Sebatang kara.

"Sial!" umpat Noah terkejut sembari menahan sakit.

Dia sedikit meringis merasakan sakit pada keningnya yang sedikit terantuk di kaca, serta perut bagian atas yang tak sengaja terbentur stir mobil saat dirinya menginjak rem mendadak tadi.

"Apa dia sudah mati? Tapi aku belum menabraknya sedikit pun. Apa aku tumbur saja sekalian? Anggap saja hukuman karena menghalangi jalanku," racau Noah mulai ngelantur. Efek alkohol masih mempengaruhinya walau tak sampai membuatnya mabuk parah. 

Pupil matanya mengecil. Memastikan yang ada di hadapannya kini benar adalah manusia atau sepotong tunggul kayu.

Noah meraih payung lipat yang ada di dalam box bagian depan mobil, tepat di depan kursi penumpang yang ada di sampingnya. Dia keluar dari mobil dengan payung tersebut, lalu mendekati sosok yang kini tengah tergeletak begitu saja.

Kaki dengan sepatu pantofel berwarna hitam itu menendang-nendang pelan paha putih yang terekspos menggoda.

"Heyyyy Nona. Apa yang sedang kamu lakukan di sini? Bangunlah! Kau menghalangi jalanku untuk pulang!" tegur Noah begitu kencang agar suaranya bisa terdengar di bawah guyuran hujan.

Wanita asing itu tak bergeming. Rasa tak sabar mendorong Noah untuk menundukkan sedikit kepalanya, guna melihat wajah wanita yang tertutup rambut itu secara lebih dekat.

"Wajahnya terlihat familiar, sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi di mana ya?" gumam Noah menerka-nerka.

Noah diam sesaat, mencoba menggali memori yang ada di dalam otaknya tentang wanita di hadapannya ini. Namun kepalanya justru terasa pusing.

Kemudian Noah meletakkan ujung tangannya di hidung wanita itu untuk memastikan sesuatu.

"Ah sial! Bikin kerjaan saja. Kau tahu Nona, kau menyusahkanku!" sungut lelaki berambut gradasi biru itu kesal.

Noah membuang payungnya asal. Di bawah guyuran hujan yang masih deras, Noah bersikap layaknya dewa penolong. Dia mengangkat tubuh ramping yang tak berdaya tersebut ke dalam mobil. Diletakkan begitu saja pada bangku penumpang bagian belakang.

Bisa saja dia meninggalkan wanita yang tergeletak itu begitu saja, Lagi pula dirinya juga tak mengenal gadis itu. Apakah wanita itu gadis baik-baik atau bukan? Tetapi entah kenapa hati nuraninya tak tega membiarkan wanita tersebut begitu saja di bawah guyuran hujan. Tempat yang begitu sepi dan juga gelap tak baik untuk wanita seorang diri.

Alih-alih mati karena orang jahat, mungkin wanita yang tidak Noah ketahui namanya akan lebih dulu 'mati' karena kedinginan.

"Mau aku bawa ke mana wanita ini? Pulang ke rumah?" pikir Noah bingung. Dia yang tengah duduk di balik kemudi menoleh ke arah belakang sekilas lewat kaca spion yang ada di hadapannya.

"Nggak ... nggak! Bisa mati aku kalau ketahuan Mommy. Aishhh kau membuat susah saja!" rutuk Noah kembali karena jengkel.

Dia menghidupkan mesin mobil seraya melaju menuju tempat yang terlintas dalam pikirannya saat ini.

"Hay wanita! Kau berhutang padaku. Dan aku akan menagih hutang itu padamu nanti. Jangan berpikir bisa mangkir dariku, karena aku bukanlah pria yang sabar!" rutuk Noah yang hanya didengar oleh dirinya sendiri.

~ ~ ~

Senja membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah ruangan putih yang tercium bau obat-obatan yang begitu menyengat. Senja yabg setengah sadar menoleh ke samping, terlihat punggung tangannya yang terpasang selang kecil terhubung pada tabung yang tergantung di tiang besi.

Krett!

Pintu kaca itu baru terbuka lebar setelah setengah jam Senja sadar. Sontak Senja menoleh, menatap ke arah pintu yang menampilkan seorang wanita cantik memakai Sneli berjalan anggun mendekatinya. Rambutnya bersanggul rapi.

"Syukurlah kamu sudah sadar," ucapnya begitu ramah. Hati Senja menghangat mendengar suara lembut menyapanya. Dia pikir saat itu dirinya akan mati begitu saja. Namun ternyata lagi-lagi Tuhan masih menyayangi nyawanya.

Senja menatap lembut Dokter cantik dengan name tag yang bertuliskan Cecilia Wijaya. Tangan lentik dokter cantik memeriksa selang infusnya.

"Siapa namamu?"

"Senja," jawabnya lirih. Cecilia kembali menarik kedua sudut bibirnya ke atas membuat sebuah lengkungan yang indah.

"Nama yang cantik seperti orangnya," puji Cecilia agar mereka lebih akrab. Senja pun tersenyum.

"Dokter bisa saja membuat pasiennya senang," balas Senja tak kalah ramah.

Senja yang ingin duduk menarik tubuhnya perlahan untuk bersandar pada sandaran ranjang.

"Itu bagus, dengan hati yang senang maka proses penyembuhan akan semakin cepat. Jika ada keluhan jangan segan-segan memanggil perawat jaga ya!"

"Apa kamu sudah sadar dari tadi?" tanya Cecilia memastikan sesuatu.

"Hmm," gumam Senja sambil menganggukkan kepala.

"Kenapa kamu nggak panggil perawat? Kamu kan bisa memencet tombol merah di dinding?"

"Aku baik-baik saja kok, Dok. Keadaanku juga sudah terasa membaik," jawab Senja apa adanya. Suaranya terdengar tak bertenaga.

"Terima kasih karena sudah menolong saya, Dok," ujar Senja lagi.

Dia benar-benar tulus mengatakan kalimat itu dari hatinya. Bukankah setelah ditolong dirinya memang  wajib mengucapkan terima kasih sebagai bentuk sikap tahu diri. Dan dia pikir Cecilialah yang telah menolongnya saat ini, mengingat tak ada satu pun yang dia temui sedari tadi.

"Menolongmu dalam konteks apa? Ini sudah kewajiban dokter mengobati pasiennya. Apa yang kamu maksud membawamu kemari?" tanya Cecilia lagi..

Kening Senja berkerut, namun dia tetap mengangguk pelan. Jika bukan dokter itu lalu siapa lagi?

"Sayang sekali, tetapi bukan aku yang menolongmu."

Degh!

Senja tersentak kaget dan spontan menatap wajah Cecilia lekat, mencari kebenaran dari binar mata yang terbingkai kaca mata  itu.

Senja mulai gelisah, saat ini yang terlintas dalam pikirannya adalah biaya rumah sakit yang harus dirinya tanggung. Sebab dia sangat yakin, rumah sakit yang dia tempati ini adalah rumah sakit yang cukup berkelas dan tentunya mahal. Mana mampu dia yang hanya gadis miskin ini membayar biaya rumah.

"Hey, kamu mau apa?" tegur Cecilia terkejut melihat pasiennya ingin mencabut selang infus yang terpasang pada punggung tangannya sendiri.

Untung saja gerakan Cecilia yang tanggap membuat ia bisa menghentikan tindakan konyol yang dilakukan Senja.

"Dokter, biarkan aku pulang saja. Aku tak punya uang untuk membayar rumah sakit ini. Lagi pula, tampaknya rumah sakit ini bukanlah rumah sakit yang murah," jelas Senja gusar.

Cecilia tersenyum. "Jangan khawatir, masalah rumah sakit sudah dicover penuh oleh orang yang menemukanmu. Jadi kamu cukup istirahat saja di sini sampai kamu pulih."

"Siapa orangnya?" tanya Senja mencari tahu. Hutang budi ini harus ia bayar suatu hari nanti. Tetapi ia juga takut jika ia tak mampu membayar hutang budi tersebut.

"Nanti juga kamu akan tahu, orangnya sedang pergi. Aku rasa mungkin sebentar lagi akan kembali."

Dokter cantik itu meraih kursi yang berada tak jauh dari ranjang Senja. Dia pun duduk di samping pasiennya layaknya seorang teman. Cecilia memandang wajah Senja lamat-lamat sejenak seraya memberi penilaian.

"Walau tanpa make up wajahnya terlihat cantik natural," puji Cecilia dalam hatinya. Untuk pertama kalinya dia mengagumi paras ayu yang dimiliki pasiennya satu ini.

"Ok, sebelumnya aku minta maaf. Tetapi aku butuh data-datamu untuk mengisi data rumah sakit karena saat kejadian kami tak menemukan identitasmu. Sekarang katakan, apa yang terjadi padamu hingga kamu di temukan di tengah jalan dalam keadaan yang cukup memprihatinkan?"

Raut wajah Senja seketika berubah sendu. Pandangan matanya jatuh pada selimut putih yang ada di pangkuannya. Dan Cecilia menyadari hal itu.

Kemudian disusul helaan napas pendek terdengar di bibir gadis berambut panjang dengan seragam rumah sakit yang melekat di tubuhnya.

"Maaf bukannya aku ingin menyinggungmu. Melihat kondisimu yang sedikit luka lebam di pipi dan lutut membuatku berasumsi sedikit negatif. Apa kamu mengalami percobaan pemerkosaan?" tanya Cecilia lagi. Tapi kali ini lebih berani.

Senja tersentak mendengarnya. Dia pun dengan cepat menggelengkan kepala pelan.

"Bukan, tapi lebih tepatnya hampir dijual oleh pria tua bangka dan hidung belang," jawabnya di dalam hati tanpa mampu menyuarakannya dengan lantang.

Perlakuan Santoso padanya memang sudah kelewat batas. Tetapi mau bagaimanapun, lelaki tua itu tetaplah orang tuanya. Lelaki yang dia panggil Papa.

Senja merasa tak ada gunanya menceritakan keluh kesah di hatinya serta apa yang dirinya alami, yang pada akhirnya hanya akan membuat orang lain memandang iba serta kasihan padanya.

Senja tak menyukai dikasihani oleh orang lain. Hati dan harga dirinya terusik setiap kali dia mendapati ada orang-orang yang memandangnya sendu penuh iba.

"Tidak, aku hanya bernasib sial bertemu orang asing yang jahat. Alhamdulillah, untungnya aku baik-baik saja."

Senja mencoba kembali tersenyum ceria menutupi hatinya yang merana.

"Benarkah?"

Senja kembali mengangguk. Dia merasa lebih baik diam daripada bercerita. Orang lain tak akan pernah mengerti jika mendengar sebuah kisah hanya sepenggal. Tetapi menjabarkan hingga detail akan kisah hidupnya sama saja menelanjangi diri sendiri di hadapan orang lain yang baru dikenalnya.

"Kalau begitu di mana alamat keluargamu. Atau nomor telpon agar aku bisa menghubungi keluargamu dan mengabarkan jika dirimu ada di sini."

Senja terdiam sejenak. Otaknya mulai berpikir jawaban apa yang harus dia katakan. Untuk menyembunyikan sebuah kebohongan, maka akan ada kebohongan-kebohongan selanjutnya yang akan dia lakukan. Apakah Senja bodoh?

Mungkin, bahkan dia tak tahu harus bertindak seperti apa saat ini. Melawan orang tua sendiri seperti tangan kanan memotong tangan kiri. Tak ada kemenangan yang di dapat selain sakit dan cacat.

"Keluargaku berada di luar kota, Dok. Aku disini merantau," ujar Senja berbohong. Dia mencoba tenang.

"Oh. Apa mereka tidak mau kamu hubungi untuk mengabarkan tentang kondisimu?"

"Siapa yang bisa aku hubungi? Mama ... tidak mungkin. Aku bahkan tak tahu bagaimana kondisinya saat ini, begitupun dengan Ginela. Bisa saja Papa masih mencariku," pikir Senja ragu.

Cecilia menatap Senja curiga. Walau tak berkomentar, tetapi instingnya mengatakan jika gadis di hadapannya saat ini sedang membohongi. Ada sesuatu yabg coba Senja sembunyikan darinya.

"Atau begini saja, berikan nomornya biar aku saja yang menelpon keluargamu!"

"Tidak usah, Dok. Aku tidak mau membebankan pikiran keluargaku. Lagi pula saat ini aku baik-baik saja kok," jelas Senja berbohong seraya memamerkan senyum palsu di wajahnya.

Terpopuler

Comments

Widyanti Ningsih

Widyanti Ningsih

jadi orang jangan cengeng dan lemah mudah di tindas bodoh

2023-12-03

0

Ulfa Zumaroh

Ulfa Zumaroh

cicilia udah jadi dokter

2023-10-05

0

lihat semua
Episodes
1 Jangan jual aku Papa!
2 Berlari sejauh mungkin.
3 Nasib badan.
4 Bumerang
5 Pertemuan yang tak menyenangkan.
6 15 ribu vs 186 juta!
7 186 juta bukan 186 ribu!
8 Dijual cepat tanpa perantara.
9 Pertemuan kedua.
10 Sebatang kara.
11 Tak bisa berkutik.
12 Rasa yang tersimpan.
13 Sepenggal kisah pilu.
14 Mendadak menjadi hutang.
15 Makan hati
16 Hati yang terasa penat.
17 Kembali ke neraka.
18 Cemburu itu cinta.
19 Cinta? Kamu pikir aku percaya?
20 Hati yang menderita.
21 Tiga saudara beda watak.
22 Firasat Buruk.
23 Mimpi buruk yang terulang.
24 Buntu Akal.
25 Kesepakatan yang terjalin.
26 Akulah Senja.
27 Aku mau putus.
28 Tak rela.
29 Cinta itu menyiksa.
30 Olah raga jantung di pagi hari.
31 Panas tapi bukan api.
32 Nasehat teman.
33 Nenek tua yang ikut campur.
34 Memulai rencana.
35 Jangan sebut namanya di depanku!
36 Jiwa yang terguncang.
37 Kenyataan yang menyakitkan.
38 Maju satu langkah.
39 Cari-cari kesempatan.
40 Butir bening di ujung mata.
41 Menagih janji
42 Sepenggal kisah masa lalu.
43 Misi pertama.
44 Menang sebelum perang.
45 Sebuah lamaran.
46 Cinta yang rumit.
47 Kekhawatiran Senja.
48 Penolakan Jelita
49 Sikap yang mulai berubah.
50 Ungkapan kasih sayang.
51 Protes Yonna akan sikap Jelita.
52 Terbongkarnya Rahasia.
53 Penolakan Bryan.
54 Masalah Baru yang Muncul.
55 Tabir Masa Lalu.
56 Di Mana Dia?
57 Suara Hati Ginela.
58 Ada Apa dengannya?
59 Seandainya!
60 Terima Kasih Luka.
61 Luka Itu Perih.
62 Campur Tangan Jelita.
63 Merubah Haluan Hati.
64 Cinta Itu Luka
65 Sabar dan Tahan!
66 Balada Black Card.
67 Jatuh Dapat Bonus.
68 Penilaian Sebatas Mata.
69 Liontin Kenangan.
70 Planning Orang Tua.
71 Memulai Rencana.
72 Pagi yang Menggemparkan.
73 Tidur Bersama.
74 Sidang Dosa.
75 Jatuh Tertimpa Tangga.
76 Dilema Hati.
77 Pelampiasan Hati.
78 Singa Salah Kandang.
79 Keterkejutan Yonna.
80 Ultimatum Seorang Ibu.
81 Ayo Memulainya dari Awal!
82 Hari Pernikahan.
83 Pengakuan yang Menyesakkan Dada.
84 Menuntut Talak.
85 Hati yang membiru.
86 Mutasi.
87 Duka Nestapa.
88 Hilang sandaran hidup.
89 Ada yang panas.
90 Fakta yang Mengejutkan
91 Kenyataan itu luka.
92 Rumah tangga sakinah.
93 Liburan ke Eropa.
Episodes

Updated 93 Episodes

1
Jangan jual aku Papa!
2
Berlari sejauh mungkin.
3
Nasib badan.
4
Bumerang
5
Pertemuan yang tak menyenangkan.
6
15 ribu vs 186 juta!
7
186 juta bukan 186 ribu!
8
Dijual cepat tanpa perantara.
9
Pertemuan kedua.
10
Sebatang kara.
11
Tak bisa berkutik.
12
Rasa yang tersimpan.
13
Sepenggal kisah pilu.
14
Mendadak menjadi hutang.
15
Makan hati
16
Hati yang terasa penat.
17
Kembali ke neraka.
18
Cemburu itu cinta.
19
Cinta? Kamu pikir aku percaya?
20
Hati yang menderita.
21
Tiga saudara beda watak.
22
Firasat Buruk.
23
Mimpi buruk yang terulang.
24
Buntu Akal.
25
Kesepakatan yang terjalin.
26
Akulah Senja.
27
Aku mau putus.
28
Tak rela.
29
Cinta itu menyiksa.
30
Olah raga jantung di pagi hari.
31
Panas tapi bukan api.
32
Nasehat teman.
33
Nenek tua yang ikut campur.
34
Memulai rencana.
35
Jangan sebut namanya di depanku!
36
Jiwa yang terguncang.
37
Kenyataan yang menyakitkan.
38
Maju satu langkah.
39
Cari-cari kesempatan.
40
Butir bening di ujung mata.
41
Menagih janji
42
Sepenggal kisah masa lalu.
43
Misi pertama.
44
Menang sebelum perang.
45
Sebuah lamaran.
46
Cinta yang rumit.
47
Kekhawatiran Senja.
48
Penolakan Jelita
49
Sikap yang mulai berubah.
50
Ungkapan kasih sayang.
51
Protes Yonna akan sikap Jelita.
52
Terbongkarnya Rahasia.
53
Penolakan Bryan.
54
Masalah Baru yang Muncul.
55
Tabir Masa Lalu.
56
Di Mana Dia?
57
Suara Hati Ginela.
58
Ada Apa dengannya?
59
Seandainya!
60
Terima Kasih Luka.
61
Luka Itu Perih.
62
Campur Tangan Jelita.
63
Merubah Haluan Hati.
64
Cinta Itu Luka
65
Sabar dan Tahan!
66
Balada Black Card.
67
Jatuh Dapat Bonus.
68
Penilaian Sebatas Mata.
69
Liontin Kenangan.
70
Planning Orang Tua.
71
Memulai Rencana.
72
Pagi yang Menggemparkan.
73
Tidur Bersama.
74
Sidang Dosa.
75
Jatuh Tertimpa Tangga.
76
Dilema Hati.
77
Pelampiasan Hati.
78
Singa Salah Kandang.
79
Keterkejutan Yonna.
80
Ultimatum Seorang Ibu.
81
Ayo Memulainya dari Awal!
82
Hari Pernikahan.
83
Pengakuan yang Menyesakkan Dada.
84
Menuntut Talak.
85
Hati yang membiru.
86
Mutasi.
87
Duka Nestapa.
88
Hilang sandaran hidup.
89
Ada yang panas.
90
Fakta yang Mengejutkan
91
Kenyataan itu luka.
92
Rumah tangga sakinah.
93
Liburan ke Eropa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!