18. Jalan Panjang

Malih menguap lebar-lebar ketika bangun pagi. Semalam perdebatannya dengan Sorin belum selesai. Cewek itu masih mengibarkan bendera perang. Malih melihat pada kursi goyang di dekat jendela, kursi yang biasa ditempati Amarillis. Wanita itu tidak ada di sana, agak heran memang namun seenggaknya Malih bangun dengan tenang. Kadang-kadang nyanyian Amarillis membuat Malih merinding. Seram.

Eh tiba-tiba aja Amarillis muncul dari kamar mandi. “Kamu udah bangun?”

“Iya, Mih.”         

“Kamu enggak bilang aroma terapi di kamar mandi udah habis,” ucap Amarillis sambil membawa botol aroma terapi yang kosong. “Mami ganti dulu, mau yang wangi apa?”

“Apa aja deh, Mih.”

“Tumben apa aja, biasanya kamu request minta aroma tertentu.”

Malih enggak tahu pasti apa saja kebiasaan Malvin, jadi dia selalu berusaha cari aman agar enggak melenceng jauh dari kebiasaan tersebut. “Malvin lagi enggak mood mikirin aroma terapi kamar mandi.”

“Semalam bertengkar sama Sorin? Belum selesai?” Amarillis berjalan mendekati Malih, duduk di sisi tempat tidur untuk bisa mengusap kepala anaknya itu. “Kamu kalau udah enggak nyaman sama Sorin, jangan dipaksa. Sejak awal Mami kurang setuju kamu pacaran sama Sorin.”

“Mami enggak suka sama Sorin?”

“Bukan enggak suka, tapi kamu pernah bilangkan kasihan sama Sorin, makanya kamu pacarin. Alasan itu yang Mami enggak suka, bukan Sorinnya.”

 Fakta baru lagi yang Malih ketahui. Malvin memacari Sorin karena kasihan. Karena apa? Ingin bertanya, tapi nanti jadi pertanyaan lagi bagi Amarillis. Bukankah Malvin yang mengatakan kasihan, pasti Malvin juga memberi tahu alasan kasihannya. Kalau sekarang Malih bertanya sama saja bunuh diri. Enggak mungkin juga pakai alasan lupa.

“Enggak apa-apa, Mih. Malvin akan bertahan dengan Sorin selama Sorin masih mau bertahan juga.”

“Ya sudah kalau gitu sekarang kamu mandi, Mami siapkan sarapan dulu ya.”

“Iya, Mih.”

   Amarillis bersenandung lagu yang biasa dinyanyikan sambil berjalan keluar dari kamar Malih, dan hal itu membuat Malih menghela nafas. Suara Amarillis bagus, Malih akui. Cuma ya gitu, agak-agak seram. Malih kemudian turun dari tempat tidur, ponsel bergetar menampilkan pesan masuk dari Sorin. Cewek itu meminta untuk enggak menjemputnya, katanya masih marah.

“Cewek ribet banget deh, gue enggak paham. Semalam aja pusing banget gue. Jalan hidup gue yang masih panjang ini bisa-bisa kepotong gara-gara depresot duluan terus koit,” seloroh Malih setelah membaca pesan itu. “Ini kira-kira harus dibales enggak?”        

“Dibalas aja,” ucap bi Narti mengagetkan Malih.

“Bi masuknya kayak setan ya, enggak bersuara.”

Bi Narti nyengir melihat tuan mudanya kaget. “Den Malvin terlalu serius sih sama HP, jadi enggak sadar bibi masuk.”

Merasa ada kesempatan bertanya Malih kini serius menatap bi Narti. “Bibikan cewek, pasti ngerti dong masalah sesame cewek?”

“Lho memangnya Den Malvin sekarang jadi cewek?”

“Sorin, Bi. Bukan saya,” balas Malih jengkel. “Bibi tahukan semalam dia salah paham. Pagi ini ternyata masalahnya belum selesai. Saya harus gimana, Bi?”

“Non Sorin masih ngambek?”

“Iya, makanya saya tanya solusinya ke Bibi.”

“Tetap mengakui kalau cowok salah. Diam, enggak usah mendebat. Terus kasih cewek makanan, belanja dan pelukan.”

“Pasti berhasil?” tanya Malih memastikan.

“Enggak!” balas bi Narti dengan kekehan kecil.

“Lha? Terus apa fungsinya penjelasan bibi barusan?”

Bi Narti berjalan mendekati keranjang pakaian kotor milik Malih, lalu berkata. “Cewek itu susah-susah gampang. Solusi yang bibi kasih bisa bekerja untuk sebagain, bisa juga gagal untuk yang lainnya. Urusan dengan cewek itu panjang, Den. Jadi Aden ngalah aja, tapi tetap harus kasih perhatian. Kalau dicuekin nanti panjangnya nambah.”

   “Sorin udah ngomel semalam, sekarang ngomel juga di chat. Dia bilang enggak mau dijemput.”

“Jemput aja. Kalimat enggak mau itu adalah ujian,” balas bi Narti lagi. keranjang kotor ada dalam pelukannya.

“Ujian?”

“Iya, itu ujian kepekaan Aden. Kalau Aden nurut dengan apa yang non Sorin bilang, bibi yakin itu akan jadi senjata buat non Sorin kalau Den Malvin salah lagi.”

“Ya kalau aku jemput terus nanti sampai sana dianya marah-marah gimana?”

“Sabarin aja, Den. Biarin aja non Sorin ngomel, seengaknya suatu saat nanti kesalahan kecil itu enggak diungkit sama non Sorin.”

“Astaga! Cewek ribet banget sih!” Malih merutuk kesal, buru-buru dia masuk kamar mandi takut terlambat menjemput Sorin. “Bi! Sarapan aku dibekal aja!”

“Oke Den!”

***

   Malih tuh sangat amatir dalam urusan cinta. Belum pernah dia pacaran selama hidupnya, eh secara tiba-tiba dia menjadi Malvin yang sudah punya pacar. Awalnya Malih berpikir kalau Sorin ini tipe cewek yang dewasa, tapi ketika mendapati kenyataan Sorin yang seorang pecemburu, Malih akhirnya setres juga menghadapi Sorin. Padahal baru semalam, baru sekali. Tekanan batinnya bertambah.

Malih datang menjemput Sorin dengan membawa makanan dan juga bunga yang dibelinya saat dalam perjalanan, sedangkan bunganya hasil nyomot dari vas bunga Amarillis. Enggak modal, tapi namanya juga kepepet. Harap dimaklumi. Malih berdiri berhadapan dengan Sorin yang baru saja membuka pintu rumahnya. Cewek itu masih sengit melihat dirinya. Roman-romannya sih Malih salah bertindak lagi. Solusi dari bi Narti kayaknya enggak bekerja untuk Sorin.

“Bego!” adalah kata pertama yang Sorin katakan untuk Malih sebelum cewek itu menggeser Malih agar dia bisa lewat.

“Kok bego?” tanya Malih bingung. Apalagi Sorin melengos begitu saja. Malih mengejar langkah Sorin. “Aku bawa camilan sama bunga.”

“Itu bunga punya mami kamu, kan?”

“Hehehe… ya gimana lagi namanya juga kepepet.”

“Enggak modal.”

“Salah lagi.”

Sorin menghentikan langkahnya secara mendadak. Otomatis Malih juga ikut melakukan hal yang sama, nyaris menabrak punggung Sorin kalau kakinya enggak ngerem dengan cepat. “Cowok itu emang tempatnya segala salah dan dosa. Paham?!”

“Iya paham, Tuan putri yang selalu benar.”

“Emang,” balas Sorin sambil mengibaskan rambut panjangnya dengan cantik.

“Jadi gimana? Aku dimaafin enggak nih?”

“Masih belum,” Sorin kemudian merampas makanan dari tangan Malih. “Tapi ini aku terima.”

“Itu artinya maaf aku juga kamu ter…”

“Enggak! Aku cuma terima makanan kamu aja,” ucap Sorin memotong cepat ucapan Malih, lalu berbalik dan masuk mobil Malih. Duduk di sana seolah-olah enggak bersalah sedikitpun atas sikap cemburunya pada Malih.

Nasib Malih sendiri hanya bisa mengusap dada. Tingkah Sorin sangat membuatnya kewalahan. Malih ini masih newbie, tapi Tuhan sudah menakdirkan garis percintaan yang ribet kayak benang nyangkut. Menyusul Sorin masuk ke mobil, Malih sedikit berlega karena cewek itu masih mau duduk di sampingnya.

          “Enak cokelatnya?” tanya Malih begitu duduk dan melihat Sorin yang makan cokelat dengan santainya.

“Cuma karena rasa cokelatnya enak jangan berpikir kalau aku mau berdamai sama kamu. Masih belum mau! Ingat itu!”

“Iya, iya! Kamu masih marah dan belum maafin aku. Kuterima segala takdirku ya Tuhan!”          

Diam-diam Sorin mengulum senyum melihat tingkah Malih. Sorin merasakan benar kalau kekasihnya itu banyak berubah. Jelas saja karena dalam raga Malvin ada jiwa Malih yang hangat, baik dan penyayang. Enggak kayak Malvin yang selalu cuek dan dingin.

***

Gimana kesan kalian dengan si Malih? Semoga tetap suka ya. Kita santai dulu sebelum menghadapi badai 🤣

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!