"Bersediakah kamu menjadi istri Wira?" tanya Ki Mangun.
Narsih semakin merasa bimbang. Dia takut salah langkah. Pernikahan merupakan sebuah pintu untuk memulai babak baru dalam kehidupan. Narsih sadar betul setelah menikah nanti dia harus memberikan segalanya untuk Wira.
Soal hati dan perasaan, Narsih tidak ragu. Dia memang jatuh hati pada sosok Wira. Namun, semua terjadi dengan sangat tiba-tiba. Keputusan yang diambil dengan tergesa-gesa dikhawatirkan menyisakan hal buruk di lain waktu.
Dalam keraguan, sebuah telapak tangan kekar menggenggam jari Narsih dengan erat. Tangan hangat Wira. Narsih menoleh, menatap bola mata Wira. Tidak ada suara yang keluar, hanya saling bertukar tatap. Dan begitulah, muncul sebuah keyakinan di hati Narsih jika Wira akan menjadi pendamping yang baik untuk hidupnya.
"Baiklah, aku bersedia," jawab Narsih.
Mendengar jawaban Narsih, tersungging senyuman lebar di bibir Ki Mangun. Laki-laki tua itu terlihat sangat bahagia. Wira melepas tangan Narsih dari genggamannya.
"Nanti malam kita langsungkan ritual pernikahan," ujar Ki Mangun. Wira mengangguk setuju.
"Maaf, apa aku tidak salah dengar? Pernikahan dilangsungkan nanti malam?" pekik Narsih. Terang saja dia terkejut. Bagaimana mungkin pagi dia dilamar dan malamnya langsung dilaksanakan pernikahan? Dipikir berapa kali pun hal itu sangat tidak wajar.
"Ya, hari ini hari baik. Apa lagi yang perlu ditunggu?" Ki Mangun tersenyum ke arah Narsih. Senyuman yang terasa mencekik. Narsih menelan ludah.
"Wira, siang ini pergilah ke rumah Sugeng dan Tarno. Sampaikan pada mereka untuk mempersiapkan ritual mantu untuk nanti malam," perintah Ki Mangun. Wira mengangguk tanpa bertanya. Jelas terlihat laki-laki itu sangat penurut pada Bapaknya.
"Untuk Nduk Narsih, hari ini kamu dipingit. Ikut sama si Mbok mu ke kamar khusus. Kamu tidak boleh keluar, tidak boleh bertemu Wira hingga nanti malam di ritual mantu. Mengerti?" Ki Mangun menatap Narsih. Perempuan itu spontan mengangguk.
"Ginah, antarkan Nduk Narsih ke kamarnya," perintah Ki Mangun pada Mbok Ginah. Seperti halnya Wira, Mbok Ginah pun mengangguk, menuruti ucapan Ki Mangun.
Mbok Ginah meraih tangan Narsih. Tanpa bisa protes apalagi menolak, Narsih berdiri mengikuti sang calon mertua. Narsih sempat menoleh pada Wira, berharap laki-laki itu mengatakan sesuatu untuk menguatkan dirinya. Namun nyatanya Wira diam membisu di hadapan Ki Mangun.
Narsih dibawa ke ruang belakang. Ada sebuah lorong dengan berbagai keris tergantung di dinding kayu. Narsih teringat dengan sarung keris di kamar Darso yang kini sudah hilang. Mungkinkah Ki Mangun yang mengambilnya? Dengan koleksi keris sebanyak itu, menandakan Ki Mangun memang menyukai senjata bernilai seni. Bisa saja Ki Mangun menginginkan milik Darso.
"Kelihatannya kamu tertarik dengan keris Nduk," ucap Mbok Ginah memecah kebisuan. Narsih tidak menyahut.
"Bapaknya Wira memang mengoleksi keris. Untuk yang dipajang fungsinya untuk dinikmati nilai seninya. Tapi ada beberapa yang tersimpan di lemari kamar, khusus keris yang penuh mantra. Ah kenapa aku jadi cerita soal keris." Mbok Ginah terkekeh. Narsih tersenyum sekilas, menghargai calon mertuanya yang mencoba mencairkan suasana.
Mereka akhirnya sampai di depan sebuah kamar dengan kain merah yang membungkus daun pintu. Mbok Ginah masuk ke dalam bilik terlebih dahulu. Narsih pun mengikutinya.
Sebuah kamar yang tidak terlalu luas. Tempat tidur dari bambu kuning berada di bagian sudut ruangan. Narsih bertanya-tanya dalam hati, kenapa dipannya harus terbuat dari bambu kuning, sama dengan tempat tidurnya di rumah Darso.
Lemari kayu berdiri kokoh di sudut yang lain. Ada juga sebuah meja kotak di samping tempat tidur. Dengan setelan pakaian berwarna putih bersih tergeletak di atasnya. Mbok Ginah mempersilahkan Narsih untuk beristirahat.
"Kalau kamu butuh apapun panggil aku ya. Mau makan, minum, apapun itu jangan sungkan," tukas Mbok Ginah ramah. Aura keibuan yang terpancar sangat jauh berbeda dibanding Ki Mangun yang menakutkan.
"Aku ke dapur dulu mau masak. Tidurlah." Mbok Ginah tersenyum kemudian keluar kamar dan menutup pintu.
Mbok Ginah sempat termenung di balik pintu. Tatapannya terlihat sayu dengan tangan terkepal gemetar.
Sementara itu Wira masih duduk menghadap Ki Mangun di ruang tamu. Ekspresinya terlihat kaku. Ki Mangun meraih kotak kayu di atas meja. Rokok kobot tertata rapi di dalamnya. Laki-laki sepuh itu mengambil sebatang dan segera menyulutnya.
"Kenapa kamu masih disini? Segera panggil Sugeng dan Tarno," perintah Ki Mangun sekali lagi.
Sugeng dan Tarno adalah rewang atau anak buah Ki Mangun. Mereka teman sebaya Wira. Dua bocah yang ditinggal orangtuanya dan dibesarkan Ki Mangun bersama Wira. Setelah dewasa mereka berdua mengabdikan kehidupannya untuk keluarga Ki Mangun.
Sugeng dan Tarno diberi rumah sendiri oleh Ki Mangun. Diajari banyak hal, sehingga mereka merasa benar-benar terikat dengan Ki Mangun. Wira sendiri seringkali merasa bingung dengan Bapaknya. Apakah Ki Mangun orang yang benar-benar tulus dengan kebaikannya? Atau seorang yang ingin menguasai orang lain dengan hutang budi?
"Pak, apa tidak masalah seperti ini? Kebat kliwat, gancang pincang. Tindakan tergesa-gesa hasilnya tidak akan sempurna," ujar Wira ragu-ragu. Ki Mangun meniup asap di dalam rongga mulutnya sambil tersenyum.
"Urip iku Urup. Hidup itu sebisa mungkin memberi manfaat untuk orang lain. Dengan pernikahanmu, semua orang akan mendapatkan kemuliaan," sahut Ki Mangun.
Wira sadar betul, tidak mungkin mendebat Bapaknya. Dia pun memilih beranjak pergi untuk menemui Sugeng dan Tarno. Saat langkah kakinya sampai diambang pintu, Ki Mangun kembali berucap dengan suara lantang.
"Yen wedi ojo wani-wani. Yen wani ojo wedi-wedi. Tidak boleh seorang laki-laki berpijak pada keraguan. Kamu faham kan Wira?"
Wira menelan ludah. Kemudian menatap Ki Mangun dan mengangguk meyakinkan. Laki-laki itu kembali melangkah meninggalkan Ki Mangun yang masih menikmati rokoknya.
Tidak butuh waktu lama, Wira sudah sampai di rumah Sugeng Dan Tarno. Melihat kedatangan Wira, Sugeng dan Tarno saling bertukar pandang.
"Apa aku perlu menjelaskan tujuanku kemari?" tanya Wira tanpa basa-basi. Dia yakin kedua temannya itu sudah tahu keperluan Wira berkunjung.
"Sejujurnya Ki Mangun sudah cerita kemarin. Tapi kupikir kamu ndak bersedia," ucap Sugeng, laki-laki bertubuh kurus dengan kepala plontos. Tarno yang berperawakan gemuk, hanya manggut-manggut meng iya kan ucapan Sugeng.
"Rasanya sia-sia aku sekolah lama di kota, jika ujungnya kehidupan desa tetap saja kental dengan mantra," keluh Wira.
"Sesuatu yang sudah melekat dalam kehidupan bermasyarakat, tidak boleh ditinggalkan begitu saja Wira. Lagipula semua itu demi kebaikan," sahut Tarno.
"Lambemu jangan sok-sok an ngajari Wira dong. Dia sekolah kamu enggak," seloroh Sugeng.
"Kurasa yang disampaikan Tarno benar kok Geng. Lagipula bukan berarti karena aku sekolah, aku jadi tidak membutuhkan pendapat dan nasehat kalian. Setiap orang memiliki pengalaman hidup yang berbeda yang menempa dan membentuk mereka menjadi permata yang matang dengan keindahannya masing-masing," tukas Wira sambil menatap awan yang bergerak perlahan di langit. Awan hitam yang membawa air hujan pagi tadi sudah tak tersisa sedikitpun.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Yuli a
ada udang dibalik rempeyek....
2025-01-24
0
Rose_Ni
buru-buru banget, curigatong
2024-01-31
0
Ass Yfa
apa Narsih dijadikan tumbal sampe mngglnya penasaran ampe thn 2000an
2024-01-24
0