Malih Dan Kendi Ajaib
“Mampus lo!”
Satu orang melawan lima orang sekaligus, jelas posisi Malih sangat enggak menguntungkan. Ibarat kata dia itu Zebra yang ada di tepi jurang, dan Singa buas ada di depannya. Mundur mampus, maju binasa. Enggak ada kesempatan buat bela dirinya sendiri. Malih hanya bisa melindungi kepalanya biar enggak kena tendangan. “Ampun, Kay!”
“Ampun lo bilang? Lo enggak kasih kita duit dua hari ini, dan lo minta ampun?!” senior Malih rupanya enggak mau tahu lagi dengan kesakitan Malih. Otaknya yang enggak seberapa pintar itu lebih mengutamakan emosi. Menurut buku yang Malih baca orang-orang seperti Kay itu adalah orang yang juga pernah jadi korban bully, dan Malih enggak mau kalau suatu saat nanti dia seperti Kay hanya karena masa remajanya habis dibully.
Keempat temannya juga ikut-ikutan menendang tubuh Malih yang sudah terkapar di tanah. Jejak-jejak sepatu menempel di seragam putih Malih. Kalau seragam putih itu adalah lantai yang baru dipel, sudah pasti Malih akan diomelin ibunya. “Udah Kay! Tuh anak udah mau mampus.”
Kay si musuh bebuyutan Malih mengelap keringatnya. Sebenarnya Malih enggak menganggap Kay sebagai musuh, tapi sejak kejadian Kay kepergok merokok oleh Malih sejak saat itu juga Kay menganggap Malih sebagai musuh. “Ah, elaah… baru juga mau. Belum mampus benaran.”
“Ya otak lo dipake. Kalau tuh anak mampus pemasukan kita berkurang,” seloroh Hardian teman segang Kay yang suka banget berkotbah kebenaran versi dirinya.
“Bener juga,” balas Kay.
Mereka lagi sibuk ngobrol-ngobrol urusan aset mereka, yang mana itu adalah Malih junior culun yang setiap hari harus bayar upeti untuk bisa masuk ke sekolah. Dua hari kemarin Malih lolos dari mereka, jadi hari ini Malih dicegat di gang sempit. Tanpa ditanya kabarnya, paling enggak biar Malih luluh waktu mereka minta duit, ini justru Malih langsung ditendang. Makanya enggak sepeserpun Malih kasih mereka uang. Sudah digeledah tas dan sakunya, bahkan sampai selipan sepatu dan kaos kaki tetap saja Kay dan teman-temannya enggak mendapatkan apa yang mereka mau. Kay jadi makin gila karena enggak dapat uang.
Mereka masih sibuk mengobrol, mirip emak-emak arisan. Kesempatan itu dimanfaatkan Malih dengan sebaik-baiknya. Bangun perlahan, menjauh dan kabur!
“Woy! Jangan kabur lo!” seru Kay berharap Malih berhenti berlari.
“Makanya jangan kebanyakan ngegosip. Jadi lepas deh tuh mangsa,” ucap Joni.
Mata Kay melotot mendengar ucapan si Joni. “Lo nuduh gue gossip kayak bi Siti tukang pecel di tikungan sekolah itu?”
“Kagak! Gue kagak bilang lo kayak bi Siti, lo aja yang sensi.”
“Diem lo! Kejar tuh si Malih!”
Joni, Hardian dan dua lainnya akhirnya nurut juga pada perintah Kay. Mereka lari kayak maling dikejar anjing. Sedangkan di depan mereka ada Malih yang berusaha sekuat tenaga terus menjauh. Biar enggak gampang ketangkap Malih lewat gang-gang sempit, masuk halaman rumah orang. Kakinya enggak sengaja ketendang kurangan ayam dari bambu sampai tiga ayam di dalamnya lepas. Malih enggak ada waktu buat mengurungi mereka lagi.
Lari dan terus lari. Ngos-ngosan, nafasnya udah mirip kayak orang yang sakaratul maut. Deg-degan dijemput malaikat pencabut nyawa. Malih lihat ke belakang, empat begundal itu masih mengejarnya. Saat lewat jalan yang cukup sepi, Malih tanpa pikir panjang langsung lompat ke pagar rumah kosong. Rumput-rumput liar tumbuh subur dan merambat bebas menutupi hampir sebagian besar pagar besi itu. kalau dalam posisi kepepet seperti sekarang Malih melupakan rasa takutnya.
Kakinya melangkah masuk ke rumah mewah itu. Luarnya kelihatan sangat berantakan, tapi di dalam lantainya mengkilap. Malih bisa ngaca dengan jelas di lantai. Mukanya bonyok. “Udah enggak ganteng, bonyok lagi.”
Malih berdiri di tengah-tengah ruangan. Matanya menatap takjub pada interior rumah. Desain klasik yang didominasi warna cokelat, dan kayu menambah elegan tampilan rumah tersebut. Malih sampai geleng kepala sambil mengkhayal punya rumah sebesar itu. pelan-pelan kaki Malih melangkah. Kepalanya celingukan mencari-cari manusia yang sejenis dengannya.
“Permisi?”
Sepi.
“Permisi! Apa ada orang?”
Sepi.
Sekali lagi Malih mencoba. “Permisi! Assamu’alaikum! Selamat siang! Spada! Anybody home!?”
Tetap saja sepi.
Malih sampai ke dapur. Meja makan besar dengan dua belas kursi itu sama mengkilapnya seperti lantai yang dipijaknya. Ada kain merah di tengah-tengah meja. Nampan emas yang di atasnya terdapat kendi dan juga gelas dari tanah liat. Malih terkekeh melihat benda itu. “Rumah mewah gini gelasnya mirip gelas di sinetron Angling Dharma.”
Malih menarik kursi untuknya duduk. Tangannya kemudian mengangkat kendi yang ternyata cukup berat. “Ada isinya.”
Satu gelas Malih ambil untuk menampung isi dari dalam kendi. Air segar mengalir ke gelas yang terbuat dari tanah liat itu. “Tuan dan Nyonya, siapapun yang punya rumah ini saya minta minum. Saya haus banget. Tadi habis dikejar begundal.”
Segelas air putih berpindah sudah ke tenggorokannya yang dahaga. Malih merasa lega setelah menenggak air tersebut. “Seandainya gue terlahir dari keluarga kaya raya, gue enggak harus pusing mikirin bayar upeti ke preman sekolah itu. Bisa naik mobil mewah, dan punya orang tua pasti rasanya bahagia banget.”
Malih menguap lebar setelah berandai-andai. Matanya perlahan memberat. Kepalanya jatuh ke atas meja. Malih lelap tertidur.
***
“Edelweiss…Edelweiss every morning you greet me. Small and white, clean and bright. You look happy to me…”
Lirih-lirih suara senandung merdu terdengar di telinga Malih. Matanya tetap merem, sedikit bingung dengan apa yang didengarnya. Suara wanita merdu, dan lagu berbahasa Inggris. Itu bukan seperti kebiasaannya di pagi hari saat membuka mata. Bukan jenis lagu dangdut koplo yang diputar tetangganya, yang kadang bikin Malih emosi setangah mati karena kelewat bersik. Lagunya asing dan suara yang di dengar Malih kali ini bikin ngantuk.
“Edelweiss… Edelweiss bless my homeland forever.”
Malih yakin ini hanya mimpi. Di sekitar rumahnya enggak ada orang yang menyanyi lagu semerdu itu. Malih biasanya selalu mendengarkan dangdut. Malih jadi ingin tahu siapa yang bernyanyi. Matanya pelan terbuka, sama-samar Malih lihat seorang wanita duduk di dekat jendela sambil merajut sesuatu. Itu bukan ibunya. Ibunya enggak secantik itu.
Malih kaget saat wanita itu melihat ke arah dirinya. “Kamu bangun, honey?”
Disapa lembut begitu Malih bukannya senang, tapi malah merinding. Dia bangun dengan kaget. Melihat sekitarnya yang bukan lagi rumah mewah itu. “Ini dimana?”
Wanita itu tersenyum dengan cara paling elegan. “Sepertinya kamu terlalu mabuk sampai lupa kamar sendiri,” balas wanita itu. Dia kemudian berteriak memanggil suaminya. “Dad! Your lovely son is awake! Tunggu di sini ya, Mami panggil papi dulu.”
Malih makin bingung bukan main dengan situasinya. Mami? Papi? Siapa mereka? Buru-buru dia turun dari tempat tidurnya. Cari sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan segalanya. Kamarnya terlalu luas sampai-sampai Malih bingung sendiri. Dia masuk ke salah satu pintu yang ternyata itu adalah walking closet. Saat dihadapkan dengan sebuah cermin, Malih dibuat kaget.
“Anjir! Siapa ini!?” Malih meraba-raba wajahnya sendiri. Tidak percaya dia berucap di depan cermin. “I-Ini gue?”
Malih pernah sangat terkejut seperti sekarang, waktu itu dia menang lotre dari warung di depan rumahnya. Dia dapat penggorengan beserta sutilnya. Katanya bakal hadiah buat emaknya, namun keterkejutan kali ini benar-benar membuat Malih seperti merasa mimpi. Dia kembali meraba-raba wajahnya sendiri. Mencubit pipinya sampai terasa sakit.
Berlari mencari kamar mandi di sana. Beberapa kali membasuh wajahnya dan tak ada yang berubah. Di depan cermin ada wajahnya. Hanya saja ini versi sangat glow up. Bersih enggak ada jerawat di kedua pipinya, juga enggak ada gigi kuningnya. Pokoknya kinclong, bersih bersinar mirip slogan sabun pencuci piring.
“Kamu kenapa, Son?”
“Setan!” Malih kaget ketika tiba-tiba seorang pria bertubuh tinggi tegap bertanya padanya. Berdiri di ambang pintu mentapnya heran.
“Setan? Apa di sini ada setan?” tanya pria tersebut dengan kepalanya melongok ke kamar mandi mencari keberadaan setan yang mungkin bisa diajak kerja sama untuk menyukseskan bisnisnya.
“Enggak. Maksud saya tadi saya kaget,” sejenak Malih terdiam melihat pria itu. Ingin bertanya tentang siapa pria itu namun Malah tahan. Dia mengingat pria dan wanita sebelumnya menyebutnya son. Itu artinya raga yang Malih tempati adalah anak mereka.
David Harris Jefferson menatap putranya dengan khawatir. Pria itu lalu mendekati Malih, dia membawa Malih ke dalam pelukannya. “Maafin Papi ya karena semalam enggak bisa jemput kamu langsung, jadi kamu harus mengalami kecelakaan, dan seharusnya Papi tetap membiarkan kamu di rumah sakit walaupun kamu minta pulang.”
Malih melepas pelukan David. “Semalam kecelakaan?”
“Iya, kamu mabuk di pub. Terus telepon Papi minta dijemput, tapi Papi suruh Onad yang jemput kamu. Akhirnya kamu dan Onad kecelakaan, enggak parah. Cuma nyerepet tiang listrik aja.”
Otak Malih semakin nge-bug untuk memproses semua ini. Lelet bukan main, lebih parah dari sinyal seluler di pegunungan. Onad siapa? Apakah sejenis dengan donat? Lalu kecelakaan? Hal yang Malih ingat adalah semalam dirinya duduk di pos ronda sambil nonton si Andin yang enggak tahu kapan beresnya. Kok bisa-bisanya pria dewasa itu menyebut dirinya mabuk di pub. “Anda ini Papi saya?”
“Yaiya dong, dan kamu Malvin Agra Jefferson, anak tunggal Papi yang tampan rupawan ini. Ahahaha….”
Dalam hatinya Malih berkata. “Sejak kapan Malih jadi Malvin?”
David menepuk-nepuk pundak Malih. “Ya sudah sekarang kamu mandi. Kalau mau ke sekolah nanti di antar sama Sapri, tapi kalau kamu masih pusing nanti Papi yang izinkan ke pihak sekolah.”
Malih bengong setelah David pergi dari kamarnya. Menyisakan tanya di otaknya yang semrawut. Kembali dia berpikir membawa ingatannya. “Semalam gue beneran nonton si Andin, kan? Apa ada hal yang gue lakukan?”
Ingatanya sangat pendek.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Rahma Hayati
🤣🤣🤣lucunya dapet banget, sampai kering gigi aku bacanya😂. Semangat, Thor😁😉
2023-08-27
1
Rahma Hayati
keren
2023-08-26
1