"Gimana Vie, udah dapet kabar dari Cinthia?" tanya Putra sesampainya ia di rumah Cinthia. Vie yang berdiri di depan pintu menggeleng dengan cemas.
"Nyokap bokapnya Cinthia mana?"
"Bokapnya pulang malam banget, nyokapnya ke rumah adeknya dan nggak pulang malam ini. Kata Bi Anti sih ada urusan mendadak gitu."
"Mereka udah tahu soal ini?"
Vie menggeleng untuk yang kedua kalinya. "Gue pikir hal ini belum perlu untuk diketahui mereka."
"Mendingan kayak gitu. Lo sama siapa di sini?"
"Sama Bi Anti. Lagi masak buat makan malem di dapur."
"Billi mana? Dia udah tahu belum kalau Cinthia belum pulang?"
"Kak Billi juga belum pulang. Tapi , dia udah ngasih tahu ke Bi Anti kalau bakal pulang telat."
"Cckk!" Putra mendecakkan lidahnya. Dia mengambil handphone dari saku celananya dan mulai menelfon seseorang.
"Halo! Billi?Bil, Cinthia sama lo nggak?"
"Oh, Putra? Nggak tuh! Emang kenapa,Put?" jawab Billi dari tempatnya berada.
"Cinthia belum pulang! Gue nggak tahu dia di mana! Gue lagi usaha nyari!"
"Masih ada urusan di sekolah kali."
"Dia nggak sekolah,Bil. Dia bolos. Ada sesuatu di sekolahnya tadi pagi. Sekarang lo pulang cepetan nanti gue jelasin alasannya."
Putra mengakhiri pembicaraan dengan Billi. Putra duduk di samping Vie dengan perasaan yang cemas. Dia yakin pasti ada yang dipendam Cinthia dan itu pasti berat banget. Putra inget raut wajah Cinthia sewaktu mereka jadian. Ada sesuatu beban berat di wajahnya saat itu. Putra yakin, Cinthia masih punya perasaan ke Rais , cowok yang disukai Cinthia. Cowok yang ia temui di toko buku bersama Cinthia. Putrapun menyadari sebanyak apapun dia memberikan rasa sayangnya pada Cinthia, Cinthia nggak akan pernah menyukainya lebih dari sekedar sahabat. Sampai mereka jadianpun, Putra sadar Cinthia tidak sepenuhnya miliknya.
Perlahan Vie menyentuh pundak Putra yang kaku. Putra menoleh ke arah Vie. Vie tersenyum menenangkan sahabatnya itu.
"Sabar ya,Put! Gue tahu kok derita cinta lo. Karena gue juga tahu siapa yang Cinthia sayang."
"Tenang aja Vie. Sebisa mungkin gue bakal bantu dia. Walaupun gue juga sedih karena gue juga tahu Cinthia milih gue bukan dari hatinya."
Vie dan Putra saling tersenyum menenangkan. Mereka berdua bakal terus saling mendukung sebagai sahabat.
Putra mengambil kunci mobilnya dari atas meja. Dia berjalan mendekati mobilnya. Vie mengantarnya sampai ke depan pagar.
" Gue nyari tuh anak dulu,ya! Kalau ada kabar apa aja jangan lupa hubungi gue!"
"Beres,Put! Nyari yang bener,ya! Mata lo jangan jelalatan kemana-mana!"
"Ya iyalah! Vie, gue jalan!"
Putra melambaikan tangan ke Vie yang dibalas dengan lambaian tangan juga dari Vie. Setelah mobil yang dikendarai Putra sudah tidak terlihat, Vie masuk ke dapur untuk membantu Bi Anti menyiapkan makan malam. Vie berharap Cinthia bisa balik dengan selamat.
...****************...
Kali ini Rais harus berfikir dua kali untuk mengabulkan permintaan Neta. Untuk yang kesekian kalinya Neta ngajak Rais jadian. Tentu aja Rais nggak bisa karena hatinya hanya untuk Cinthia walaupun dia tahu cintanya bertepuk sebelah tangan.
"Aku nggak bisa,Net. Udah aku bilang berapa kali sih biar kamu ngerti." ucap Rais lelah menjelaskan ke Neta.
"Kenapa? Kamu masih sayang sama cewek itu? Kamu masih mengharapkan cewek itu?Hah! Come on, Rais ...ada aku di sini...ada aku! Aku yang selalu ada di sisi kamu dari dulu! Seharusnya kamu sadar ,Rais . Dia itu udah punya cowok! Dia udah memilih cowoknya! Dia nggak milih kamu! Lebih baik kamu milih yang udah ada di depan kamu!" Neta berteriak sampai nafasnya tersengal-sengal. Rais cuma diam aja, menatap nanar pemandangan malam dari balik jendela kamarnya. Perlahan Neta mendekati Rais . Disentuhnya lengan cowok itu.
" Aku nggak mau kamu sedih Rais . Aku sayang kamu. Dan aku juga nggak mau kamu kecewa sampai terpuruk kayak gini cuma gara-gara mengharapkan cewek itu." ucap Neta dengan suara manjanya.
"Please,Rais . Kamu ingetkan kejadian yang lalu?"
Dengan terpaksa Rais harus mengingat masa lalunya dengan Neta. Hal yang nggak bisa membuatnya jauh dari Neta sampai sekarang, saat mereka harus bertemu lagi.
...****************...
"Eh! View yang di sana keren deh! Coba lo motret di sana Shaf, ntar gue motret dari sini." ujar Rais yang siap-siap membidikkan kameranya ke suatu view yang tampak bagus. Shaffaq mengatur kameranya sambil berjalan menuju arah yang di tunjuk Rais . Mereka berdua mulai sibuk motret sampai nggak kerasa hari sudah hampir gelap.
" Gimana? Bentuk awan yang tadi dapet nggak?"
"Dapet donk,Rais ! Udah malem,nih! Balik yuk!"
Keduanya mulai membereskan peralatan memotret mereka, sampai Shaffaq menyadari ada bagian yang hilang dari mereka.
"Rais , tunggu. Neta mana? Tadi dia sama lokan?" Shaffaq langsung bertanya ke Rais .
"Gue nggak tahu! Bukannya dia sama lo?"
"Aduh,Rais ! Neta ilang! Kita harus nyari dia!"
"Cepetan Shaf!"
Rais dan Shaffaq mulai mencari Neta. Mereka mulai memasuki desa yang terpencil tersebut. Mereka terpaksa harus menggunakan senter supaya nggak tersesat, hari sudah sangat gelap saat itu.
Rais dan Shaffaq nggak henti-hentinya berteriak-teriak memanggil Neta. Namun, nggak ada jawaban balik dari Neta. Saat itu Rais udah merasa frustasi. Dia merasa bersalah karena udah lalai dari tanggung jawabnya menjaga Neta. Dia nggak tahu harus gimana lagi.
"Rais ! Sini,Rais ! Cepetan! Neta di sini!" teriak Shaffaq dari arah yang berseberangan dengan Rais . Rais segera mendekati Shaffaq dan segera mengarahkan senternya ke arah yang sama dengan senter Shaffaq. Di sana terlihat tubuh Neta tak bergerak. Seluruh bajunya kotor. Tak ada gerakan dari Neta.
"Kayaknya dia jatuh gara-gara tanahnya longsor, Rais ."
"Cepet,Shaf! Cari bantuan! Panggil ambulance atau apa kek terserah lo yang penting Neta selamat!"
"OK, sekarang lo mau ngapain?"
"Gue mau turun ngangkat Neta naik."
"Jangan, Rais ! Itu terlalu berbahaya. Bisa-bis lo juga ikut jatuh!"
Rais tidak mempedulikan Shaffaq. Dia menurunkan ransel yang di gendongnya. Longsoran tanah tersebut tidak terlalu dalam tapi, lumayan curam. Rais turun perlahan, dengan hati-hati dia menapakkan kakinya satu demi satu agar tidak tergelincir.
" Arrgghh!!!"
"Rais ! Lo nggak pa-pa?!" teriak Shaffaq dari atas.
"Gue OK! Cuma kepeleset sedikit!" balas Rais . Shaffaq melanjutkan misinya mencari bantuan. Sedangkan Rais mulai memeriksa denyut nadi Neta. Syukur...masih hidup. Terima kasih Tuhan! ucap Rais dalam hati. Perlahan Rais mengikat tubuh Neta pada tali yang dibawanya. Tali tersebut sudah terikat kuat dengan pohon yang kokoh di atas.
"Shaf! Neta udah gue iket! Tarik Shaf!"
"Neta nggak pa-pa,Rais ?!"
"Nggak pa-pa! Dia cuma pingsan!"
Shaffaq menarik Neta dengan sekuat tenaga dan dengan kehati-hatian yang tinggi. Sementara itu, Rais dari bawah menjaga tubuh Neta tidak terjatuh. Perlahan, tubuh Neta mendarat dengan mulus dekat dengan kaki Shaffaq. Setelah mengecek keadaan Neta, Shaffaq mulai menarik Rais yang mulai naik ke atas.
"Langsung kita bawa ke rumah sakit, Shaf. Gue nggak mau dia kenapa-napa. Ini semua salah gue." ujar Rais menyalahkan dirinya.
"Jangan nyalahin diri lo sendiri. Inikan kecelakaan yang nggak disengaja."
"Tapi tetep aja Shaf! Yang salah itu gue! Harusnya gue selalu ngawasin dia! Harusnya gue ngelihatin kemana dia jalan-jalan!Harusnya..."
"Stop! Nggak perlu lo nyalahin diri lo sendiri kayak gitu! Sekarang kita bawa Neta ke rumah sakit!"
Rais menuruti perkataan Shaffaq. Rais masih berwajah muram. Dalam hatinya, dia masih terus menyalahi dirinya sendiri. Menyalahi dirinya yang tidak becus menjaga Neta, tidak becus mengawasi Neta.
Setelah tubuh Neta ditidurkan dengan nyaman pada jok belakang, Shaffaq duduk di kursi kemudi dan Rais duduk di kursi sebelahnya.
"Rais ?"
Shaffaq menyentuh pundak Rais perlahan. Namun, tidak ada respect apapun dari orang tersebut. Shaffaq cuma menarik nafas panjang melihat kebungkaman temannya itu. Shaffaq mulai menyetarter mobil dan melaju dengan hati-hati menuju rumah sakit.
...****************...
"Kamu udah inget sekarangkan,Rais ?" terdengar bisikkan halus suara Neta pada telinga Rais . Rais tampak terkejut ketika telinganya mendengar suara Neta. Rais membalikkan badannya menghadap ke arah Neta. Dengan lembut Neta menggenggam kedua tangan Rais .
"Kamu juga inget yang kamu katakan di rumah sakitkan?"
Untuk yang kedua kalinya, Rais harus memutar ulang otaknya untuk adegan flash back dirinya bersama Neta.
...****************...
Suasana kamar di sebuah Rumah Sakit di Jakarta itu begitu cemerlang dengan warna putih yang tertimpa cahaya matahari yang masuk dari jendela di sebelah kiri tempat tidur pasien, yang tirainya sengaja disibakkan.
Rais sedang menggengam kuat tangan perempuan yang sedang berbaring dengan senyum lemahnya diarahkan pada Rais .
"Aku suka kamu, Rais . Dari awal kita bareng pemotretan sampai sekarang. Waktu itu aku kabur karena aku bete sama kamu. Kamu terlalu sibuk untuk foto-foto sekitar. Maaf, ya! Gara-gara kecerobohan aku, kamu dan Shaffaq harus repot begini." ujar Neta dengan suara manjanya yang terdengar masih sangat lemah. Rais menggeleng mendengar ucapan Neta.
"Justru aku yang harus minta maaf. Aku janji aku bakal selalu jaga kamu. Nggak bakal buat kamu celaka kayak gini lagi."
Keduanya tersenyum. Seorang suster dengan seragam putihnya masuk dan memberitahukan kepada Rais bahwa jam besuk sudah habis. Sudah waktunya dia harus menyudahi kunjungan tersebut. Dengan senyuman hangat, Rais bangkit dari tempat duduknya. Menatap Neta dengan perhatian seorang kakak yang nggak akan pernah hilang.
Itulah yang Neta rasakan sampai saat ini. Tatapan seorang kakak dari Rais yang selalu dia berikan untuknya dan memang hanya untuknya. Tapi, itu bukanlah yang diharapkan Neta. Ia ingin Rais memandangnya bukan sebagai adik, tetapi lebih dari itu. Dan tatapan yang inginkan dari Rais ternyata muncul saat Rais memandang Cinthia, hanya Cinthia.
"Aku tahu aku janji bakal jaga kamu, Net! Tapi, kamu juga harus tahu aku suka Cinthia! Aku sayang dia! Aku cuma nganggep kamu adek aku, nggak lebih!"
Rais melepaskan genggaman Neta.
"Tapi, Cinthia udah jadian sama orang lain! Ngapain kamu siksa diri kamu sendiri kayak gini? Mengharapkan yang nggak pasti! Rais , kamu harus buka mata kamu! Aku ada di sini buat kamu!"
Neta terus memaksa dan mendesak Rais . Rais menarik-narik rambutnya supaya rasa sakit di kepalanya hilang walaupun sedikit.
" Sorry, Net. Tapi, begitulah aku sekarang. Tetap yakin dengan keyakinan bodoh yang aku miliki dan percayai."
Rais menyambar jacket yang tergantung pada kursinya, dia menyampirkan ke bahunya. Rais hendak membuka pintu, tapi langkahnya tertahan oleh suara Neta dan suara ponselnya yang berdering. Rais menepis tangan Neta agak kasar. Dia langsung mengambil ponselnya dan menerimanya.
"Halo?"
"Rais ! Bantuin gue nyari Cinthia sekarang juga! Dia belum balik sampe sekarang!" seru suara yang ternyata suara Billi dari tempatnya berada.
Dengan sigap, Rais mengenakan jacket yang ada di pundaknya. Dia membuka pintu namun terhenti.
"Kamu mau kemana?"
"Aku nggak mau ngelakuin kesalahan lagi, Net. Please jangan ganggu aku sekarang."
Rais segera pergi meninggalkan Neta yang hanya bisa menatap kepergian Rais kosong. Neta menjatuhkan tubuhnya pada tempat tidur. Air mata jatuh deras dari kedua matanya membasahi pipi.
Neta merasa kalah. Semua yang udah dia lakukan, semua cara liciknya, semuanya nggak ada gunanya. Semua udah nggak berarti lagi untuk mendapatkan Rais . Rais tetap memilih Cinthia. Neta cuma bisa menangis terisak sendirian di dalam kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments