“Mampus lo!”
Satu orang melawan lima orang sekaligus, jelas posisi Malih sangat enggak menguntungkan. Ibarat kata dia itu Zebra yang ada di tepi jurang, dan Singa buas ada di depannya. Mundur mampus, maju binasa. Enggak ada kesempatan buat bela dirinya sendiri. Malih hanya bisa melindungi kepalanya biar enggak kena tendangan. “Ampun, Kay!”
“Ampun lo bilang? Lo enggak kasih kita duit dua hari ini, dan lo minta ampun?!” senior Malih rupanya enggak mau tahu lagi dengan kesakitan Malih. Otaknya yang enggak seberapa pintar itu lebih mengutamakan emosi. Menurut buku yang Malih baca orang-orang seperti Kay itu adalah orang yang juga pernah jadi korban bully, dan Malih enggak mau kalau suatu saat nanti dia seperti Kay hanya karena masa remajanya habis dibully.
Keempat temannya juga ikut-ikutan menendang tubuh Malih yang sudah terkapar di tanah. Jejak-jejak sepatu menempel di seragam putih Malih. Kalau seragam putih itu adalah lantai yang baru dipel, sudah pasti Malih akan diomelin ibunya. “Udah Kay! Tuh anak udah mau mampus.”
Kay si musuh bebuyutan Malih mengelap keringatnya. Sebenarnya Malih enggak menganggap Kay sebagai musuh, tapi sejak kejadian Kay kepergok merokok oleh Malih sejak saat itu juga Kay menganggap Malih sebagai musuh. “Ah, elaah… baru juga mau. Belum mampus benaran.”
“Ya otak lo dipake. Kalau tuh anak mampus pemasukan kita berkurang,” seloroh Hardian teman segang Kay yang suka banget berkotbah kebenaran versi dirinya.
“Bener juga,” balas Kay.
Mereka lagi sibuk ngobrol-ngobrol urusan aset mereka, yang mana itu adalah Malih junior culun yang setiap hari harus bayar upeti untuk bisa masuk ke sekolah. Dua hari kemarin Malih lolos dari mereka, jadi hari ini Malih dicegat di gang sempit. Tanpa ditanya kabarnya, paling enggak biar Malih luluh waktu mereka minta duit, ini justru Malih langsung ditendang. Makanya enggak sepeserpun Malih kasih mereka uang. Sudah digeledah tas dan sakunya, bahkan sampai selipan sepatu dan kaos kaki tetap saja Kay dan teman-temannya enggak mendapatkan apa yang mereka mau. Kay jadi makin gila karena enggak dapat uang.
Mereka masih sibuk mengobrol, mirip emak-emak arisan. Kesempatan itu dimanfaatkan Malih dengan sebaik-baiknya. Bangun perlahan, menjauh dan kabur!
“Woy! Jangan kabur lo!” seru Kay berharap Malih berhenti berlari.
“Makanya jangan kebanyakan ngegosip. Jadi lepas deh tuh mangsa,” ucap Joni.
Mata Kay melotot mendengar ucapan si Joni. “Lo nuduh gue gossip kayak bi Siti tukang pecel di tikungan sekolah itu?”
“Kagak! Gue kagak bilang lo kayak bi Siti, lo aja yang sensi.”
“Diem lo! Kejar tuh si Malih!”
Joni, Hardian dan dua lainnya akhirnya nurut juga pada perintah Kay. Mereka lari kayak maling dikejar anjing. Sedangkan di depan mereka ada Malih yang berusaha sekuat tenaga terus menjauh. Biar enggak gampang ketangkap Malih lewat gang-gang sempit, masuk halaman rumah orang. Kakinya enggak sengaja ketendang kurangan ayam dari bambu sampai tiga ayam di dalamnya lepas. Malih enggak ada waktu buat mengurungi mereka lagi.
Lari dan terus lari. Ngos-ngosan, nafasnya udah mirip kayak orang yang sakaratul maut. Deg-degan dijemput malaikat pencabut nyawa. Malih lihat ke belakang, empat begundal itu masih mengejarnya. Saat lewat jalan yang cukup sepi, Malih tanpa pikir panjang langsung lompat ke pagar rumah kosong. Rumput-rumput liar tumbuh subur dan merambat bebas menutupi hampir sebagian besar pagar besi itu. kalau dalam posisi kepepet seperti sekarang Malih melupakan rasa takutnya.
Kakinya melangkah masuk ke rumah mewah itu. Luarnya kelihatan sangat berantakan, tapi di dalam lantainya mengkilap. Malih bisa ngaca dengan jelas di lantai. Mukanya bonyok. “Udah enggak ganteng, bonyok lagi.”
Malih berdiri di tengah-tengah ruangan. Matanya menatap takjub pada interior rumah. Desain klasik yang didominasi warna cokelat, dan kayu menambah elegan tampilan rumah tersebut. Malih sampai geleng kepala sambil mengkhayal punya rumah sebesar itu. pelan-pelan kaki Malih melangkah. Kepalanya celingukan mencari-cari manusia yang sejenis dengannya.
“Permisi?”
Sepi.
“Permisi! Apa ada orang?”
Sepi.
Sekali lagi Malih mencoba. “Permisi! Assamu’alaikum! Selamat siang! Spada! Anybody home!?”
Tetap saja sepi.
Malih sampai ke dapur. Meja makan besar dengan dua belas kursi itu sama mengkilapnya seperti lantai yang dipijaknya. Ada kain merah di tengah-tengah meja. Nampan emas yang di atasnya terdapat kendi dan juga gelas dari tanah liat. Malih terkekeh melihat benda itu. “Rumah mewah gini gelasnya mirip gelas di sinetron Angling Dharma.”
Malih menarik kursi untuknya duduk. Tangannya kemudian mengangkat kendi yang ternyata cukup berat. “Ada isinya.”
Satu gelas Malih ambil untuk menampung isi dari dalam kendi. Air segar mengalir ke gelas yang terbuat dari tanah liat itu. “Tuan dan Nyonya, siapapun yang punya rumah ini saya minta minum. Saya haus banget. Tadi habis dikejar begundal.”
Segelas air putih berpindah sudah ke tenggorokannya yang dahaga. Malih merasa lega setelah menenggak air tersebut. “Seandainya gue terlahir dari keluarga kaya raya, gue enggak harus pusing mikirin bayar upeti ke preman sekolah itu. Bisa naik mobil mewah, dan punya orang tua pasti rasanya bahagia banget.”
Malih menguap lebar setelah berandai-andai. Matanya perlahan memberat. Kepalanya jatuh ke atas meja. Malih lelap tertidur.
***
“Edelweiss…Edelweiss every morning you greet me. Small and white, clean and bright. You look happy to me…”
Lirih-lirih suara senandung merdu terdengar di telinga Malih. Matanya tetap merem, sedikit bingung dengan apa yang didengarnya. Suara wanita merdu, dan lagu berbahasa Inggris. Itu bukan seperti kebiasaannya di pagi hari saat membuka mata. Bukan jenis lagu dangdut koplo yang diputar tetangganya, yang kadang bikin Malih emosi setangah mati karena kelewat bersik. Lagunya asing dan suara yang di dengar Malih kali ini bikin ngantuk.
“Edelweiss… Edelweiss bless my homeland forever.”
Malih yakin ini hanya mimpi. Di sekitar rumahnya enggak ada orang yang menyanyi lagu semerdu itu. Malih biasanya selalu mendengarkan dangdut. Malih jadi ingin tahu siapa yang bernyanyi. Matanya pelan terbuka, sama-samar Malih lihat seorang wanita duduk di dekat jendela sambil merajut sesuatu. Itu bukan ibunya. Ibunya enggak secantik itu.
Malih kaget saat wanita itu melihat ke arah dirinya. “Kamu bangun, honey?”
Disapa lembut begitu Malih bukannya senang, tapi malah merinding. Dia bangun dengan kaget. Melihat sekitarnya yang bukan lagi rumah mewah itu. “Ini dimana?”
Wanita itu tersenyum dengan cara paling elegan. “Sepertinya kamu terlalu mabuk sampai lupa kamar sendiri,” balas wanita itu. Dia kemudian berteriak memanggil suaminya. “Dad! Your lovely son is awake! Tunggu di sini ya, Mami panggil papi dulu.”
Malih makin bingung bukan main dengan situasinya. Mami? Papi? Siapa mereka? Buru-buru dia turun dari tempat tidurnya. Cari sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan segalanya. Kamarnya terlalu luas sampai-sampai Malih bingung sendiri. Dia masuk ke salah satu pintu yang ternyata itu adalah walking closet. Saat dihadapkan dengan sebuah cermin, Malih dibuat kaget.
“Anjir! Siapa ini!?” Malih meraba-raba wajahnya sendiri. Tidak percaya dia berucap di depan cermin. “I-Ini gue?”
Malih pernah sangat terkejut seperti sekarang, waktu itu dia menang lotre dari warung di depan rumahnya. Dia dapat penggorengan beserta sutilnya. Katanya bakal hadiah buat emaknya, namun keterkejutan kali ini benar-benar membuat Malih seperti merasa mimpi. Dia kembali meraba-raba wajahnya sendiri. Mencubit pipinya sampai terasa sakit.
Berlari mencari kamar mandi di sana. Beberapa kali membasuh wajahnya dan tak ada yang berubah. Di depan cermin ada wajahnya. Hanya saja ini versi sangat glow up. Bersih enggak ada jerawat di kedua pipinya, juga enggak ada gigi kuningnya. Pokoknya kinclong, bersih bersinar mirip slogan sabun pencuci piring.
“Kamu kenapa, Son?”
“Setan!” Malih kaget ketika tiba-tiba seorang pria bertubuh tinggi tegap bertanya padanya. Berdiri di ambang pintu mentapnya heran.
“Setan? Apa di sini ada setan?” tanya pria tersebut dengan kepalanya melongok ke kamar mandi mencari keberadaan setan yang mungkin bisa diajak kerja sama untuk menyukseskan bisnisnya.
“Enggak. Maksud saya tadi saya kaget,” sejenak Malih terdiam melihat pria itu. Ingin bertanya tentang siapa pria itu namun Malah tahan. Dia mengingat pria dan wanita sebelumnya menyebutnya son. Itu artinya raga yang Malih tempati adalah anak mereka.
David Harris Jefferson menatap putranya dengan khawatir. Pria itu lalu mendekati Malih, dia membawa Malih ke dalam pelukannya. “Maafin Papi ya karena semalam enggak bisa jemput kamu langsung, jadi kamu harus mengalami kecelakaan, dan seharusnya Papi tetap membiarkan kamu di rumah sakit walaupun kamu minta pulang.”
Malih melepas pelukan David. “Semalam kecelakaan?”
“Iya, kamu mabuk di pub. Terus telepon Papi minta dijemput, tapi Papi suruh Onad yang jemput kamu. Akhirnya kamu dan Onad kecelakaan, enggak parah. Cuma nyerepet tiang listrik aja.”
Otak Malih semakin nge-bug untuk memproses semua ini. Lelet bukan main, lebih parah dari sinyal seluler di pegunungan. Onad siapa? Apakah sejenis dengan donat? Lalu kecelakaan? Hal yang Malih ingat adalah semalam dirinya duduk di pos ronda sambil nonton si Andin yang enggak tahu kapan beresnya. Kok bisa-bisanya pria dewasa itu menyebut dirinya mabuk di pub. “Anda ini Papi saya?”
“Yaiya dong, dan kamu Malvin Agra Jefferson, anak tunggal Papi yang tampan rupawan ini. Ahahaha….”
Dalam hatinya Malih berkata. “Sejak kapan Malih jadi Malvin?”
David menepuk-nepuk pundak Malih. “Ya sudah sekarang kamu mandi. Kalau mau ke sekolah nanti di antar sama Sapri, tapi kalau kamu masih pusing nanti Papi yang izinkan ke pihak sekolah.”
Malih bengong setelah David pergi dari kamarnya. Menyisakan tanya di otaknya yang semrawut. Kembali dia berpikir membawa ingatannya. “Semalam gue beneran nonton si Andin, kan? Apa ada hal yang gue lakukan?”
Ingatanya sangat pendek.
Kepalanya terus memikirkan mengapa dirinya menjadi Malvin. Mengaitkan beberapa kejadian sebelumnya, bahkan setelah keluar dari kamar mandi otak Malih yang jarang dipakai itu kini dipaksa keras untuk mengingat kejadian sebelum hari ini. Kaki bolak-balik di depan pintu kamar mandi.
“Ah! Enggak ada jawabannya. Ini kayak ulangan hari pak Somad. Susah,” Malih mengoceh pada dirinya sendiri.
Lalu kaget ketika Amarillis masuk. “Kok belum pakai seragam?”
“Hehehe… Iya, ini mau kok,” balas Malih canggung.
Amarillis—wanita yang merdu suaranya itu tersenyum pada Malih. “Ya sudah kalau gitu Mami tinggal dulu ya. Nanti kalau sarapannya sudah siap, Mami panggil kamu.”
“I-iya.”
Malih menyambar seragam yang siap di atas tempat tidurnya. Seragam Dallasco international high school yang selalu jadi impian Malih, pagi ini benar-benar dipakainya. Sekolah mahal yang Malih hanya bisa memandanginya ketika pergi dan pulang sekolah. Malih takjub melihat diri sendiri dalam cermin dengan rupa yang menawan. “Ini sebenernya apa yang salah ya? Kok gue berubah jadi Malvin?”
Malih mirip dengan pengantin wanita yang sedang dirias, lama memandangi dirinya dalam cermin. Badannya diputar-putar. Miring ke kiri buat lihat tampilannya, lalu miring ke kanan memastikan kalau itu adalah dia. Ya tetap saja hasilnya Malvin. Malih itu hitam buluk, sedangkan Malvin putih menawan. Kalau suara mami enggak nyaring terdengar, mungkin sepuluh tahun lagi pun Malih akan tetap betah berada di depan cermin.
“Malvin! Sayang! Sarapan dulu, Nak!”
“I-iya!”
Memenuhi panggilan nyonya Amarillis, Malih setengah berlari keluar dari kamarnya. Namun mendadak dia mengerem langkah kakinya saat menyadari bahwa ruangan di luar kamarnya sangat mewah dan megah. Lampu kristal menggantung di atas langit-langit ruangan, tangga spiral klasik terbagi menjadi dua bagian kiri dan kanan membentuk setengah lingkaran. Railing tangga yang dibuat dari besi itu dicat hitam dengan pegangan berwarna emas. Karpet klasik hitam menjadi alas pijakan anak tangga. Malih melongok ke bawah melihat kondisi rumah megah Malvin. Lebih mirip ballroom hotel dari pada disebut rumah pribadi.
Malih menarik nafasnya. Sebisa mungkin dia bersikap normal. Itu adalah hal yang ada dalam pikiran Malih, dia harus menjadi Malvin untuk mengetahui situasinya sekarang. Pelan-pelan dia menuruni anak tangga yang rasanya sayang banget buat diinjak-injak. Seumur hidupnya Malih baru melihat jenis karpet semewah itu. Di rumahnya cuma ada tikar pandan yang dianyam kakeknya dulu. “Ini karpet kalau punya emak gue enggak akan dikeluarin dari lemari, kecuali pas lebaran.”
Di ujung anak tangga ada Amarillis yang melihat putra semata wayangnya bertingkah aneh. “Kamu kenapa jalannya jinjit begitu?”
Gubrak!
Satu pertanyaan itu lolos membawa Malih pada kecelakaan tali sepatu yang diinjaknya sendiri. Mulus pada lima anak tangga terakhir, Malih nyungsep sampai menyentuh kaki Amarillis. Melihat anak kesayangannya jatuh dengan cara paling enggak aestetik bikin Amarillis histeris. Sampai para asisten rumah tangganya berlarian menghampiri, termasuk sang suami—David.
“Tidaaaaaak!” Amarillis buru-buru memeluk Malih yang masih mencium lantai itu. “Baby, kamu enggak apa-apa? Kamu enggak luka kan?”
“Ada apa ini, Mih?” tanya David yang berlari dari kamarnya karena mendengar teriakan istrinya.
Amarillis menangis, matanya berkaca-kaca. “Your lovely son jatuh dari tangga, Pih! Panggil dokter Sean sekarang!”
Malih buru-buru bangun, melepaskan diri dari pelukan Amarillis. “Saya enggak apa-apa kok. Tadi kepleset aja.”
“Kamu yakin?” tanya David memastikan keadaan penerus tahtanya itu.
“Yakin!” balas Malih mantap.
“Ya sudah kalau begitu sekarang kita sarapan biar kamu enggak telat ke sekolah,” ajak David merangkul putranya menuju ruang makan.
Sedangkan Amarillis masih syok, jantungnya masih kencang bergedup. Sampai-sampai dua asisten rumah tangganya memegangi Amarillis. “Nyonya mau saya buatkan teh melati?”
“Jangan pakai gula ya, Bi.”
“Baik Nyonya,” bi Narti segera saja kembali ke dapur. Nyonya besarnya itu selalu hiperbola ketika menghadapi si putra semata wayang. Ya walaupun begitu bi Narti menyikapinya dengan wajar, karena menurut cerita untuk mendapatkan seorang anak Amarillis harus berusaha selama bertahun-tahun. Menjalani berbagai program kehamilan, tapi selalu gagal. Di usia yang ke tiga puluh tiga Amarillis baru dinyatakan hamil. Penuh kehati-hatian Malvin yang masih janin itu disayang sepenuhnya.
Malvin bagi Amarillis adalah bayi mahal yang dia pertaruhkan dengan nyawanya sendiri. Seekor nyamuk jika berani menyakiti putranya, Amarillis akan menginjaknya sampai tak berjejak.
Di meja makan Malih bukannya menikmati sarapannya, dia justru bengong membuat David keheranan. “Apa menunya kamu enggak suka?”
Mata Malih berkedip beberapa kali. Sosis jumbo, telur mata sapi, roti gandum panggang dan segelas susu low fat. “Ini buat saya makan?”
“Ya iya dong, itu mami kamu yang buatkan. Apa kamu mau ganti menunya?”
“Enggak usah, saya makan ini saja,” sergah Malih dengan cepat. Sosis di atas piringnya dia tusuk dengan garpu, dan hap! Malih menikmatinya. “Ini enak, saya enggak pernah merasakan makan sosis seenak ini.”
Pernyataan Malih tentu saja membuat Amarillis yang baru bergabung di meja makan langsung menatap bingung pada sang suami. Apalagi Malih selalu menyebut dirinya dengan saya. “Bukannya kamu sering makan sosis ini?”
Malih berhenti mengunyah. Mulutnya menggembung penuh, dia menatap Amarillis dengan canggung. “Maksudnya ini… ini rasanya kayak saya baru makan setelah bertahun-tahun.”
“Kamu yakin baik-baik saja, sayang? Kita ke dokter saja gimana? Semalam kamu habis kecelakaan, lalu tadi jatuh. Mami khawatir otak kamu geser sebelah.”
“Mami,” David memperingatkan agar sang istri enggak berkata sembarangan.
“Pih! Mami kan khawatir. Dia anak satu-satunya kita. Papi juga merasakan perjuangan kita selama bertahun-tahun buat dapatin Malvin. Mami enggak rela ya kalau Malvin kenapa-napa.”
“Iya, nanti siang Papi jemput Malvin dari sekolah. Kita ketemu dokter Sean,” bujuk David.
“Pagi ini pokoknya, sebelum ke sekolah. Telat dikit enggak apa-apalah, Papi tinggal bilang ke kepala sekolah kalau Malvin dari rumah sakit.”
Selagi Amarillis dan David berdebat soal pemeriksaan, Malih cuma bisa menyimak. Matanya ikut bergerak melihat giliran siapa yang bicara, tapi mulutnya tetap enggak berhenti makan. Di tengah-tengah perdebatan itu seorang supir menghampiri mereka.
“Maaf, Den Malvin hari ini mau pakai mobil yang mana ya?”
“Hah?! Mobil apa?”
Supir itu melihat pada David, lalu kembali pada Malih. “Mobil, biasanya kan Aden suka kasih tahu saya mau pakai mobil mana buat ke sekolah.”
Ucapan sang supir dibalas oleh David. “Hari ini Malvin ke sekolah dengan saya, Pak.”
“Oh, begitu. Baiklah saya permisi dulu.”
Begitu selesai sarapan David bersiap mengantarkan Malih ke sekolah. Lewat pintu belakang yang terhubung dengan garasi utama, Malih dibuat kaget melihat jajaran mobil mewah di depan matanya. Bengong kayak anak kecil tersesat di keramaian. Dibandingkan garasi, apa yang malih lihat kini lebih mirip disebut dengan pameran mobil. David menepuk pundaknya.
“Itu mobil-mobil kamu, lupa? Kayaknya benar kamu harus segera ke rumah sakit.”
***
Malih lesu saat sampai sekolah. Pukul setengah sepuluh dia baru datang. berkat kekuatan uang orang tuanya Malih dalam sosok Malvin bisa leluasa izin kapanpun yang dia mau. Dia datang saat jam pelajaran berlangsung, David langsung pergi ke kantor begitu selesai bertemu kepala sekolah dan guru piket. Sekarang Malih sendirian di tengah-tengah lapangan. Bukan! Bukan karena dihukum, tapi dia bingung enggak tahu kelasnya dimana.
“Gue kelas berapa ya? Kelas gue dimana? Ini sekolah apa apartemen?”
Mau tanya ke guru piket, tapi Malih takut. Nanti pasti dikira hilang ingatan lagi, jadi yang dia lakukan berdiam diri di tengah lapangan. Berharap ada teman sekelas yang lihat dia, terus ajak dia masuk, dan benar saja ada seorang siswa yang berteriak padanya.
“Bos! Ngapain lo di situ? Dihukum lo?!” tanya siswa tersebut. Mata Malih memindai cowok itu. Tinggi, kurus dan sedikit cantik untuk seorang cowok. Malih enggak kenal dia, tapi dari cara dia bicara padanya Malih yakin kalau mereka dekat.
“Lagi lihatin langit, bagus.”
“Iseng banget lo,” Rajata—sahabat Malvin menghampiri Malih ke tengah lapangan. “Udah buruan ke kelas, bentar lagi pergantian jam.”
Malih menurut, dia mengikuti langkah Rajata menuju kelas. Anehnya, akses menuju kelas tidak menggunakan tangga. Ada lift khusus yang tersedia untuk para murid, sedangkan tangga digunakan hanya untuk keadaan darurat. Di sekolah negerinya tidak ada lift seperti sekolah ini.
“Si Onad bilang semalam lo kecelakaan sama dia, tapi lo kok baik-baik saja. Lo enggak ada lecet gitu?” tanya Rajata membuat Malih berhenti memikirkan lift bagus itu.
“Kata papi cuma nyerempet tiang listrik aja,” jawab Malih berdasarkan apa yang sudah disampaikan oleh David.
“Cuma nyerempet? Si Onad sampai patah tulang, Bro. Dia masih di rumah sakit.”
Malih garuk-garuk kepala belakang yang sebenarnya enggak gatel. Dia enggak tahu menahu perihal kecelakaan semalam. Aneh juga karena sosok Malvin ini raganya baik-baik saja tanpa gores sedikitpun, tapi karena jiwanya adalah Malih yang kebingungan sampai dikira kepalanya mengalami cedera. Namun hasil CT scan hasilnya baik-baik saja.
“Hehehe… gue belum lihat keadaan Onad,” jelasnya padahal enggak tahu siapa Onad mereka bicarakan.
“Ya sama gue juga belum, gue baru tahu tadi pagi. Siang ini rencananya mau ke sana, ikut ya?”
“Iya.”
Ting!
Pintu lift terbuka. Mereka sampai di lantai tiga. Malih terus mengikuti langkah Rajata menuju kelas, saat Rajata masuk ke kelas IPA satu Malih berhenti melangkah. Kelas unggulan, padahal di sekolahnya dulu dia adalah anak IPS. Mana mungkin bisa bertahan di kelas IPA seperti sekarang ini. Rasanya Malih setres duluan sebelum masuk kelas.
“Guys! Our prince has come!” seru Rajata di depan pintu kelas, dia menyingkir membiarkan Malih masuk.
Seorang murid perempuan berlari menghampirinya, dan langsung memeluk Malih. “Baby, aku khawatir tahu waktu tadi pagi mami bilang soal kondisi kamu. Tadinya aku mau langsung ke rumah kamu, tapi kata mami kamu pergi ke dokter.”
Malih melepaskan pelukan dengan hati-hati. Siswi yang memeluknya itu bernama Sorin Liga Fillosa, dilihat dari name tag yang terpasang di dada. “Saya enggak apa-apa kok.”
Sorin bingung menatap Malih, tapi kemudian dia memaklumi. “Syukur deh kalau begitu. Ayo duduk!”
Saat Malih baru saja duduk, seorang siswa menepuk pundaknya. “Semalam lo kecelakaan dimana?”
“Lupa, habis jalannya gelap.”
“Iya juga ya. Gue tanya si Onad, dia juga bilang lupa. Ogeb sih lo berdua, segala mabuk malah bawa mobil sendiri. Padahal Kan bisa minta gue atau Rajata buat jemput.”
Malih terbantu dengan adanya papan yang terpasang di setiap seragam siswa-siswi, jadi dia tahu siapa yang mengajaknya bicara. Delon Putra Siswondo, keturunan China bermata sipit. “Gue minta papi, tapi papi suruh Onad yang jemput.”
“Iyalah, soalnya kan semalam Onad lagi ada di rumah kamu. Katanya dia lagi minta makan sama mami,” ujar Sorin yang duduk di meja sisi kiri Malih. Menimpali percakapan Delon dan Malih.
“Minta makan?” tanya Malih bingung.
“Onad sepupu kamu tersayang itu hobinya emang minta makan. Enggak di rumah kamu, ya di rumah aku.”
Dari cara bicaranya Malih yakin jika cewek cantik yang memeluknya itu punya hubungan khusus dengan Malvin. “Emang begitu, namanya juga Onad,” balas Malih pura-pura memahami situasinya. Padahal dari tadi Malih terus berpikir tentang siapa Onad? Rupa wajahnya seperti apa? Wangi atau bau tukang ojek?
“Dulu enggak ya, sebelum kita pacaran Onad enggak pernah minta makan ke rumah aku. Kelakuannya udah kayak gembel kere, tiap ke rumah minta makan. Ngabisin stok snack, padahal papanya Onad kan yang punya Lestari Food.”
Rajata dan Delon tertawa mendengar gerutuan Sorin.
“Harusnya dia ngambil aja yang dari gudang Lestari Food,” timpal Rajata.
Delon menambahi. “Onad kalau kelakuannya waras, gue yakin itu bukan Onad. Dia pasti lagi kesurupan.”
Sementara itu jauh di rumah sakit sana ada sosok Onad yang mengusap telinganya dengan kasar hingga memerah, seolah merasakan bahwa dirinya sedang jadi bahan gossip.
Malvin adalah gambaran sempurna bagi para cewek pemburu boyfriend material. Paras rupawan itu dia dapatkan dari darah campurannya. Terlahir tajir semakin menguatkan Malvin menjadi kandidat nomor wahid incaran cewek-cewek di sekolah dan di luar. Tak terelakan senyum dari bibir tipisnya mampu membuat siapapun yang melihat klepek-klepek mirip ikan kehabisan air. Mata yang tajam dan hangat itu menambah kuat pesona seorang Malvin Agra Jefferson.
Lebih parah lagi Malvin adalah seorang yang beruntung karena bisa memacari Sorin, putri bungsu dari keluarga Leuven. Sorin dikenal sebagai cewek yang periang, bersebrangan sikapnya dengan Malvin yang selalu terlihat kalem. Kesimpulan yang Malih dapatkan dari pertemuannya dengan Sorin dan teman-temannya adalah menyatakan bahwa sosok Malvin seorang idola. Semua keberuntungan dalam hidup Malvin membuat Malih serba bingung. Kehidupan orang kaya ternyata enggak seenak yang dia lihat di televisi atau mungkin Malih belum bisa beradaptasi dengan kondisinya sekarang.
“Nih,” Sorin datang membawa sebotol soda untuk Malih. “Kamu lagi enggak enak badan?”
“Hmmm,”
“Kenapa maksain diri masuk? Kan bisa izin.”
“Di rumah bosan,” balas Malvin membuka tutup sodanya.
“Bosan? Rumah kamu itu fasilitasnya lengkap. Mulai dari ruang karaoke sampai lapangan golf sendiri, Malvin.”
“Uhuk! Uhuk!” Malih tersedak minumannya sendiri. Jadi penasaran sekaya apa sosok Malvin sampai-sampai punya lapangan golf sendiri.
Sorin yang sigap itu langsung menepuk-nepuk pundak Malih, dan dia mengeluarkan tisu dari saku roknya untuk mengelap baju Malih yang basah. “Untung aja aku belinya bukan Cola, coba kalau Cola udah berwarna baju kamu. Mau ganti?”
“Ganti baju?” Malih justru bertanya bingung.
“Iya, di loker kamu ada baju ganti.”
“Ah, enggak usah.”
“Oke,” balas Sorin tenang.
Malih memperhatikan wajah Sorin dari sisi. Dia bergumam dalam hati tentang betapa beruntungnya Malvin memiliki kekasih seperti Sorin. Malih jadi penasaran sejauh apa Malvin mencintai Sorin, tapi dia enggak punya sesuatu untuk dibicarakan. Alih-alih bertanya perihal hubungan, Malih malah bertanya soal kamar mandi. “Toilet di mana ya?”
“Hah? Kamu tanya toilet dimana? Kamu lupa?”
Pura-pura akhirnya Malih memijat kepalanya. “Sedikit pusing, kayaknya efek kecelakaan semalam.”
“Ya udah kalau gitu aku antar deh sampai ke toilet.”
Sorin mengulurkan tangannya, tapi Malih enggak peka. Dia langsung berdiri, dan berjalan lebih dulu. Sorin berdecak kesal. Apa lagi saat Malih berbalik lalu bertanya. “Kok masih di situ?”
“Kamu enggak lihat tangan aku ini?” tanya Sorin mengangkat tangan yang tadi diulurkan pada Malih, namun tak mendapat sambutan hangat seperti yang biasa Malvin lakukan padanya.
“Lihat,” jawab Malih santai.
“Lihat? Tapi kamu diemin aja!” Sorin kesal, apalagi ketika Malih terus menggunakan kata saya ketika mereka bicara.
Malih kelihatan bingung. Kepalanya sampai miring ke kiri, dan matanya menyipit melihat tangan Sorin yang masih di udara. Enggak ada apapun di tangan Sorin. “Tangan kamu bersih, enggak kotor dan enggak ada serangga.”
“Iiih! Dasar cowok enggak peka!” Sorin jadi merajuk. Si Malih keder sendiri saat Sorin berjalan mendahuluinya.
“Enggak peka? Apanya?”
Malih ini enggak pernah pacaran. Enggak juga dekat sama cewek-cewek, jadi apa yang bisa diharapkan dari kepekaan seorang Malih. Sekalipun dia berubah menjadi sosok Malvin, tapi tetap saja jiwa dan pikirannya masih tetap Malih. Menghadapi Sorin jelas bukan keahliannya. Malih tiba-tiba saja jadi mikir bagaimana dulu Malvin memperlakukan Sorin. Kayaknya dia harus mulai mempelajarinya.
“Sorin aku minta maaf,” ujar Malih mengejar langkah Sorin yang sudah lebih dulu menjauh darinya.
“Karena kamu habis kecelakaan kali ini aku maafin,” Sorin membalas ucapan Malih. Tangannya meraih tangan kiri Malih untuk digenggam dan berjalan bergandengan. “Malam ini nonton yuk? Ada film bagus yang baru tayang.”
“Ke bioskop?”
“Iya.”
“Aku enggak ada uang,” jawab Malih yang pikirannya masih teringat dia adalah orang miskin. Mendadak lupa kalau dia sekarang menjadi Malvin. “Nonton sinetron adzab aja gimana?”
Sorin menghentikan langkahnya. Dia memutar tubuh Malih sampai menatapnya. Kali ini pandangan Sorin sangat serius, sampai-sampai dia meletakan telapak tangannya di atas kening Malih, dan membandingkan dengan kening dirinya. “Normal kok.”
“Apa ada yang salah?”
“Malvin sejak kapan kamu tahu sinetron adzab yang biasa ditonton mbak-mbak di rumah?”
“Emang salah ya nonton itu?” tanya Malih, tapi kemudian sadar kalau Malvin yang tajir itu enggak mungkin nonton sinetron adzab seperti dirinya. “Eh, itu maksudnya sekali-kali gitu nonton sinetron. Bosen kan kalau pacaran di Mall, atau nonton di bioskop.”
“Iya juga sih, tapi ya enggak nonton sinetron juga,” balas Sorin yang kembali merajuk. Berlalu meninggalkan Malih lagi.
“Lah? Gue ditinggal lagi? Apa gue salah lagi?”
***
Malih kelelahan menghadapi hari di sekolah. Semula Malih pikir dia enggak akan mampu mengikuti pelajaran di kelas Malvin, tapi ternyata otaknya ikut-ikutan secerdas Malvin. Enggak ada satu soal pun yang enggak dia mengerti, dan itu justru membuat Malih kelelahan. Belum lagi kenyataan yang ternyata Malvin ini ketua basket sekolah. Sepulang sekolah tadi pelatih meminta tim basket untuk latihan. Malih yakin dia enggak bisa melempar satu bola pun dengan sempurna karena dia adalah Malih. Namun yang terjadi adalah tubuhnya bergerak lincah di lapangan.
Benar-benar menjadi sosok Malvin yang sempurna. Hanya saja kesempurnaan Malvin membuat Malih kehilangan banyak tenaga. Sampai Malih harus berdalih kalau dia kelelahan saat diajak menjenguk Onad. Malih pulang dijemput supirnya. Saat di rumah Amarillis membukakan pintu untuknya. Menatap Malih dalam sosok Malvin dengan iba.
“Kamu capek ya? Mami buatkan jus mau? Atau sesuatu?”
“Malih mau langsung istirahat saja,” jawabnya kelepasan menyebutkan namanya sendiri.
“Malih?”
“Malvin, Mami salah dengar. Hehe… hehehe.”
“Duh, Mami mulai budek. Itu adalah tanda-tanda penuaan, OMG!” Amarillis buru-buru menyambar ponselnya yang tergeletak di sofa ruang tamu. Entah siapa yang dihubungi wanita itu. Malih tidak ingin tahu, dia sangat lelah. Langkahnya berhenti di bawah anak tangga. Dia melirik sekitarnya, di sana ada lift. Sayangnya Malih terbiasa naik tangga dari pada lift, jadi meski lelah dia tetap mengundaki anak tangga.
Sambil menaiki anak tangga Malih menyebut namanya sendiri secara bergantian dengan menyebut nama Malvin. “Malih, Malvin, Malih, Malvin, Malih, Malvin…” hingga selesai sampai ke ujung anak tangga.
Malih terus berpikir sambil berjalan masuk ke kamarnya. Saat tangannya hendak menyentuh handle pintu barulah Malih menyadari sesuatu. “Rumah mewah itu, terus gue minum air dari kendi. Iya! Pasti karena itu!”
Buru-buru Malih masuk ke kamar. Dia melemparkan tasnya ke atas tempat tidur secara sembarangan. Mencari ponsel milik Malvin yang sejak pagi tidak ditemukan. Laci-laci kabinet dibuka satu persatu. Lemari-lemari pakaian juga tak lepas dari serangannya, sayangnya ponsel itu enggak Malih dapatkan dimanapun. Malih pindah ke kamar mandi. Di sana ada kabinet dengan laci-laci, tapi isinya hanya stock skincare milik Malvin.
“Orang kaya simpen HP-nya dimana sih?” Malih bertanya pada dirinya sendiri sambil garuk-garuk pantat.
Malih keluar dari kamarnya. Di depan pintu kamarnya ada pintu lagi. Malih belum tahu itu ruangan apa. Rasa penasaran mendorong Malih untuk membuka pintu itu. Bertingkah seperti maling ayam yang takut ketahuan warga, Malih pelan-pelan membuka pintu kamar itu. Enggak langsung dibuka lebar, lebih dulu Malih hanya menyembulkan kepalanya saja. Hal yang dia lihat adalah rak-rak kayu tinggi dengan jajaran buku yang tertata rapi.
Sebelum masuk Malih celingukan melihat keadaan sekitarnya. Setelah dirasa aman barulah dia berani masuk, dan kembali menutup pintunya dengan hati-hati. Sekeliling ruangan dipenuhi buku-buku. Di tengah ruangan ada meja bundar dengan empat kursi. Di atas meja menggantung lampu kristal. Ada jendela yang terbuka lebar. Bagian daun jendela dibuat sebagai tempat duduk. Ada sofa santai di sisi rak buku dengan nakas persis berada di sebelah sofa. Di atas nakas itulah ponsel Malvin tergeletak.
Malih buru-buru menyambar ponsel tersebut. Menggunakan sidik jari Malvin, ponsel itu langsung terbuka. Ada banyak sekali pesan masuk dari teman-temannya yang menanyakan kabar dirinya. Belum lagi pesan yang diterima lewat akun Instagram. “Maaf ya Vin, bukannya gue lancang, tapi gue harus tahu kehidupan lo biar gue enggak setres.”
Memanfaatkan sebaik mungkin apa yang Malvin miliki, kini Malih mulai berselancar mencari tahu kebiasaan apa saja yang sering Malvin bagi ke media sosial. Foto-foto yang diunggah berupa foto pemandangan atau foto random yang diambil di tempat-tempat ramai. Seperti pasar, jalan raya dan juga ritual beberapa adat. Pada unggahan terakhir ada foto Sorin dengan latar belakang pegunungan. Melihat pada setiap unggahan tersebut Malih dapat menyimpulkan kalau Malvin suka sekali jalan-jalan.
Malih diam beberapa saat. Matanya mengedar ke seluruh penjuru, sampai dia melihat pada rak buku paling atas. Terselip di antara buku-buku, tapi masih tampak jelas. Malih mendekati rak buku itu untuk memastikan apa yang dia lihat enggak salah. Sekaligus memastikan matanya masih normal.
Benar!
“Kendi itu!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!