3. Malvin A Jefferson

Malvin adalah gambaran sempurna bagi para cewek pemburu boyfriend material. Paras rupawan itu dia dapatkan dari darah campurannya. Terlahir tajir semakin menguatkan Malvin menjadi kandidat nomor wahid incaran cewek-cewek di sekolah dan di luar. Tak terelakan senyum dari bibir tipisnya mampu membuat siapapun yang melihat klepek-klepek mirip ikan kehabisan air. Mata yang tajam dan hangat itu menambah kuat pesona seorang Malvin Agra Jefferson.

Lebih parah lagi Malvin adalah seorang yang beruntung karena bisa memacari Sorin, putri bungsu dari keluarga Leuven. Sorin dikenal sebagai cewek yang periang, bersebrangan sikapnya dengan Malvin yang selalu terlihat kalem. Kesimpulan yang Malih dapatkan dari pertemuannya dengan Sorin dan teman-temannya adalah menyatakan bahwa sosok Malvin seorang idola. Semua keberuntungan dalam hidup Malvin membuat Malih serba bingung. Kehidupan orang kaya ternyata enggak seenak yang dia lihat di televisi atau mungkin Malih belum bisa beradaptasi dengan kondisinya sekarang.

“Nih,” Sorin datang membawa sebotol soda untuk Malih. “Kamu lagi enggak enak badan?”

“Hmmm,”

“Kenapa maksain diri masuk? Kan bisa izin.”

“Di  rumah bosan,” balas Malvin membuka tutup sodanya.

“Bosan? Rumah kamu itu fasilitasnya lengkap. Mulai dari ruang karaoke sampai lapangan golf sendiri, Malvin.”

“Uhuk! Uhuk!” Malih tersedak minumannya sendiri. Jadi penasaran sekaya apa sosok Malvin sampai-sampai punya lapangan golf sendiri.

Sorin yang sigap itu langsung menepuk-nepuk pundak Malih, dan dia mengeluarkan tisu dari saku roknya untuk mengelap baju Malih yang basah. “Untung aja aku belinya bukan Cola, coba kalau Cola udah berwarna baju kamu. Mau ganti?”

“Ganti baju?” Malih justru bertanya bingung.

“Iya, di loker kamu ada baju ganti.”

“Ah, enggak usah.”

“Oke,” balas Sorin tenang.

Malih memperhatikan wajah Sorin dari sisi. Dia bergumam dalam hati tentang betapa beruntungnya Malvin memiliki kekasih seperti Sorin. Malih jadi penasaran sejauh apa Malvin mencintai Sorin, tapi dia enggak punya sesuatu untuk dibicarakan. Alih-alih bertanya perihal hubungan, Malih malah bertanya soal kamar mandi. “Toilet di mana ya?”

“Hah? Kamu tanya toilet dimana? Kamu lupa?”

Pura-pura akhirnya Malih memijat kepalanya. “Sedikit pusing, kayaknya efek kecelakaan semalam.”

“Ya udah kalau gitu aku antar deh sampai ke toilet.”

Sorin mengulurkan tangannya, tapi Malih enggak peka. Dia langsung berdiri, dan berjalan lebih dulu. Sorin berdecak kesal. Apa lagi saat Malih berbalik lalu bertanya. “Kok masih di situ?”

“Kamu enggak lihat tangan aku ini?” tanya Sorin mengangkat tangan yang tadi diulurkan pada Malih, namun tak mendapat sambutan hangat seperti yang biasa Malvin lakukan padanya.

“Lihat,” jawab Malih santai.

“Lihat? Tapi kamu diemin aja!” Sorin kesal, apalagi ketika Malih terus menggunakan kata saya ketika mereka bicara.

Malih kelihatan bingung. Kepalanya sampai miring ke kiri, dan matanya menyipit melihat tangan Sorin yang masih di udara. Enggak ada apapun di tangan Sorin. “Tangan kamu bersih, enggak kotor dan enggak ada serangga.”

“Iiih! Dasar cowok enggak peka!” Sorin jadi merajuk. Si Malih keder sendiri saat Sorin berjalan mendahuluinya.

“Enggak peka? Apanya?”

Malih ini enggak pernah pacaran. Enggak juga dekat sama cewek-cewek, jadi apa yang bisa diharapkan dari kepekaan seorang Malih. Sekalipun dia berubah menjadi sosok Malvin, tapi tetap saja jiwa dan pikirannya masih tetap Malih. Menghadapi Sorin jelas bukan keahliannya. Malih tiba-tiba saja jadi mikir bagaimana dulu Malvin memperlakukan Sorin. Kayaknya dia harus mulai mempelajarinya.

“Sorin aku minta maaf,” ujar Malih mengejar langkah Sorin yang sudah lebih dulu menjauh darinya.

“Karena kamu habis kecelakaan kali ini aku maafin,” Sorin membalas ucapan Malih. Tangannya meraih tangan kiri Malih untuk digenggam dan berjalan bergandengan. “Malam ini nonton yuk? Ada film bagus yang baru tayang.”

“Ke bioskop?”

“Iya.”

“Aku enggak ada uang,” jawab Malih yang pikirannya masih teringat dia adalah orang miskin. Mendadak lupa kalau dia sekarang menjadi Malvin. “Nonton sinetron adzab aja gimana?”

Sorin menghentikan langkahnya. Dia memutar tubuh Malih sampai menatapnya. Kali ini pandangan Sorin sangat serius, sampai-sampai dia meletakan telapak tangannya di atas kening Malih, dan membandingkan dengan kening dirinya. “Normal kok.”

“Apa ada yang salah?”

“Malvin sejak kapan kamu tahu sinetron adzab yang biasa ditonton mbak-mbak di rumah?”

“Emang salah ya nonton itu?” tanya Malih, tapi kemudian sadar kalau Malvin yang tajir itu enggak mungkin nonton sinetron adzab seperti dirinya. “Eh, itu maksudnya sekali-kali gitu nonton sinetron. Bosen kan kalau pacaran di Mall, atau nonton di bioskop.”

“Iya juga sih, tapi ya enggak nonton sinetron juga,” balas Sorin yang kembali merajuk. Berlalu meninggalkan Malih lagi.

“Lah? Gue ditinggal lagi? Apa gue salah lagi?”

***

 Malih kelelahan menghadapi hari di sekolah. Semula Malih pikir dia enggak akan mampu mengikuti pelajaran di kelas Malvin, tapi ternyata otaknya ikut-ikutan secerdas Malvin. Enggak ada satu soal pun yang enggak dia mengerti, dan itu justru membuat Malih kelelahan. Belum lagi kenyataan yang ternyata Malvin ini ketua basket sekolah. Sepulang sekolah tadi pelatih meminta tim basket untuk latihan. Malih yakin dia enggak bisa melempar satu bola pun dengan sempurna karena dia adalah Malih. Namun yang terjadi adalah tubuhnya bergerak lincah di lapangan.

Benar-benar menjadi sosok Malvin yang sempurna. Hanya saja kesempurnaan Malvin membuat Malih kehilangan banyak tenaga. Sampai Malih harus berdalih kalau dia kelelahan saat diajak menjenguk Onad. Malih pulang dijemput supirnya. Saat di rumah Amarillis membukakan pintu untuknya. Menatap Malih dalam sosok Malvin dengan iba.

“Kamu capek ya? Mami buatkan jus mau? Atau sesuatu?”

“Malih mau langsung istirahat saja,” jawabnya kelepasan menyebutkan namanya sendiri.

“Malih?”

“Malvin, Mami salah dengar. Hehe… hehehe.”

“Duh, Mami mulai budek. Itu adalah tanda-tanda penuaan, OMG!” Amarillis buru-buru menyambar ponselnya yang tergeletak di sofa ruang tamu. Entah siapa yang dihubungi wanita itu. Malih tidak ingin tahu, dia sangat lelah. Langkahnya berhenti di bawah anak tangga. Dia melirik sekitarnya, di sana ada lift. Sayangnya Malih terbiasa naik tangga dari pada lift, jadi meski lelah dia tetap mengundaki anak tangga.

Sambil menaiki anak tangga Malih menyebut namanya sendiri secara bergantian dengan menyebut nama Malvin. “Malih, Malvin, Malih, Malvin, Malih, Malvin…” hingga selesai sampai ke ujung anak tangga.

Malih terus berpikir sambil berjalan masuk ke kamarnya. Saat tangannya hendak menyentuh handle pintu barulah Malih menyadari sesuatu. “Rumah mewah itu, terus gue minum air dari kendi. Iya! Pasti karena itu!”

Buru-buru Malih masuk ke kamar. Dia melemparkan tasnya ke atas tempat tidur secara sembarangan. Mencari ponsel milik Malvin yang sejak pagi tidak ditemukan. Laci-laci kabinet dibuka satu persatu. Lemari-lemari pakaian juga tak lepas dari serangannya, sayangnya ponsel itu enggak Malih dapatkan dimanapun. Malih pindah ke kamar mandi. Di sana ada kabinet dengan laci-laci, tapi isinya hanya stock skincare milik Malvin.

“Orang kaya simpen HP-nya dimana sih?” Malih bertanya pada dirinya sendiri sambil garuk-garuk pantat.

Malih keluar dari kamarnya. Di depan pintu kamarnya ada pintu lagi. Malih belum tahu itu ruangan apa. Rasa penasaran mendorong Malih untuk membuka pintu itu. Bertingkah seperti maling ayam yang takut ketahuan warga, Malih pelan-pelan membuka pintu kamar itu. Enggak langsung dibuka lebar, lebih dulu Malih hanya menyembulkan kepalanya saja. Hal yang dia lihat adalah rak-rak kayu tinggi dengan jajaran buku yang tertata rapi.

Sebelum masuk Malih celingukan melihat keadaan sekitarnya. Setelah dirasa aman barulah dia berani masuk, dan kembali menutup pintunya dengan hati-hati. Sekeliling ruangan dipenuhi buku-buku. Di tengah ruangan ada meja bundar dengan empat kursi. Di atas meja menggantung lampu kristal. Ada jendela yang terbuka lebar. Bagian daun jendela dibuat sebagai tempat duduk. Ada sofa santai di sisi rak buku dengan nakas persis berada di sebelah sofa. Di atas nakas itulah ponsel Malvin tergeletak.

Malih buru-buru menyambar ponsel tersebut. Menggunakan sidik jari Malvin, ponsel itu langsung terbuka. Ada banyak sekali pesan masuk dari teman-temannya yang menanyakan kabar dirinya. Belum lagi pesan yang diterima lewat akun Instagram. “Maaf ya Vin, bukannya gue lancang, tapi gue harus tahu kehidupan lo biar gue enggak setres.”

Memanfaatkan sebaik mungkin apa yang Malvin miliki, kini Malih mulai berselancar mencari tahu kebiasaan apa saja yang sering Malvin bagi ke media sosial. Foto-foto yang diunggah berupa foto pemandangan atau foto random yang diambil di tempat-tempat ramai. Seperti pasar, jalan raya dan juga ritual beberapa adat. Pada unggahan terakhir ada foto Sorin dengan latar belakang pegunungan. Melihat pada setiap unggahan tersebut Malih dapat menyimpulkan kalau Malvin suka sekali jalan-jalan.

Malih diam beberapa saat. Matanya mengedar ke seluruh penjuru, sampai dia melihat pada rak buku paling atas. Terselip di antara buku-buku, tapi masih tampak jelas. Malih mendekati rak buku itu untuk memastikan apa yang dia lihat enggak salah. Sekaligus memastikan matanya masih normal.

Benar!

“Kendi itu!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!