Dapur Perusahaan – Babak Akhir yang Mengejutkan
Luxia bersorak kegirangan.
“YES! AKU DITERIMA!”
Lacky menyeringai, senang melihat betapa mudahnya Luxia dipermainkan.
Evan hanya menghela napas. “Akhirnya…”
Sementara itu, pewawancara…“…TIDAAAAK!!! KENAPA AKU SETUJU?! SEHARUSNYA DIA GAGAL!!”
Namun, sebelum ada yang bisa berbicara lebih jauh, Luxia mendadak berbalik ke arah dapur dengan penuh semangat. “Karena aku sudah diterima, sebagai perayaan, aku akan membuat makanan penutup spesial untuk kalian!”
Lacky menaikkan alis. “Oh?”
Evan menatapnya dengan penasaran.
Pewawancara yang masih frustrasi, langsung mendengus. “Hah! Seperti aku bakal terkesan!”
---
Makanan Penutup yang Mengubah Segalanya
Luxia kembali bergerak di dapur dengan kecepatan luar biasa. Tangannya lincah mencampur bahan, mengaduk krim, dan membentuk sebuah karya seni kuliner.
Tidak butuh waktu lama sebelum aroma manis memenuhi ruangan.
Evan, yang biasanya tenang, tiba-tiba menegakkan punggungnya. Lacky melirik ke arah dapur, tertarik tapi tetap menjaga ekspresi santainya. Pewawancara… yang tadi ingin membantah Luxia, kini mulai menelan ludah.
“Tunggu… kenapa baunya enak banget?”
Luxia menyajikan tiga piring di depan mereka dengan penuh percaya diri.
“Silakan! Ini Chocolate Lava Cake dengan saus vanila dan es krim homemade.”
Di depan mereka ada cake kecil berwarna coklat pekat, dengan sedikit taburan gula halus di atasnya.
Lacky mengambil sendok dengan santai. “Baiklah, mari kita coba.”
Evan dengan tenang mengambil bagiannya.
Pewawancara? Dia ragu. Lagi. “Kalau ini enak… aku benar-benar harus menerimanya?”
Namun, pada akhirnya, rasa penasaran menang. Mereka bertiga menusuk cake itu perlahan… Begitu sendok menyentuh bagian dalamnya—COKELAT LAVA MELELEH DENGAN SEMPURNA.
Pewawancara menahan napas. “Tunggu… ini… ini…”
Kemudian, mereka menyendok dan memasukkannya ke mulut.
Satu detik. Dua detik.
MATA MEREKA LANGSUNG MEMBESAR.
“AAAAAAAAAAAAHHHHH!!!!!”
PEWAWANCARA LANGSUNG MEMEGANG DADA, SEPERTI TERKENA PANAH CINTA.
EVAN MEMEJAMKAN MATA, TERDIAM, SEPERTI MENGINGAT MEMORI INDAH.
LACKY MEMBANTING MEJA. “SIAL! KENAPA INI SEENAK INI?!”
Pewawancara nyaris menangis. “INI LEMBUT BANGET… RASANYA MANIS TAPI NGGAK BERLEBIHAN… KOKELATNYA MELELE ENGAN EMPURNA… ASTAGA… INI LEBIH ENAK DARI CINTA PERTAMAKU!!”
Evan hanya mengangguk pelan. “Hmph. Teknik yang luar biasa.”
Lacky menatap Luxia dengan ekspresi kesal. “Jujur saja… aku tidak menyangka kau bisa seahli ini.”
Pewawancara menatapnya dengan penuh perasaan campur aduk. “Aku… aku ingin marah… tapi aku juga ingin makan lebih banyak…”
Luxia tersenyum penuh kemenangan. “Jadi… bagaimana? Masih ragu menerimaku?”
Pewawancara menghela napas berat. Lalu, dengan ekspresi seperti orang yang dipaksa menerima kenyataan pahit, ia mengangkat tangan. “…Baiklah. Dengan terpaksa, aku menyetujui keputusan Presiden.”
Luxia tertawa senang. “YES! AKHIRNYA DIA SETUJU JUGA!”
Sementara itu, Lacky menyandarkan tubuhnya, menatap Luxia dengan senyum misterius. “Hmph. Sepertinya aku harus mengawasimu lebih dekat, Luxia.”
Evan hanya bisa menghela napas lagi. “Astaga… ini baru awal, kan?”
Dan dari ekspresi Luxia yang penuh percaya diri, serta senyum penuh kelicikan di wajah Lacky…
Drama di perusahaan ini baru saja dimulai.
----
Kedatangan Ayah Lacky – Kekacauan Dimulai. Suasana dapur yang tadi penuh tawa tiba-tiba berubah drastis. Sebuah suara berat bergema di ruangan.
"AHEM."
Mendengar suara itu, semua orang langsung menegang. Dari ambang pintu, seorang pria tua dengan tongkat di tangan berdiri dengan tatapan tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya.
Blackm, ayah Lacky.
Pewawancara langsung berdiri tegap dan membungkuk dalam-dalam. Evan menegakkan posturnya, memasang ekspresi serius. Lacky menghela napas, tahu bahwa situasi ini bisa jadi merepotkan.
Namun… Di tengah semua itu, hanya Luxia yang tetap santai. Dengan ekspresi polos, dia memiringkan kepalanya dan berkata,
"Oh, kakek?"
Keheningan.
Evan berhenti bernapas. Pewawancara hampir terjatuh. Lacky menutup wajahnya, menyesali hidupnya. "LUXIA, APA YANG KAU KATAKAN?!" Lacky berteriak dalam hatinya.
Sementara itu, Blackm mengerutkan kening. “...Apa kau barusan memanggilku kakek?”
Luxia mengangguk santai. “Iya, kan memang benar? Anda kelihatan seperti sudah kakek-kakek rambut putih itu.”
Evan sudah siap menulis surat pengunduran diri. Pewawancara menggigit saputangannya, menunggu bencana. Lacky berusaha menopang kepalanya agar tidak jatuh ke meja karena terlalu stres.
Blackm memandang Luxia tajam.
Semua orang menunggu kemarahan besar yang akan datang. Namun, sebelum Blackm sempat mengatakan apa-apa, Luxia dengan santainya mengambil piring makanan penutup yang tadi ia buat dan menyerahkannya kepadanya.
“Kakek, cobain ini! Aku baru saja membuatnya. Jangan marah-marah dulu sebelum makan yang manis!”
Evan menutup matanya, tak sanggup melihat kelanjutannya. Pewawancara ingin berteriak, tapi tak bisa.
Lacky menatap Luxia dengan ekspresi frustasi. "Dia benar-benar tidak tahu siapa yang sedang dia hadapi…"
Blackm menatap makanan itu.
Seharusnya dia marah. Seharusnya dia langsung membentak Lacky. Seharusnya dia langsung memecat Luxia di tempat.
Tapi…
Aromanya terlalu menggoda. Tangannya bergerak sendiri, mengambil sendok. Semua orang menahan napas. Blackm memasukkan suapan pertama ke mulutnya.
Satu detik. Dua detik.
Ruangan masih hening.
Lalu… Blackm tiba-tiba berhenti mengunyah. Matanya sedikit membesar. Tanpa peringatan, tangannya langsung menyendok lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dalam hitungan detik, piring itu kosong.
Evan dan pewawancara menatap dengan mulut terbuka.
Lacky mendecak pelan, tapi bibirnya melengkung kecil.
Luxia, yang sejak tadi santai, tersenyum puas. “Bagaimana, Kakek? Enak, kan?”
Blackm menatap Luxia dengan ekspresi sulit dibaca. Lalu, dengan suara berat, dia berkata, “Tambahkan satu porsi lagi.”
Semua orang semakin terkejut.
Pewawancara hampir pingsan. “Apa aku sedang mimpi? Dia memanggilnya Kakek, dan masih bisa hidup sampai saat itu?”
Lacky menghela napas sambil tersenyum tipis. “Hah… ternyata dia memang spesial.”
Evan hanya menutup buku catatannya. “Hari ini benar-benar tidak bisa diprediksi…”
Sementara itu, Blackm yang awalnya datang untuk memarahi Lacky karena belum menyelesaikan tugasnya, lupa segalanya.
Saat ini, satu-satunya hal yang ada di pikirannya hanyalah makanan penutup buatan Luxia.
Setelah menyantap makanan penutup yang dibuat Luxia, Blackm menaruh sendoknya dengan perlahan. Semua orang menunggu reaksinya dengan tegang, terutama Lacky dan pewawancara yang masih berharap Blackm akan mengatakan sesuatu yang membuat Luxia gagal diterima. Namun, yang keluar dari mulut pria tua itu justru di luar dugaan.
"Kau, ikut aku."
Ruangan mendadak sunyi.
Pewawancara menegang. Evan menaikkan alis. Lacky, yang sedang minum air, hampir tersedak.
"Hah? Ke mana?" Luxia bertanya polos.
Blackm tidak menjawab, hanya berdiri dengan wibawa dan berjalan ke arah pintu. Langkahnya santai, tapi membawa aura yang tidak bisa ditolak.
Pewawancara melirik Evan dengan curiga. "Kenapa dia yang dibawa?" bisiknya.
Evan hanya tersenyum tipis. "Sepertinya Ketua menyadari bakatnya dan tertarik padanya."
Lacky masih duduk di tempat, mencoba memproses situasi ini. Namun, sebelum dia bisa memprotes, Luxia sudah berdiri dan dengan santainya mengikuti Blackm.
"Wah, apa aku bakal dapat promosi langsung? Kakek ini baik juga, ya," gumamnya riang.
Lacky menutup wajahnya dengan tangan. "Aku pusing."
---
Setelah berjalan melewati lorong-lorong mewah, akhirnya Blackm membawa Luxia ke sebuah ruangan luas dengan interior modern dan elegan.
Luxia melongo. "Wow, tempat ini keren banget. Tapi kenapa kita ke sini?"
Blackm duduk di kursi utama, melipat tangan di atas tongkatnya, lalu menatapnya dengan tenang.
"Kau tahu ruangan siapa ini?" tanyanya.
Luxia menggeleng polos. "Enggak. Tapi sepertinya ini ruangan orang penting?"
Blackm mengetukkan tongkatnya ke lantai. "Ini ruangan anakku, Lacky."
Luxia langsung menegang, lalu dalam hitungan detik berdiri tegak dan memberi hormat seperti seorang prajurit. Karena ia tidak tahu bahwa kakek ini adalah ayah dari pemimpin perusahaan ini.
"SIAP, KAKEK!"
Lacky, yang baru tiba di ambang pintu, langsung menabrak kusen. "Apa dia barusan lakukan...?"
Evan yang berdiri di belakangnya hanya diam, tapi sudut bibirnya sedikit naik.
Blackm mengangkat alis. "Kau masih memanggilku kakek?"
Luxia mengangguk dengan polos. "Iya, soalnya kalau ‘Tuan Blackm’ kedengarannya serem. Kalau ‘Kakek’ lebih hangat, kan?"
Lacky hampir tersedak udara. "Sejak kapan ayahku butuh panggilan yang hangat?!"
Pewawancara yang entah bagaimana ikut mengintip dari luar hanya bisa menggigit saputangannya, tidak terima bahwa Luxia masih hidup setelah memanggil Blackm ‘kakek’ untuk kedua kali.
Blackm menatapnya sesaat, lalu—untuk pertama kalinya sejak tadi—tersenyum kecil.
"Kau akan bekerja di perusahaan ini."
Luxia langsung berseri-seri. "Tentu! Gaji besar, bonus banyak, siapa yang nolak?"
Blackm mengangguk pelan, lalu melanjutkan, “Dan kau akan bekerja langsung di bawah Lacky.”
Ruangan langsung sunyi lagi.
Luxia berkedip beberapa kali. "Hah?"
Lacky yang masih berdiri di ambang pintu menegang seketika. "APA?"
Evan perlahan menutup bukunya, sementara pewawancara yang menguping hampir menjatuhkan mapnya.
Lacky akhirnya menemukan suaranya. "Ayah, kau bercanda, kan?"
Blackm menatapnya dengan datar. "Kapan terakhir kali aku bercanda?"
Lacky membuka mulut, ingin membantah, tapi kemudian sadar bahwa ayahnya memang tidak pernah bercanda.
Sementara itu, Luxia tampak berpikir keras. "Jadi... aku bakal kerja sama dia?"
Blackm mengangguk. "Ya."
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments