Alvin sosok yang suka bercanda berlebihan, tapi jika membuatnya marah karena sebuah pengkhianatan maka orang itu akan menemukan sisi lain dari sosok Alvin. Candaan Alvin kadang membuat lawan bicaranya suka terbawa perasaan jika menjadi sasarannya, tapi begitulah dia. Dia tidak merubah sifatnya walau dia seorang pimpinan. Indri sudah biasa dengan candaan Alvin, dan sepertinya hanya dia yang memahami bagaimana Alvin.
"Ammak, aku lanjut pekerjaan aku, Ammak tetap di sini jangan pergi ya."
"Aku baru datang, masa mau pergi lagi?" balas Indri.
Indri berbaur dengan para pekerja Nadi di perkebunan, dan tidak lupa untuk mengawasi cucunya yang terlihat begitu ceria bermain dengan anak-anak di sana. Para pekerja kembali meneruskan pekerjaan mereka, sedang Indri membantu ibu Nadi membereskan piring dan gelas.
"Itu tadi anaknya Pak Haji Midun?" tunjuk Indri pada salah satu pemuda yang baru saja mengambil sekarung pakan ayam.
"Iya, kamu masih mengenali warga desa lama rupanya." Ibu Nadi berusaha menerima kehadiran wanita di depannya ini. Selama ini dia sangat benci wanita yang menyakiti salah satu tetangganya ini.
"Kok bisa dia kerja sama Nadi? Padahal di desa lama, Bapaknya lumayan berada dan Nadi salah satu pekerja dia." tanya Indri.
"Salah mengelola warisan. Tidak lama setelah pembebasan lahan, Bapaknya meninggal, nah anak-anak yang dapat warisan miliaran itu lupa diri, ada yang bangun rumah besar, beli mobil dan lainnya, tidak memikirkan usaha apa yang akan mereka jalani untuk melanjutkan kehidupan setelahnya. Seakan hidup berhenti begitu saja saat uang tabungan mereka habis."
"Uang milaran membuat mereka kalap, hingga sibuk bergaya, lupa segalanya," komentar Indri.
"Begitulah, mereka memegang uang miliaran merasa uang itu sangat banyak, padahal uang itu lewat begitu saja kalau dibangunkan rumah bertingkat dan mobil." Ibu Nadi teringat semua warga desa seketika membeli mobil dan membangun rumah beton. "Tapi, sebagian ada warga yang rumahnya belum selesai, karena uang yang mereka miliki hampir habis, akhirnya pada kelabakan bingung bagaimana meneruskan hidup."
"Pasti bangun rumah seukuran istana itu, karena merasa uang miliar banyak, tapi lupa menghitung berapa pengeluaran lain selain pembangunan rumah itu," komentar Indri.
"Bisa jadi, mereka berlibur keluar negri, dan jalan-jalan sesuka mereka." Ibu Nadi menggela napasnya, dan kembali melanjutkan ceritanya. "Hanya sedikit warga yang membeli tanah untuk membuka perkebunan baru, sebagian besar tidak berminat berkebun lagi, hanya santai sambil menikmati uang pembebasan lahan yang mereka miliki. Beberapa tahun kemudian mereka datang mengemis pekerjaan karena kehabisan uang."
"Jangankan uang, gunung saja kalau terus menerus dikeruk bisa rata." Indri mulai mengerti mengapa orang-orang yang dulu dia kenal memiliki ekonomi lebih baik dari Nadi, sekarang malah jadi pegawai Nadi, ternyata mereka keliru menikmati harta mereka. Perputaran roda kehidupan yang mengejutkan karena salah mengelola harta.
"Sejak uang pembebasan cair, juragan Taufik langsung mengajak Nadi beli tanah untuk perkebunan yang lebih luas. Alhamdulillah, perjuangan Nadi berbuah manis berkat bimbingan Taufik juga. Tidak sia-sia menahan diri dari membangun rumah mewah dan tidak membeli mobil dari uang pembebasan lahan, karena jika kalap seperti sebagian besar warga, nasib kami tidak akan berubah, tetap saja sebagai pekerja di perkebunan orang."
"Alhamdulillah, ekonomi kalian meroket naik berkat kerja keras, kesabaran, dan kegigihan kalian."
Tempat istirahat itu sudah bersih, piring dan gelas kotor sudah ditangani oleh pekerja yang lain. Indri dan ibu Nadi duduk santai sambil memandangi pekerja yang merawat tanaman.
"Tapi ada janggal, saat Nadi belum sukses, Shamil setia bersamanya, selalu menemani Nadi berkebun, tapi saat Nadi punya segalanya, aku kaget kalau Nadi dan Shamil sudah bercerai." Indri memulai misinya.
"Aku juga tidak tahu rumah tangga anakku, bukan cuma kamu, aku juga terkejut atas perceraian mereka."
"Sampai detik ini, aku masih memikirkan, apa alasan Shamil dan Nadi bercerai. Orang ketiga? Itu tidak mungkin, karena Nadi pria yang sangat baik juga penyayang," ucap Indri.
"Aku sempat menuduh anakku, apakah dia punya wanita lain sehingga Shamil mengajukan cerai? Nadi bersumpah tidak pernah memiliki wanita lain selain istrinya. Mungkin Shamil bosan hidup di desa. Karena setelah bercerai ku dengar dia kembali bekerja di sebuah perusahaan besar. Kalau masih bersama Nadi, mungkin dia malu kalau suaminya hanya seorang pekebun."
"Malu? Bukannya sebelum menikah Shamil sudah tahu apa pekerjaan Nadi?"
"Sebelum menikah, Shamil sudah tidak bekerja di perusahaan. Mungkin dia merasa biasa saja dengan profesi Nadi. Pemikiranku saja, mungkin saat dia akan bekerja, dia akan malu jika teman kerjanya tahu kalau suaminya tidak memiliki jabatan, maaf biasanya orang kota kalau kerjanya tidak di kantor dianggap tidak keren."
"Aduh, ada-ada saja pemikiranmu, nggak semua lagi. Majikan saya Tuan Alvin, bekerja di perusahaan orang posisi dia sangat berpengaruh. Tapi dia malah mengundurkan diri dan mendalami usaha peternakan yang dulu dikelola Ayahnya. Hasilnya sekarang? Peternakan dia besar dari gajih sebagai pegawai, bahkan ada di mana-mana."
"Yah, gengsi seseorang beda-beda. Ada yang gengsi nggak apa-apa gajih kecil yang penting berseragam. Sedang yang lain, nggak apa-apa berjibaku dengan kotoran ayam, yang penting hasilnya nggak cuma cukup untuk buat makan, tapi bisa naikin haji orang sekampung."
Berbicara banyak dengan Indri, membuat ibu Nadi menyadari, Indri tidak seburuk yang dikatakan oleh ibu Taufik.
Hari semakin sore. Banyak hal yang Indri lewati di perkebunan itu. Rasanya dia kembali ke desanya dulu, di mana aktivitasnya sibuk mengurus tanaman dan hewan peliharaan. Begitu juga Tifa, dia sangat bahagia bermain dengan anak-anak ayam yang baru di lepaskan ke kandang.
Sedang di sebuah perusahaan, Akhsan buru-buru membereskan barang-barangnya.
"Kenapa San? Ngebet banget pengen pulang, sudah di ujung ya?" goda Ari.
"Ada mertua aku di rumah, nggak enak kalau pulang telat," alasan Akhsan. Dia segera meninggalkan kantor dan melajukan motornya menuju kontrakan Shamil.
Akhsan sengaja pulang lebih awal dari Shamil, agar bisa mencegat wanita itu di depan pintu sebelum dia masuk rumah. Kalau Shamil sudah di dalam rumah, tentu dia tidak akan membukakan pintu buat Akhsan. Rencana Akhsan berjalan seperti yang dia harapkan. Saat Shamil turun dari mobil, Akhsan menahannya.
"Jangan marah amma, aba nggak kemari bukan karena amma ada tamu. Beneran di rumah ada mama Zella."
"Ya sudah, pulang saja sana ke rumah Zella. Ngapain aba kemari?"
"Aba nggak tenang kalau amma ngambek sama aba. Dengan apa aba buktiin kalau yang aba katakan memang sebenarnya?"
"Amma nggak ngambek!" Shamil membuang muka.
"Kalau nggak ngambek, buka dong blokirannya. Hidup Aba gelap rasanya kalau nggak bisa hubungin Amma. Seharian ini aba nggak fokus bekerja karena mikirin Amma."
"Aba, minggir! Amma capek, amma mau istirahat!" Tanpa Akhsan ucapkan, dia yakin berhasil membuat hari Akhsan kacau karenanya.
"Aba nggak akan minggir sebelum amma maafin aba."
"Amma tuh nggak terima, setiap Amma haid, aba cuma datang untuk makan. Walau kita nggak ngapa-ngapain. Amma juga butuh aba walau sekedar pelukan saja. Amma sudah capek kerja. Amma ingin bersandar di bahu aba yang kokoh ini." Shamil mengeluarkan air mata buayanya.
"Maafin aba, sekarang ayok kita masuk."
"Masuk? Aba nggak langsung pulang aja? Gimana tante Indri?"
"Dunia aba kacau kalau amma marah sama aba, ketenangan aba itu cuma amma."
Shamil bersorak dalam hati, hanya modal air mata dan pura-pura marah. Akhsan meringkuk dalam genggamannya. "Buat makan malam kita beli aja ya, amma lagi nggak mood masak."
Ya nggak bisa masak, aku belum chat bibi minta masakin. Kalau tiba-tiba ada masakan, ketahuan selama ini yang dia makan bukan masakanku, batin Shamil.
"Beli camilan saja, kalau makanan berat buat amma saja. Habis isya, aba harus pulang. Sepertinya mama Indri akan masak banyak. Pas aba ke rumah tadi dia habis belanja di pasar sepertinya. Boleh aba pulang habis isya?"
"Aba temani walau sebentar, amma sudah bahagia."
Akhsan melupakan lelahnya. Setelah masuk rumah, Shamil memandikannya, dan menyeka setiap jengkal tubuhnya.
Rasanya waktu terlalu cepat berputar, tidak terasa adzan isya berkumandang dari segala penjuru. Akhsan bersiap untuk kembali.
Sedang di rumah Zella. Zella mematung mendengar ibunya meminta izin untuk membawa Tifa bersamanya untuk tinggal sementara di desa Nadi, untuk menemani majikannya.
"Kamu tenang saja Zella, walau anakmu di sana, aku jamin sekolahnya lancar. Aku akan tugaskan supir untuk antar jemput dia." Alvin meyakinkan.
"Aku senang di desa itu ma, banyak teman. Terus aku bisa lakuin banyak hal," Tifa menambahi.
"Aku nggak pernah pisah sama Tifa ma, apa aku bisa?" Zella masih keberatan.
"Kamu bisa ketemu Tifa di depan gerbang sekolah saat pagi, atau menemaninya saat menunggu jemputan di jam pulang sekolah. Ayolah sayang, ini semua demi--" Indri mengisyarat akan tujuannya.
"Izinin ya ma, aku suka di sana," rengek Tifa.
Zella terpaksa mengangguk, karena anaknya juga ingin ikut Neneknya tinggal sementara di sana.
"Ya sudah, bantu mama kemas seragam sekolah, buku, baju, dan keperluan buat Tifa," pinta Indri.
"Iya ma." Zella menatap kearah Tifa. "Sayang, kamu temani om Alvin ya. Mama mau kemas keperluan kamu buat di sana."
"Iya mama."
Ibu dan anak itu segera masuk ke kamar Tifa.
"Bagaimana ma? Ada kemajuan?" tanya Zella.
"Mama baru datang sehari, mana mungkin mama grasak-grusuk nanya banyak orang tentang Shamil, bertahap sayang. Mencari informasi, mama tidak bisa mendengar hanya di satu pihak. Mama harus cari informasi versi pihak lain."
"Bagaimana aku hadapi Akhsan? Aku takut dia mendekatiku," ucap Zella lirih.
"Kamu pasti bisa hadapin dia, tenang, sabar dan berpikir. Ide akan muncul sendiri saat kita terpojok."
"Mama tadi siang belanja banyak, buat makan malam kamu dan Akhsan, kamu masak sendiri."
"Makasih banyak ma." Zella terharu atas perjuangan ibunya.
"Hanya ini yang bisa mama lakukan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Apa yang kau dapatkan dengan merampas kebahagiaan wanita lan tidak akan bertahan lama, Syamil.... ingat itu!!
2023-10-17
1
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Yaa begitulah.... uang membuat lupa segalanya.
2023-10-17
0
Riana
air mata buaya betina
2023-10-14
0