa kecewa. Setiap apapun yang dia inginkan kenapa selalu bertentangan dengan warga desa. Darso memang beberapa kali mencelakai orang lain dengan ilmu santetnya. Tapi orang-orang itu memang layak dilenyapkan bagi Darso.
"Kalian itu hanya iri padaku! Manusia lemah selalu merasa takut pada hal-hal yang tidak mereka mengerti. Seperti halnya ilmuku. Kalian takut, karena merasa tak bisa menguasainya," ejek Darso.
Warga melingkar mengepung Darso di tengah halaman depan rumah. Entah siapa yang dirasuki iblis malam ini. Darso yang memuja ilmu hitam, atau para warga yang dikuasai amarah ingin melenyapkan Darso.
Beberapa orang maju sekali lagi, memukuli Darso membabi buta. Namun laki-laki itu tetap kuat berpijak pada tanah. Tidak ada satupun luka lecet. Malah warga yang memukulinya merasakan ngilu di ruas-ruas jari. Tinju mereka penuh luka lebam.
Darso tertawa terbahak-bahak. Suaranya bergema mengerikan. Beberapa warga mundur. Yang awalnya bernyali besar, ternyata kini tak ubahnya rupa harimau namun berhati tikus.
Di tengah kerumunan warga, Ki Mangun memejamkan mata. Mulutnya komat kamit sebentar kemudian menyerahkan sepucuk tunas tanaman pada warga yang berdiri di sebelahnya. Laki-laki yang menerima tunas tanaman itu pun berlari ke depan. Menyibak kerumunan yang masih mencoba mengeroyok Darso.
Darso semakin merasa unggul. Setiap pukulan lawan tidak berpengaruh pada tubuhnya. Dia merasa jumawa. Sesekali mengibaskan tangan menampar warga yang berupaya mendekat. Namun saat sebuah pecutan mengenai punggungnya yang terbuka, Darso merasakan nyeri.
Tiba-tiba Darso kesakitan. Punggungnya terasa panas. Kemudian beberapa pukulan menghantam perutnya. Darso pun terhuyung. Dia muntah dan akhirnya ambruk ke tanah.
"Daun kelor?" Darso kini menyadari benda apa yang tadi dipecutkan ke punggungnya. Tubuhnya terasa lemah. Tenaganya lenyap seketika.
"Seret ke lereng bukit manik-manik!" perintah salah seorang warga.
Darso yang sudah tak berdaya hanya bisa pasrah saat beberapa tangan mencengkeram pundaknya. Sedangkan dari dalam rumah Narsih mengintip melalui celah lubang dinding kayu. Mengamati orang-orang yang menyeret Darso bagai binatang hasil buruan.
Anehnya, Narsih tidak merasakan kesedihan. Padahal Darso mengatakan bahwa dia adalah Bapaknya Narsih. Tapi kenapa tidak ada getaran di hatinya melihat sosok laki-laki itu diseret dan diperlakukan tidak manusiawi?
Narsih terkejut, tersadar dari lamunannya kala menyadari ada sepasang mata yang menatap rumah dengan pandangan yang tajam. Ki Mangun berdiri di tengah halaman depan. Bola mata yang bulat dengan pantulan kobaran api obor di pupilnya nampak menakutkan menatap lurus, seolah tengah memandangi Narsih yang bersembunyi di balik dinding.
Ki Mangun akhirnya berjalan pergi. Meninggalkan rumah yang ditelan kegelapan kala obor warga berjalan menjauh. Membiarkan Narsih yang kebingungan dan ketakutan.
Warga terus menyeret Darso. Tidak ada yang peduli meski dukun itu mengaduh kesakitan. Kakinya penuh luka terantuk bebatuan yang terjal sepanjang jalan menuju ke lereng bukit.
Saat rombongan warga penuh amarah itu sampai di area lapang dengan rumput gajahan dan gelagah setinggi lutut, Darso dilemparkan begitu saja. Tubuh gemuk penuh lemak itu berguling di atas rumput. Beberapa warga tertawa puas.
"Br*ngsek kalian!" umpat Darso mencoba bangun. Tapi luka-luka di kaki membuat Darso semakin lemah.
"Seperti inikah tabiat warga desa yang katanya menjunjung tinggi norma adat kesopanan? Seolah aku ini hewan yang tidak berguna," keluh Darso sambil menahan rasa nyeri di tulang keringnya.
"Bukankah manusia yang tega mengalirkan darah manusia lain berarti lebih buas dari hewan? Memperlakukan manusia yang seperti itu tidak bisa dengan hukum adat, tapi dengan hukum rimba!" bentak salah satu warga yang merupakan anak dari Mbah Bayan. Laki-laki itu terlihat penuh amarah dan dendam.
"Ya benar! Jika orang sepertimu dibiarkan hidup di tengah masyarakat yang menginginkan kedamaian, tentu hanya akan menjadi benalu! Habisi saja!" sahut warga lainnya.
Darso terduduk lemas. Dia sudah pasrah dengan nasibnya. Sebenarnya sedari siang tadi, Darso sudah memiliki firasat yang kurang baik. Ada kegelisahan di hati yang sulit diungkapkan. Dia kembali menyesali sudah menghiraukan saran Katimin.
Seandainya saja Darso mau menurunkan sedikit egonya. Jika tadi Darso bersedia untuk bersembunyi, tentu ada peluang untuk selamat dari amukan warga. Tapi mau sampai kapan Darso lari?
Warga yang terlanjur dibutakan oleh amarah merangsek maju. Mereka beramai-ramai memukuli Darso. Ada yang menggenggam bongkahan batu, dihantamkan langsung pada kepala Darso.
Di bawah cahaya obor yang temaram, warna merah pekat terciprat di udara. Membasahi rumput gajahan, menodai warna hijau muda tunas tanaman yang baru tumbuh.
Darso tidak mengaduh meski kepalanya pusing seperti mau pecah. Dia dapat melihat tubuhnya yang terkoyak. Suara tulang iganya yang patah. Dia juga dapat merasakan gigi geraham yang rontok serta bola mata yang nyaris melompat keluar dari tempatnya. Semua itu Darso nikmati.
Bayangan kehidupan yang puluhan tahun telah dia jalani mulai terlihat di benaknya. Tiba-tiba saja ingatannya diarahkan pada sosok Narsih. Perempuan cantik yang sangat dia inginkan. Bagaimana hidup Narsih jika Darso mati?
Mengingat Narsih, membuat Darso menitikkan air mata. Padahal banyak rencana indah yang sangat ingin Darso wujudkan. Tapi semua itu sudah tak mungkin lagi terlaksana. Ajal sudah di depan mata.
Darso kesal, dan marah. Semua perasaan hancur itu diarahkan pada sosok Ki Mangun. Andai saja laki-laki itu tidak ada, mungkin tidak akan ada warga desa yang mampu melukai Darso.
"Aarrgghhh!" Darso tiba-tiba saja berteriak saat sekujur tubuhnya remuk. Suaranya parau. Nafasnya pun hanya tersisa di ujung tenggorokan.
"Aku tak terima. Kalian semua lihat saja nanti! Ki Manguuun, kutunggu di neraka!" pekik Darso sekuat tenaga. Detik berikutnya dia mengejang sesaat kemudian terbatuk-batuk dan nafasnya pun lenyap. Darso tewas di tangan warga desa.
Tangan-tangan berlumuran darah masih terkepal erat. Senyum penuh kemenangan tersungging di bibir beberapa warga. Mereka lupa apa yang telah diperbuat tak ubahnya hewan yang tidak memiliki hukum.
Ki Mangun sampai di lokasi saat semua sudah selesai. Wajah tetua desa itu nampak mengeras kala melihat Darso sudah remuk tak berbentuk.
"Apa yang sudah kalian lakukan?" bentak Ki Mangun geram dan kecewa.
"Nyawa dibayar nyawa Ki. Sekarang sudah tuntas, impas," sahut anak Mbah Bayan.
"Bagaimanapun, kalian harus menguburkannya dengan layak," ucap Ki Mangun dengan ekspresi sedih.
"Serahkan saja padaku," jawab anak Mbah Bayan. Dibantu beberapa warga, anak Mbah Bayan mengangkat tubuh Darso yang sudah tak karuan bentuknya. Ki Mangun mengetuk-ngetuk tanah menggunakan tongkat kayunya.
"Semoga saja ini tidak menimbulkan masalah baru di desa."
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Yuli a
bukannya selesai... tapi baru dimulai....
2025-01-24
0
Syahrudin Denilo
malapetaka dimulai
2024-02-26
1
Laksmi Amik
ngeri
2024-02-01
0