Kembali ke neraka.

Dua hari ini Senja menghabiskan waktunya hanya dengan bersantai dan berdiam diri di kamar. Tak ada aktifitas dan juga tak ada pekerjaan rumah yang bisa dia kerjakan membuat dirinya menjadi bingung.

Ginela benar-benar menjaganya dengan baik. Tak hanya menyiapkan segala yang dia butuhkan tanpa ada satu pun terlewatkan. Senja terkadang merasa jika Ginela kini lebih cocok menjadi ibunya ketimbang menjadi sahabatnya.

Perhatian yang diberikan wanita itu sangat dalam dan mampu menggantikan rasa rindunya pada sosok yang sangat ingin dia temui saat ini.

"Bagaimana keadaan Mama, ya? Apa dia baik-baik saja?" lirih Senja sendu.

Matanya menatap jendela dapur yang menghadap langsung hamparan rumput jepang yang mulai memanjang. Sepetak kecil tanah kosong yang tersisa di samping itu tampak begitu gersang tanpa ditumbuhi oleh satu tanaman pun.

Hembusan napas terdengar cukup kencang dari hidungnya. Dia bosan.

"Aku ingin ketemu dengan Mama," ucapnya kembali bermonolog pada diri sendiri. Keinginan serta rindu mendorong tubuh kurus itu untuk beranjak dari duduknya.

Senja pun melangkahkan kaki mengambil tas selempang yang berada di kamar, kemudian melangkah keluar melewati pintu dengan kusen berwarna hitam pekat.

Baru beberapa langkah di depan pintu langkah kakinya pun terhenti. Kebimbangan tergambar jelas di wajah putihnya. Kenangan beberapa hari yang lalu masih tergambar jelas di otak, membangkitkan kembali ketakutan yang terbenam sementara.

"Bagaimana kalau nanti aku bertemu dengan Papa? Bagaimana kalau dia kembali menangkapku dan menjualku lagi?" pikirannya mencecarnya dengan begitu banyak pertanyaan akan sesuatu yang belum terjadi dan mungkin saja akan terjadi yang lebih buruk lagi.

Semangat yang tadi menggebu seketika surut sudah. Senja terpaku di tempat dengan rasa ragu.

"Tapi aku bisa melihatnya dari jauh, kan. Aku rasa itu tak akan masalah," gumamnya mencoba meyakinkan diri sendiri. Di bawah terik matahari yang memancarkan kekuatannya di atas atap, Senja masih bergelut dengan pemikirannya sendiri.

"Oh ya, aku lupa. Bukankah saat itu Mama menyuruhku mengambil sesuatu dari Bude Tari. Apa itu? Apakah harus aku kesana?"

Senja mulai berpikir keras, mencoba menebak apa yang telah ditinggalkan Darsih padanya. Benda beharga kah? Uang?

"Sebaiknya aku ke sana saja setelah melihat keadaan Mama, daripada aku penasaran. Jika itu uang mungkin saja itu bisa membantuku nantinya," gumam Senja kembali.

Dia sudah mengambil keputusan dengan langkah kakinya yang mulai bergerak maju. Yaitu pergi ke rumah di mana dia dibesarkan seperti pergi ke medan perang. Perasaan takut, marah dan benci melebur menjadi satu membuat bulir bening sedikit menetes di sudut mata.

Senja memesan taksi online untuk mengantarnya. Untung saja Ginela. meninggalkan uang untuknya, walau tak banyak, tetapi cukup untuk ongkos dia pulang ke rumah.

Sunyi, satu kalimat yang bisa Senja gambarkan dari pemandangan yang ada di hadapannya saat ini.

Dari tempatnya berdiri saat ini yaitu di balik pintu halaman samping, dia dapat melihat halaman rumah yang biasanya terawat kini tampak begitu berantakan. Padahal terhitung baru satu minggu dia pergi meninggalkan rumah, namun seolah sudah bertahun-tahun saja.

Daun-daun kering dari pohon jambu keling berhamburan ke tanah bercampur dengan buah berwarna merah berukuran kecil yang telah membusuk.

"Di mana Mama? Kenapa tampak begitu sepi sekali? Biasanya jam segini Mama pasti sedang memasak makanan yang biasanya dia titip di warung. Tapi ...," Senja menjeda ucapannya. Ia kembali bersembunyi di balik pintu saat menyadari kehadiran seseorang.

Telinganya begitu awas, langkah kaki itu kian mendekat. Suara pintu pagar berderit cukup nyaring di telinga ketika engselnya digeser. Kemudian dilanjut samar-samar terdengar dedaunan kering yang terinjak.

Jantung Senja berdegup dengan kencang. Dia tak berani mengintip di balik pintu untuk memastikan siapakah gerangan yang datang mendekat itu. Hingga suara batuk tertahan yang terdengar membuat tubuhnya membatu. Dia tanda siapa orang yang kini di dekatnya.

Siapa lagi kalau bukan lelaki yang dengan teganya telah menjualnya untuk pelampiasan naf-su pria hidung belang saat itu.

Pelan-pelan Senja mengintip. Terlihat lelaki itu berjalan sempoyongan menuju pintu. Bau alkohol yang begitu kuat menusuk ke hidung siapa saja yang berada di dekatnya.

Tangan hitam berurat dan terbakar matahari itu merogoh saku celananya yang telah tampak kucel bahkan warna hitam celana itu pun telah sedikit memudar.

"Sial! Mana kunci rumah ini? Benda sialan ini saja main petak umpet denganku!" Makinya kasar. Tangannya terus mencari sesuatu yang ada di saku celananya.

Senja kembali menarik diri dan bersandar ke dinding. Dia menutup mulutnya dengan tubuh yang mulai bergetar. Datang seorang diri adalah keputusan bodoh yang dia sesali saat ini.

Santoso cukup kesusahan membuka pintu. Pengaruh alkohol membuat pandangan matanya kabur, bayangan gembok dan kunci itu terbagi menjadi beberapa bagian.

Umpatan, cacian dan hinaan terlontar dari bibir hitamnya. Hanya untuk membuka pintu saja, Santoso membutuhkan waktu 15 menit dengan penuh emosi.

Waktu singkat yang membuat Senja seakan mau mati di tempat. Peluh keringat mengalir di pelipis Senja. Dirinya ketakutan, bayangan malam itu terus berputar di benaknya hingga napas gadis itu mulai menderu kencang.

Brak!

Suara pintu yang terbanting kembali mengagetkan Senja. Gadis itu mulai kembali mengintip. Melihat Santoso tak lagi tampak di pandangan matanya. Senja memutuskan untuk pergi, cepat tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

"Siapa itu?" teriak Santoso spontan ketika telinganya mendengar suara pintu pagar yang kembali berderit. Telinga pria paruh baya itu tajam.

Seringai terbit di sudut bibirnya saat mata bulat tajamnya menangkap bayangan gadis di balik kaca jendela yang kotor. Walau pandangannya kabur, tetapi dia masih bisa mengenali siluet tubuh yang baru saja keluar rumahnya dengan berjalan tergesa-gesa.

"Ternyata kamu masih hidup tambang uangku," ucapnya senang.

Senja berlari tergepoh-gepoh tak lagi memperdulikan tatapan seseorang yang baru saja dia lewati dan kini tengah menatapnya dengan heran.

"Senja! Itu kamu?" panggil wanita paruh baya dengan tongkat kayu di tangan sebagai penopang tubuhnya agar tidak terjatuh.

Langkah kaki Senja pun terhenti. Dia menoleh. Bulir bening seketika jatuh di pipinya. Dia menghambur ke dalam pelukan wanita paruh baya itu seraya menangis pilu. Rindu hatinya sedikit terobati dengan melihat wajah Darsih.

"Mama!"

Darsih memeluk tubuh putri erat. Ibu dan anak itu saling menangis melepaskan kerinduan. Senja mengurai pelukannya, ia menatap tubuh Darsih yang semakin kurus, wajah wanita tua itu sama pucatnya dengan wajahnya. Namun terdapat bekas luka dan lebam yang mulai memudar.

Air mata senja semakin deras melihat tongkat kayu yang tengah di pegang Darsih. Tanpa bertanya pun Senja sudah mengerti apa yang telah terjadi pada lentera hidupnya itu.

"Senja, kenapa kamu kembali, Nak? Cepat kamu pergi sekarang!" usir Darsih disela tangisnya, suaranya terdengar mulai bergetar karena takut.

"Ma, kenapa Mama jadi begini. Mama ikut aku saja pergi dari sini, ya! Kita pasti bisa hidup bahagia berdua, ayo Ma!" ajak Senja seraya menarik tangan Mamanya.

Beberapa orang yang berlalu-lalang melirik mereka sekilas, kemudian kembali melanjutkan perjalanan mereka. Ada yang berbisik satu sama lain, mengobrol dan memberikan penilaian berdasarkan pemikiran mereka.

Ada yang merasa kasihan, namun tak sedikit yang mengatai bodoh seakan diri mereka yang paling hebat dalam mengambil keputusan.

"Sekarang lebih baik kamu pergi saja dulu, Nak. Sebelum Papamu datang dan menangkapmu kembali. Cepat kamu—"

"Senja!" teriak Santoso dari ujung jalan sana. Sontak kedua wanita itu menoleh dengan raut wajah yang cukup terkejut.

"Senja, cepat kamu pergi, Nak. Cepat!" Darsih panik. Dia mendorong tubuh putrinya yang sempat terpaku sesaat.

"Cepat pergi! Mama mohon jangan pernah datang lagi ke sini! Selamatkan dirimu!" ujar Darsih dengan nada tinggi yang terdengar seperti perintah.

"Ma, ayo ikut aku! Kita laporkan saja tindakan papa ini ke polisi. Biar dia tidak lagi menggangu hidup kita," ucap Senja cepat mengajak Darsih. Tetapi Darsih menoleh dengan menggelengkan kepalanya.

"Jangan, Nak. Jangan laporkan papamu ke polisi. Kamu sudah berjanji pada Mama. Sekarang pergilah, cepat!" usir Darsih. Tangan kurus itu mendorong punggung Senja.

Darsono mendekat dengan langkah kakinya yang tak seimbang. Sesekali dia terjatuh. Tapi niat hati untuk mendapatkan Senja kembali tak mematahkan semangatnya untuk bangkit.

"Tangkap dia Darsih! Awas saja jika kamu menyelamatkannya lagi! Akan aku habisi kamu!" teriak Santoso geram.

Terpopuler

Comments

Widyanti Ningsih

Widyanti Ningsih

jadi anak tak guna, pergi ke kota lain cari kerja jadi babu sekalipun yg halal bisa kasih hidup ibu kamu jangan anak tak tau diri ,sukanya jadi benalu

2023-12-04

0

FiaNasa

FiaNasa

kayaknya ibu & anak ini memang bodoh banget,,gregetan bacanya,,apalagi yg darsih harapkan dr Santoso,knp senja gak boleh lapor polisi,jgn korbankan anak hanya demi cinta darsih..makan tuh cinta..ngapain masih mau disembunyikan kelakuan Santoso itu biar kan saja senja melapor ke polisi.klau kau berat hati takut Santoso dipenjara,sana ikut aja sekalian masuk ke penjara temenin tuh santosomu

2023-08-29

0

lihat semua
Episodes
1 Jangan jual aku Papa!
2 Berlari sejauh mungkin.
3 Nasib badan.
4 Bumerang
5 Pertemuan yang tak menyenangkan.
6 15 ribu vs 186 juta!
7 186 juta bukan 186 ribu!
8 Dijual cepat tanpa perantara.
9 Pertemuan kedua.
10 Sebatang kara.
11 Tak bisa berkutik.
12 Rasa yang tersimpan.
13 Sepenggal kisah pilu.
14 Mendadak menjadi hutang.
15 Makan hati
16 Hati yang terasa penat.
17 Kembali ke neraka.
18 Cemburu itu cinta.
19 Cinta? Kamu pikir aku percaya?
20 Hati yang menderita.
21 Tiga saudara beda watak.
22 Firasat Buruk.
23 Mimpi buruk yang terulang.
24 Buntu Akal.
25 Kesepakatan yang terjalin.
26 Akulah Senja.
27 Aku mau putus.
28 Tak rela.
29 Cinta itu menyiksa.
30 Olah raga jantung di pagi hari.
31 Panas tapi bukan api.
32 Nasehat teman.
33 Nenek tua yang ikut campur.
34 Memulai rencana.
35 Jangan sebut namanya di depanku!
36 Jiwa yang terguncang.
37 Kenyataan yang menyakitkan.
38 Maju satu langkah.
39 Cari-cari kesempatan.
40 Butir bening di ujung mata.
41 Menagih janji
42 Sepenggal kisah masa lalu.
43 Misi pertama.
44 Menang sebelum perang.
45 Sebuah lamaran.
46 Cinta yang rumit.
47 Kekhawatiran Senja.
48 Penolakan Jelita
49 Sikap yang mulai berubah.
50 Ungkapan kasih sayang.
51 Protes Yonna akan sikap Jelita.
52 Terbongkarnya Rahasia.
53 Penolakan Bryan.
54 Masalah Baru yang Muncul.
55 Tabir Masa Lalu.
56 Di Mana Dia?
57 Suara Hati Ginela.
58 Ada Apa dengannya?
59 Seandainya!
60 Terima Kasih Luka.
61 Luka Itu Perih.
62 Campur Tangan Jelita.
63 Merubah Haluan Hati.
64 Cinta Itu Luka
65 Sabar dan Tahan!
66 Balada Black Card.
67 Jatuh Dapat Bonus.
68 Penilaian Sebatas Mata.
69 Liontin Kenangan.
70 Planning Orang Tua.
71 Memulai Rencana.
72 Pagi yang Menggemparkan.
73 Tidur Bersama.
74 Sidang Dosa.
75 Jatuh Tertimpa Tangga.
76 Dilema Hati.
77 Pelampiasan Hati.
78 Singa Salah Kandang.
79 Keterkejutan Yonna.
80 Ultimatum Seorang Ibu.
81 Ayo Memulainya dari Awal!
82 Hari Pernikahan.
83 Pengakuan yang Menyesakkan Dada.
84 Menuntut Talak.
85 Hati yang membiru.
86 Mutasi.
87 Duka Nestapa.
88 Hilang sandaran hidup.
89 Ada yang panas.
90 Fakta yang Mengejutkan
91 Kenyataan itu luka.
92 Rumah tangga sakinah.
93 Liburan ke Eropa.
Episodes

Updated 93 Episodes

1
Jangan jual aku Papa!
2
Berlari sejauh mungkin.
3
Nasib badan.
4
Bumerang
5
Pertemuan yang tak menyenangkan.
6
15 ribu vs 186 juta!
7
186 juta bukan 186 ribu!
8
Dijual cepat tanpa perantara.
9
Pertemuan kedua.
10
Sebatang kara.
11
Tak bisa berkutik.
12
Rasa yang tersimpan.
13
Sepenggal kisah pilu.
14
Mendadak menjadi hutang.
15
Makan hati
16
Hati yang terasa penat.
17
Kembali ke neraka.
18
Cemburu itu cinta.
19
Cinta? Kamu pikir aku percaya?
20
Hati yang menderita.
21
Tiga saudara beda watak.
22
Firasat Buruk.
23
Mimpi buruk yang terulang.
24
Buntu Akal.
25
Kesepakatan yang terjalin.
26
Akulah Senja.
27
Aku mau putus.
28
Tak rela.
29
Cinta itu menyiksa.
30
Olah raga jantung di pagi hari.
31
Panas tapi bukan api.
32
Nasehat teman.
33
Nenek tua yang ikut campur.
34
Memulai rencana.
35
Jangan sebut namanya di depanku!
36
Jiwa yang terguncang.
37
Kenyataan yang menyakitkan.
38
Maju satu langkah.
39
Cari-cari kesempatan.
40
Butir bening di ujung mata.
41
Menagih janji
42
Sepenggal kisah masa lalu.
43
Misi pertama.
44
Menang sebelum perang.
45
Sebuah lamaran.
46
Cinta yang rumit.
47
Kekhawatiran Senja.
48
Penolakan Jelita
49
Sikap yang mulai berubah.
50
Ungkapan kasih sayang.
51
Protes Yonna akan sikap Jelita.
52
Terbongkarnya Rahasia.
53
Penolakan Bryan.
54
Masalah Baru yang Muncul.
55
Tabir Masa Lalu.
56
Di Mana Dia?
57
Suara Hati Ginela.
58
Ada Apa dengannya?
59
Seandainya!
60
Terima Kasih Luka.
61
Luka Itu Perih.
62
Campur Tangan Jelita.
63
Merubah Haluan Hati.
64
Cinta Itu Luka
65
Sabar dan Tahan!
66
Balada Black Card.
67
Jatuh Dapat Bonus.
68
Penilaian Sebatas Mata.
69
Liontin Kenangan.
70
Planning Orang Tua.
71
Memulai Rencana.
72
Pagi yang Menggemparkan.
73
Tidur Bersama.
74
Sidang Dosa.
75
Jatuh Tertimpa Tangga.
76
Dilema Hati.
77
Pelampiasan Hati.
78
Singa Salah Kandang.
79
Keterkejutan Yonna.
80
Ultimatum Seorang Ibu.
81
Ayo Memulainya dari Awal!
82
Hari Pernikahan.
83
Pengakuan yang Menyesakkan Dada.
84
Menuntut Talak.
85
Hati yang membiru.
86
Mutasi.
87
Duka Nestapa.
88
Hilang sandaran hidup.
89
Ada yang panas.
90
Fakta yang Mengejutkan
91
Kenyataan itu luka.
92
Rumah tangga sakinah.
93
Liburan ke Eropa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!