Senja semalaman tak sadarkan diri dalam kondisi demam tinggi. Ginela sudah memanggil bidan datang ke rumah untuk memeriksa dan mengobatinya.
Paginya Senja bangun dalam keadaan yang mulai berangsur membaik. Wajahnya yang pucat sudah mulai merona kembali.
Ginela yang sudah penasaran tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Setelah melihat kondisi sahabatnya mulai sehat. Dia langsung mencecar Senja dengan pertanyaan seputar apa yang telah terjadi padanya kemarin.
"Bokap lo mau menjual lo sama pria tua yang kaya. Apa bokap lo udah gila? Aku nggak habis pikir kok ada orang tua yang tega menjual anaknya sendiri hanya untuk pembayar hutang!" ujar Ginela emosi mengomentari sesi curhat Senja yang sudah hampir satu jam berlalu.
Ginela bersahabat dengan Senja sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Ginela berasal dari keluarga broken home, banyak waktu yang dia habiskan tanpa keluarganya.
Sejak mengenal Senja, kekosongan hati yang dulu sering dia rasakan akhirnya lama kelamaan memudar. Kesendiriannya pun perlahan terobati.
"Begitulah hidupku, Gi. Aku tak tahu kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini," jawab Senja pelan.
Senja meraih tissue yang ada di samping sahabatnya. Sekali hembusan, cairan kental dari hidungnya itu langsung berpindah pada kertas tipis dan lembut berwarna putih tersebut.
Sudut mata Ginella pun berkerut. "Atau jangan-jangan kamu anak tiri, atau anak pungut?" tukas Ginela akhirnya yang sukses bikin air mata Senja yang mengalir menjadi terhenti seketika.
Mata dengan bulu lentik milik Senja melebar sempurna menatap tajam wanita berambut panjang sebahu itu. Kemudian menghapus air matanya dengan kasar.
"Tu mulut kejam banget sih? Bukannya menghiburku, kamu malah bikin aku semakin terpuruk saja, hik hik!" Senja pun kembali menangis. Hari ini gadis itu terlihat cengeng dari biasanya.
"Maaf, gue nggak bermaksud menyinggung lo. Hanya saja ... ah, sudahlah. Jangan dipikirkan lagi!"
Ginela menghela napas kasar, tatapan matanya sendu menatap sahabat yang sudah dia anggap seperti saudara kandungnya itu.
Menurut Ginela wajar jika gadis di hadapannya saat ini menangis. Sekuat-kuatnya Senja, dia tetaplah manusia yang memiliki perasaan. Ada kalanya hatinya rapuh menerima kenyataan dirinya tak begitu dicintai oleh papanya sendiri.
"Bukannya jaman sekarang memang sudah gila. Jangankan menjual anaknya sendiri, bahkan seorang Ayah ada yang tega meniduri anak kandungnya sendiri karena naf-su sesaat," pikir Ginela sedih.
Ginela mengusap punggung Senja lembut. Berharap sahabatnya itu bisa lebih tabah lagi menghadapi ujian hidup yang tiada habisnya.
"Sudahlah, jangan menangis lagi. Kasihan dengan mata indahmu itu."
"Aku khawatir dengan Mama. Aku takut Papa memperlakukan Mama dengan buruk. Apa yang harus aku lakukan? Maukah kamu menemaniku pulang dan melihat keadaan Mama?" pinta Senja penuh harap.
Ginela menelan ludahnya. "Sebaiknya kamu jangan pulang dulu, aku yakin Bibi Darsih baik-baik saja. Jika kamu pulang sekarang, yang ada masalah akan semakin rumit. Sudahlah, tenangkan dulu hati dan pikiranmu di sini. Nanti kita pikirkan caranya untuk membawa Bibi Darsih keluar dari neraka itu," saran Ginela mencoba menenangkan. Tapi tak cukup membuat hati Senja tenang.
"Tapi aku tetap khawatir."
"Kalau begitu, lapor polisi saja! Biar aman dan papamu mempertanggungjawabkan tindakannya. Ini sudah kriminal namanya," saran Ginela yang tak mendapat respon dari mulut Senja selain kebungkaman yang disambut helaan napas panjang Ginela.
"Selalu saja begitu. Gimana baji-ngan itu bisa berubah jika anak-istrinya saja tak berani tegas dan memberi pelajaran," rutuk Ginela dalam hati. Dia tak mengerti jalan pikiran Ibu dan anak tersebut yang masih saja diam setelah disakiti sedemikian rupa.
~ ~ ~
"Mau kemana, buru-buru banget?" tanya lelaki berambut hitam dengan gradasi biru pada saudaranya yang baru saja turun dengan tergesa-gesa dari tangga.
lelaki berambut hitam gradasi biru itu adalah Noah Imanuel Apsara. Putra pertama dari Bara Alwan Apsara bersama Dionne Alice Kiyonna. Sementara lelaki yang dia sapa adalah saudara sepupunya bernama Bryan.
Anak dari adik papanya yang sudah dibesarkan seperti anak sendiri oleh kedua orang tuanya.
Bryan berlalu dengan wajah begitu kusut, terlihat sekilas cekungan di bawah matanya. Sepertinya lelaki itu kurang tidur beberapa hari ini.
"Heyyy ... aku bicara padamu Bryan!" seru Noah yang diabaikan Bryan begitu saja. Bryan terus berjalan keluar rumah.
Noah kesal, dia menyibakkan rambut bagian depannya yang panjang ke belakang, hingga warna hitam bergadasi biru itu terlihat mempesona. Dia kemudian melirik pada adik perempuan satu-satunya seakan bertanya.
"Mana aku tahu. Paling habis diputusin kekasihnya. Mungkin," jawab Lily asal. Gadis berambut panjang keriting gantung sebatas bawah bahu itu terlihat cuek.
"Kekasihnya yang mana? Gadis tak jelas itu?" tanya Noah memastikan. Dia pernah mendengar tapi tak mengenal dan belum pernah melihat gadis yang dia katakan itu.
Lily mendelik. "Kakak sama seperti Grandma. Asal menilai orang lain tanpa mengenalnya lebih dulu. Kak Sunset tak seperti itu. Dia gadis yang baik kok," jawab Lily tak suka.
Noah mengerutkan keningnya. Dirinya terasa asing mendengar nama yang disebutkan adiknya itu.
"Sunset?"
"Iya, matahari terbenam dengan warna kemerahan yang indah. Seperti orangnya yang cantik," jelas Lily sembari tersenyum dengan binar memuja sosok yang tak berada disana.
"Aneh sekali, baru kali ini aku mendengar nama seorang gadis seperti itu?" ujar Noah heran. Dia kembali menatap wajah Lily yang masih terlihat konyol di matanya.
"Apa-apaan raut wajahnya itu? Menggelikan," lanjut Noah menggerutu di dalam hati. Dia menangkap ekpresi tak biasa yang di tunjukkan adik perempuannya.
Lily memang tipe gadis yang tak mudah terpikat rayuan manis ala anak remaja. Namun jika sekali saja dia terpikat, maka Lily selalu menatap orang yang dia sukai itu dengan tatapan begitu mengidolakan.
"Jangan tunjukkan wajah konyolmu itu di depanku. Kamu sama saja dengannya, my little Girl!"
"Aku?" Lily menunjuk wajahnya sendiri. "Dengan Kak Bryan maksudnya?"
"Hmm," jawab Noah singkat.
Noah meraih cangkir kopi di hadapannya dan meminumnya. Jarum jam di pergelangan tangan kirinya menjadi pusat perhatiannya sejenak.
"Jangan sembarangan ngomong. Ini bukan konyol namanya," tampik Lily berang.
"Terus apa namanya jika membayangkan orang lain dalam pikiran dengan mata berbinar sambil tersenyum, dengan wajah yang bersemu merah?" debat Noah menjelaskan. Mereka berdua kerap beradu argument satu sama lain dalam beberapa hal.
"Cinta," jawab Lily singkat.
Noah seolah tertawa mengejek adiknya. Cinta? Lancar sekali bibir anak kemaren sore menasehati di jalan.
"Sok tahu kamu!"
"Emang benar kok. Kak Bryan itu lelaki tulus dalam hal cinta. Tidak seperti Kakak yang gonta-ganti pasangan aja terus. Emang sih aku akui kalau kakakku yang satu ini wajahnya ganteng banget," ucap Lily seraya mencebikkan bibirnya.
Rahang Noah mengeras. Dirinya cukup tersentil dengan apa yang diucapkan adik bungsunya tentang perbedaan dirinya dan Bryan.
"Jadi menurutmu little girl, hanya Kak Bryanmu saja yang tulus dalam mencintai seseorang. Dan kakakmu ini tidak? Sebenarnya kamu itu adik Bryan atau adikku?" Noah melihat adiknya dengan tatapan jengkel.
Selera makannya hilang seketika, dia mendorong piringnya menjauh dengan kasar.
Lily menggigit bawahnya sembari cengengesan. Gadis itu baru sadar jika ucapannya muali menyinggung perasaan kakak lelakinya.
"Tentu saja aku adik kalian berdua. Hanya saja karena Kak Noah lama di luar negeri, jadi aku lebih dekat dengan Kak Bryan. Dan apa kakak tahu, Kak Cecilia juga ngejar-ngejar kak Bryan loh. Cintanya juga tulus tapi tetap saja Kak Bryan tak menghiraukan Kak Cecil, Kak Bryan setia sama My Sunsetnya," celoteh Lily semakin membuat Noah jengah.
Pagi hari Noah terasa membosankan karena diisi dengan cerita drama percintaan saudaranya. Hati Noah panas.
"Aisss anak kecil satu ini, sudah seperti siaran gosib di televisi. Sekolah aja yang benar sana!" omel Noah mulai jengah.
"Loh kok bete wajahnya. Cie ... kak Noah cemburu ya, karena aku bahas Kak Cecilia," ujar Lily menggoda.
Telunjuk kurusnya itu dia arahkan ke Noah seraya dia goyang-goyang kan membentuk lingkaran dengan tatapan mengejek.
Tak hanya hati Noah yang panas, tetapi kupingnya juga.
"Jatah belanjamu bulan depan aku potong setengah!" balas Noah dengan ancaman. Lily terperangah, dia tak mengira gurauannya berimbas oada jatah bulanan yang diberikan kakak lelakinya itu.
"Loh kok gitu? Apa hubungannya dengan jatah jajan. Ini tak adil!"
Noah mengabaikan protes Lily yang disertai raut wajah merajuk. Lelaki itu memilih pergi dengan wajah yang di tekuk dalam.
"Kak Noah, ini tak adil, Kakak!" teriak Lily menggema di ruang makan.
"Aishhh dasar!" Lily menjambak rambutnya kesal atas ulahnya sendiri mengganggu beruang yang hibernasi. Sudah terbayang olehnya jatah jajan yang cukup besar dia dapat dari Noah sedang berterbangan menjauh darinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Alivaaaa
sepertinya Bryan pacarnya Senja ya? dan tanpa dia tau kalau mereka berdua saudara beda Bapak ya 🤔
2024-03-09
0
Sidieq Kamarga
Aaaah aku baru konek ini. Noah -Lily anaknya Bara ? Bryan anaknya Gavin ya Thor ?
2023-09-24
0
Sri Kusrini
sunsetnya siapa yah?.... apa senja?
2023-08-25
0