"Apa kamu gila! Kenapa kamu mau? Itu sama saja kamu dibayar untuk menjadi wanita penggoda Senja. Lelaki itu sudah merendahkanmu!" marah Ginela pada Senja yang duduk di hadapannya saat ini.
Keluar dari rumah sakit, mereka berdua pulang ke rumah Ginela dan selama perjalanan Ginela bingung dengan sikap Senja yang tampak sedikit murung.
Awalnya Senja tak ingin cerita permasalahan yang baru saja dia alami. Dia merasa tak enak hati untuk terus membebankan masalahnya pada sahabatnya itu. Akan tetapi Ginela terus mencecarnya dengan berbagai pertanyaan hingga akhirnya Senja terpaksa membuka suara. Senja mulai berpikir keras atas apa yang diucapkan sahabatnya barusan.
"Kalau dipikir-pikir apa yang dikatakan Ginela ada benarnya juga. Aku disuruh mendekati saudaranya, memisahkan dokter Cecilia pada saudaranya itu dengan cara membuat lelaki itu jatuh cinta padaku. Bukankah menggoda adalah kebiasaan pe-lacur," batin Senja sadar.
Gadis itu menyesal telah menyetujui keputusan yang tidak dia pikir panjang terlebih dahulu.
Angin berhembus dari pohon mangga menerpa wajah kedua gadis yang duduk di halaman belakang. Putik bunga mangga yang ikut terjatuh akibat sapuan angin pun berserakan di tanah, tergeletak begitu saja tak berdaya.
Senja mengangkat kedua telunjuknya, kemudian membuat gerakan saling merekatkan kedua telunjuk yang berdiri itu beberapa detik lalu dia pisahkan sambil bermonolog seorang diri di dalam hati.
"Dokter Cecilia cinta sama saudaranya Noah. Sedangkan Noah cinta dokter Cecilia yang jadi pertanyaan saudara Noah cinta sama siapa? Dokter Cecilia atau wanita lain?" celetuk Senja pada Ginela yang dijawab dengan kerutan di kening wajah gadis berambut pendek itu.
"Ya mana aku tahu. Kisah ini cinta segitiga atau segiempat atau mungkin lingkaran yang tak ada ujung pangkalnya," balas Ginela mengejek. Boro-boro memikirkan siklus percintaan seseorang, asmaranya saja hingga saat ini tak tahu akan berujung ke mana.
Sudah berada di umur yang siap menikah tak juga membuat Ginela cepat mendapatkan pujaan hatinya. Dia yang terlalu mandiri begitu sulit mendapatkan lelaki yang satu frekuensi dengannya. Kebanyakan lelaki yang Ginela temui hanyalah lelaki hidung belang numpang hidup yang hanya bermodalkan wajah tampan.
"Aku nggak kepikiran sampai ke situ, Gin. Mungkin karena aku terfokus dengan jumlah duit gede yang dia janjikan dan aku butuh uang sekarang, Gin," aku Senja jujur. Dia tak munafik, jika saat ini yang dibutuhkannya uang dan bukan rasa malu. Selagi dia tak menjual diri, sekedar menggoda sedikit begitu saja tak ada masalah. Pikirnya yang terlaku naif saat itu.
"Terus ... kamu mau dicap sebagai wanita murahan sama saudaranya karena kamu terus menempel bagai pacet. Iya kalau saudaranya itu tertarik sama kamu. Kalau nggak, bagaimana?" debat Ginela mencoba menghentikan niat buruk sahabatnya tersebut.
Senja kembali menghembuskan napas lelah. Apa yang dikatakan sahabatnya benar, dia akui itu. Dia pun memang tak mengenal bagaimana saudara dari lelaki yang telah bertukar nomor ponsel dengannya. Tetapi dia juga tak mungkin menelpon Noah untuk menyatakan keberatan darinya serta niat untuk membatalkan.
Bagaimana jika saudaranya seorang pria mesum yang kasar? Atau mungkin lelaki ringan tangan yang jahat? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai terlintas di kepala gadis itu hingga tubuh kurusnya bergidik ngeri.
Apa yang bisa Senja lakukan? Hutang yang menjerat lehernya saja sudah cukup membuat dirinya sesak tak mampu bernapas. Ditambah Santoso yang bisa kapan saja datang untuk menyeretnya, kemudian menjual tubuhnya dengan harga murah.
"Hahh ... jalani sajalah, Gin. Mau gimana lagi," ujar Senja pasrah.
Pandangan matanya jatuh pada dinding gelas yang kini tengah berembun, mengalir satu persatu dan berkumpul di meja membuat sebuah genangan kecil di bawah gelas.
Pancaran sinar matahari di sore hari memberikan rasa hangat. Jari Senja terangkat mengikuti alur pinggir gelas yang melingkar.
"Ini yang paling tidak aku suka darimu. Kamu terlalu pasrah menjalani hidup, mengikuti ke mana arus membawamu." Ginela merebahkan punggungnya pada sandaran kursi taman yang terbuat dari besi hitam.
"Cobalah sedikit saja egois dan berambisi. Kamu selama ini hanya menghindar dan terus menghindar. Cobalah untuk melakukan perlawanan, mungkin saja nasib hidupmu akan berubah," lanjut Ginela memberi saran tulus pada gadis yang kini tak ubahnya tubuh tanpa raga.
Pandangan mata Senja tak lagi berbinar seperti saat pertama kali mereka bertemu dulu. Wajah cantik itu selalu tampak sendu dengan beban berat bertumpuk di bahu.
"Contohnya?"
"Seperti pada papamu. Kamu bisa menuntut dan menyeretnya ke penjara atas apa yang dia lakukan padamu selama ini. Tapi apa?" Ginela selalu geram tiap mengenang sikap sahabatnya yang tabah atau bodoh, dia tak tahu bagaimana mengartikannya.
Berulang kali dirinya mengajak Senja untuk melapor tetapi gadis itu selalu menolak tanpa memberikan penjelasan.
"Kamu tidak mengerti, Gi. Tak akan pernah mengerti!"
Senja menundukkan kepala dengan mata yang kembali berlinang. Sekuat tenaga dia menahan agar air matanya tak terjatuh ke pipi. Dia mencengkram erat ujung baju yang dia kenakan.
Dada Senja semakin sesak hingga dia ingin menjerit sekuatnya. Memberitahukan pada dunia apa saja yang sudah dia alami selama hidupnya serta kepingan-kepingan cerita pahit yang tidak ada seorang pun tahu selain dirinya. Tetapi lidahnya seakan tertahan dengan sebuah janji yang kian menyiksa.
~ ~ ~
Suasana makan malam di keluarga Apsara tak ada yang berbeda. Selalu ramai setiap harinya dengan celoteh riang dari gadis cantik berambut gelombang yang kini tengah duduk di samping saudara laki-lakinya.
"Di mana Noah?" tanya Jelita pada menantunya.
"Katanya masih ada urusan kantor, Ma. Mungkin sebentar lagi pulang," jawab Yonna. dia mengambilkan lauk tambahan yang dia letakkan di piring suaminya.
"Kamu kasih tahu Noah. Sesibuk apa pun usahakan untuk makan malam di rumah. Apalagi dirinya tak lama baru pulang ke negara ini," tegur Jelita terdengar seperti omelan pedas di telinga.
"Iya, nanti aku bicara lagi dengannya," sahut Yonna patuh. Dia tak ingin berdebat dengan mertuanya saat ini dan merusak selera makan anggota keluarga yang lain.
Semenjak suaminya meninggal, Jelita lebih overprotektif terhadap keluarga. Sesibuk apa pun, dia selalu menuntut anak dan cucunya untuk berkumpul walau hanya saat makan malam saja.
"Ada apa Bryan? Apa makanannya tidak enak?" tanya Jelita pada cucu pertamanya yang mengusik perhatiannya.
Sejak tadi wanita tua yang kini tak lagi mampu berjalan tanpa bantuan tongkat itu terus memperhatikan tingkah cucunya yang gelisah.
"Tak ada apa-apa, Grandma," jawab Bryan singkat.
"Jangan bohong, Grandma lihat kamu tak semangat, apa kamu sakit?" tanya Jelita lagi.
Tangan keriputnya memperbaiki letak kaca mata yang kurang pas untuk dapat melihat kedua cucunya dengan jelas.
Yonna memperhatikan anak angkatnya kemudian beralih menatap suaminya. Bara membalas tatapan istrinya, mereka berdua seakan berdiskusi lewat pancaran mata.
"Tidak ada apa-apa, itu hanya perasaan Grandma saja," dalih Bryan mencoba menutupi.
"Kak Bryan lagi galau Grandma. Kekasih hatinya sudah beberapa hari ini susah dihubungi membuat Kakak seperti bunga yang layu tak disirami," celetuk Lili seraya terkikik geli.
Bryan tersedak air ludahnya sendiri mendengar celoteh nakal adik kecilnya yang menggoda.
"Gadis dari orang tua yang bangkrut itu? Ckkk ...," decak Jelita menghina gadis yang pernah dia temui satu kali karena rasa penasarannya saat itu.
Mengetahui kenyataan dari gadis yang dicintai cucunya adalah anak dari keluarga yang telah bangkrut membuat Jelita kurang suka. Ditambah tingkah laku Santoso yang gila di meja judi membuat rasa tak suka di hatinya semakin dalam.
Sebagai seorang Nenek yang begitu menyayangi cucu-cucunya. Jelita menginginkan jodoh terbaik untuk cucu-cucunya, jodoh yang tak hanya dari keluarga baik-baik dan mapan. Tetapi juga berasal dari kalangan kelas atas serta berpendidikan tinggi agar dapat membantu karier para cucu-cucunya itu agar mereka bisa bahagia.
"Ma, jangan begitu. Rezeki itu mutlak kuasa-Nya. Jangan terlalu merendahkan orang yang kini berada di bawah kita," tegur Bara dengan nada lembut.
Pria yang masih terlihat tampan walau usianya menua itu pun mulai membuka suara. Piring di hadapannya telah kosong, begitupun dengan gelas yang isinya telah tersisa setengah.
"Tapi gadis dari keluarga miskin seperti itu hanya akan menjadi beban untuk Bryan. Apalagi hubungan dalam keluarga mereka pun tak harmonis. Kepala rumah tangganya saja gila mabuk dan judi. Apa keluarga seperti itu pantas masuk dalam keluarga kita. Tidak!" balas Jelita dengan nada keras.
Dia menyampaikan penilaiannya terhadap gadis pilihan cucunya secara kasar seraya matanya menatap Bryan.
"Aku capek berdebat dengan Grandma tentang masalah ini. Berulang kali aku katakan kalau aku mencintainya terlepas bagaimanapun latar belakang hidupnya. Lagi pula ini hidupku, biarkan aku memilih hidupku sendiri."
Bryan tersinggung, dia berdiri dari duduknya, kursinya terdengar tergeser mundur ke belakang memberikan celah dirinya untuk pergi meninggalkan tempat tersebut dengan kesal.
"Bryan!" teriak Jelita memanggil cucunya. Namun Bryan pergi berlalu begitu saja tanpa menghiraukan.
"Lihat tingkahnya yang mulai kurang ajar itu. Sebagai ibunya, bagaimana kamu mendidiknya?" ujar Jelita berbalik memarahi Yonna.
Yonna tersentak kaget mendengarnya. Secara tidak langsung mertuanya itu sedang melampiaskan amarah padanya saat ini. Dia menoleh, terlihat wajah Jelita yang kini menatapnya jengkel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Alivaaaa
Grandma Jelita dari dulu tidak pernah berubah, mulutnya seperti cabe 🤦🏻♀️
2024-03-09
0
Nurhasanah
gradma dah 80thn..bicars y masi lancar aja...😁😁
2023-10-18
0
Ulfa Zumaroh
jelita ngak berubah memandang rendah orang lain
2023-10-05
0