Rasa cemas dan khawatir di hati Senja akan keadaan sang Mama membuat langkah kakinya terhenti. Dia berdiri tak jauh dari depan pagar rumah dengan napas yang terengah-engah.
Rumahnya yang dia tempati ini bukanlah pemukiman penduduk yang rapat. Ada beberapa orang tetangga di dekat rumahnya. Namun tak ada satupun yang berani mendekat untuk menolongnya, walaupun beberapa orang terbangun karena terganggu dengan keributan yang terjadi.
Terlihat dengan beberapa pasang mata mengintip di balik jendela dengan perasaan kasihan. Tetapi tak berani bertindak.
Sikap Santoso yang begitu arogan membuat para tetangga jera untuk ikut campur dalam masalah rumah tangga keluarga tersebut. Santoso yang pendendam mampu melakukan cara kotor untuk membungkam mulut siapa saja yang berani mengusiknya.
Di bawah langit malam yang pekat seperti jelaga. Senja kembali berlari begitu kencang, sesekali ia menoleh ke belakang.
"Cepat pergi! Jangan sia-siakan usaha Mama. Cepat pergi!" Kalimat itu terus terngiang di telinganya. Kembali mendorong langkah kakinya berpacu dengan kencang.
Senja menghentikan langkah kakinya sembari mengatur napas di sebuah pos ronda tepat di depan pintu masuk sebuah perumahan yang akan dia lewati. Dadanya naik-turun terdengar begitu kencang dengan keringat yang mulai mengucur di pelipis dan tubuhnya.
Angin malam yang berhembus terasa dingin menusuk tulang. Di bawah langit tanpa taburan bintang terasa suram seakan langit pun sedang ikut merasakan kepedihan hatinya.
Mata Senja mulai menjelajah ke sekeliling, tak ada siapa pun di sana selain kesunyian. Dia kembali berlari menyusuri jalanan sepi. Seketika bulu kuduknya pun meremang.
Senja menuruni kecepatan kakinya, dia mengikuti kata hatinya untuk berjalan lurus yang langsung menembus jalan raya. Ada beberapa mobil yang berlalu-lalang memberikan kelegaan.
Gadis dengan rambut berantakan itu mengusap peluh di pelipisnya. Air mata kini kembali terjatuh.
"Aku harus ke mana, Ma?" isak tangis Senja pun mulai terdengar. Dia hilang arah.
Rintik-rintik air hujan mulai ikut turun membasahi bumi. Menetes pada kulit lembut wajah Senja yang seputih kapas.
Di ujung sana samar-samar dia melihat sebuah halte bus yang bisa dia jadikan tempat berteduh. Senja mengusap matanya agar pandangannya bisa lebih jelas.
Setelah memastikan apa yang dilihatnya bukanlah fatamorgana. Langkah kaki itu pun kembali dipercepat sebelum akhirnya dia basah kuyup diterpa hujan.
Senja yang kedinginan yang mulai kedinginan duduk meringkuk di atas bangku panjang. Dia sudah seperti anak kucing kecil yang ditinggal pemiliknya di pinggir jalan. Sangat menyedihkan.
Drett! Dretttt!
Ponsel di saku celananya berdering dengan kuat. Sontak tangan dinginnya merogok saku celana panjangnya yang basah.
"Senja, lo di mana? Tadi tante Darsih kirim pesan padaku. Lo di mana sekarang biar kujemput?" seru suara dari seberang sana dengan begitu cemasnya.
Senja kembali terisak. Suara tangisnya sama kencangnya dengan suara deras air hujan yang turun tiada henti.
"Hentikan tangismu. Aku tak akan tahu apa yang terjadi jika kamu tidak berhenti menangis dan mengatakannya padaku, Senja!" sentak Ginela.
Suara Ginela dari dalam ponsel terdengar mulai meninggi. Dia kesal dengan sahabatnya yang tak kunjung memberi jawaban.
"A-aku tak tahu sedang berada di mana saat ini. Di sini ... tampak gelap dan kamu tahu sendiri, lingkungan ini baru untukku," jawab Senja sesenggukan.
Dia memang baru pindah sekitar lima bulan di rumah mereka yang baru, setelah rumah mereka yang lama dijual secara mendadak oleh Santoso hanya untuk membayar hutang judinya yang menumpuk. Tetapi nyatanya uang itu tidak untuk bayar hutang, justru dipakai kembali untuk judi.
"Kamu Sherlock cepat, biar aku jemput sekarang sebelum papamu menemukanmu nantinya."
Senja menganggukkan kepalanya pelan. Memutuskan sambungan ponsel itu sepihak tanpa berpamitan terlebih dahulu.
Giginya bergemerutuk menahan udara yang berhembus membuatnya semakin kedinginan. Tangannya yang bergetar menekan layar benda pipih itu untuk memasuk applikasi pesan berwarna hijau, kemudian mengirimkan titip fokus lokasi dirinya saat ini pada Ginela.
Hanya dalam hitungan detik saja centang dua dari pesan yang terkirim langsung berubah menjadi biru terang, pertanda bahwa pesan tersebut telah terbaca.
[Tunggu disitu dan jangan kemana-mana! Aku akan menjemputmu segera!] balas Ginela cepat.
Senja bisa sedikit bernapas lega setelah mendapat jawaban dari sahabatnya.
Gadis itu kembali meletakkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia menggigil. Matanya memandang bulir hujan yang terus jatuh membasahi aspal.
Pikirannya mulai berkelana mengenang kisah masa kecilnya yang cukup bahagia walau hanya sesaat. Setidaknya kenangan itu dapat menghiburnya saat ini.
Butuh waktu beberapa menit untuk Ginela tiba, Ginela mengendarai mobilnya dengan cukup cepat.
"Senja?" teriak Ginela keluar dari mobil dengan payung bergambar bunga yang terkembang.
Ginela berlari kecil menghampiri Senja yang menoleh ke arahnya dengan wajah yang benar-benar pucat pasi.
"Akhirnya kamu datang. Aku takut, Gi," ucap Senja lirih. Suaranya hampir tak terdengar karena begitu lemahnya.
Ginela melepas payung yang dia pegang dan langsung merangkul tubuh Senja yang lemas.
"Ya Allah, badanmu panas. Kita ke rumah sakit saja, yuk!" tawar Ginela khawatir. Tubuh Senja panas, sementara bibirnya tak hanya pucat tapi lebih ke biru. Ginela takut sahabatnya itu terkena hipotermia.
Senja menggengkan kepalanya pelan. Dia menolak untuk di bawa ke rumah sakit.
"Bawa aku pulang, Gi. Aku mau istirahat. Aku capek," pinta Senja dengan suaranya yang lemah.
Ginela meraih payungnya kembali dengan susah payah. Satu tangan memegang payung sedangkan satu tangan lagi membantu Senja untuk berdiri. Mereka berdua berjalan perlahan menuju mobil.
Setelah memastikan Senja masuk dan duduk dengan nyaman di bangku penumpang. Ginela bergegas masuk dan duduk di balik kemudi. Dia mengendarai mobilnya pergi meninggalkan tempat tersebut.
Selama perjalanan mata Ginela sesekali melirik Senja yang berbaring di kursi penumpang bagian belakang.
"Badan lo panas banget, gue antar lo ke rumah sakit, ya?"
"Nggak usah. Aku nggak mau ngerepotin kamu," tolak Senja kembali.
Senja kembali menangis dalam diam. Matanya terasa panas, dia terus mengingat masa kecilnya dulu. Percakapan penuh canda tawa yang dulu pernah mereka lakukan bertiga. Dan saat sakit seperti ini, Darsih akan menemaninya dan memasakkan bubur jagung manis untuknya.
"Ma, aku mohon dirimu baik-baik saja. Aku tak akan bisa membayangkan hidupku akan seperti apa jika tak ada kamu. Aku mohon!" batin Senja penuh harap.
Di antara sadar dan tidak sadar, gadis itu masih memikirkan kondisi Darsih. Senja mengutuk dirinya sendiri yang terlalu lemah dan tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan saat ini dirinya tak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya?
Apakah dia harus melapor ke polisi? Lalu bagaimana jika polisi justru berbalik menangkap mereka dengan tuduhan pembunuhan terhadap pria tinggi hitam itu? Dan apakah pria itu mati?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul di kepalanya hingga pandangan mata Senja terasa gelap.
"Senja! Apa kamu mendengarkanku? Senja?" panggil Ginela was-was melihat kondisi sahabatnya yang tampak tak bergerak.
"Senja?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments