Aksan ingin sekali melajukan motornya menuju kontrakan Shamil dan sarapan di sana, namun mengingat Shamil juga bekerja, Akhsan menahan keinginannya. Dia mampir di sebuah kios membeli roti dan kopi sashet. Akhsan melanjutkan perjalanannya menuju kantor. Kekesalannya belum reda, kini dia harus bertemu teman isengnya.
"Kenapa wajahmu kayak cucian nggak disetrika San?" goda Ari.
"Lagi bete aja, pagi-pagi mood ku sudah kacau." Akhsan memacu cepat langkahnya menuju pantry.
Ari tidak berhenti menggoda Akhsan, kalau tidak bisa membuat temannya lebih baik, maka setidaknya dia akan menambah kekesalan lawan bicaranya. "Jangan bilang kamu tadi malam nggak dikasih jatah ranjang sama istrimu."
"Masalah ranjang mah sepuasnya penghuni sarungku menjelajah, nggak kayak kamu sering nggak dikasih istrimu kalau dia ngambek!" balas Akhsan. Jemarinya mulai menyeduh kopi dan membawanya menuju meja yang tersedia.
Ari cemberut, bukannya mengerjai Akhsan, malah Akhsan yang berbicara fakta tentang dirinya.
"Hari ini perwakilan dari perusahaan besar akan berkunjung, kamu tau siapa utusan dari sana?"
"Aku nggak tahu, tapi nanti akan ketemu dan akhirnya aku tahu juga." Akhsan mulai merobek roti manis untuk pengganjal perutnya pagi ini.
"Nggak seru ih becandain kamu." Ari menghempas napasnya kasar. "Utusan perusahaan besar itu Shamil. Kamu ingat kan?"
"Sha-mil?" Akhsan terbata.
"Yap, mantan pacarmu, semoga aja kau nggak main gila sama Shamil, apalagi ku dengar dia janda, ingat San ada Zella sama Tifa yang harus kamu utamakan."
"Aman mah, aku nggak akan aneh-aneh, cukup main gila dengan patner halalku saja." Akhsan dengan santai melanjutkan menikmati rotinya. Lagian Shamil juga istrinya.
"Bagus lah kalau kamu mengutamakan istrimu."
Akhsan melupakan kekesalannya. Mengetahui akan bertatap mata dengan Shamil, sedikit kebahagiaan menyala dalam dirinya.
**
Waktu terus berjalan, pekerjaan dikerjakan dengan lancar. Saat di ruang rapat, Akhsan dan Shamil terlihat seperti orang asing. Mereka begitu profesional dengan pekerjaan mereka. Setelah pekerjaan selesai, Akhsan mengirim pesan pada Shamil, untuk menyusulnya di suatu tempat. Dalam hitungan menit, Shamil pun menampakan dirinya di tempat pertemuan.
"Aku pikir ini mimpi, bisa lihat kamu di tempat kerjaku." Akhsan langsung memeluk dan melahap habis bibir Shamil.
"Ba, cukup." Shamil berhasil melepaskan pangutan mereka.
"Nggak suka?" Aksan menatap Shamil dengan tatapan penuh damba.
"Bagaimana kalau ada yang lihat?"
"Ya kasih tahu kalau kita itu suami istri, apa susahnya?"
Shamil berdecak kesal. "Enak sekali aba bilang begitu, nggak semudah itu ba."
"Aman amma, di sini tempat Aba menyendiri, makanya aba berani panggil amma kemari."
"Bagus kalau begitu." Shamil menyambar paper bag yang sedari tadi dia tenteng.
"Ini amma masak khusus buat aba. Saat amma tau ada tugas ke kantor aba, amma masak kesukaan aba. Ayam goreng pakai sambel geprek, terus osengan campur." Shamil memberikan kotak makan yang dia bawa.
"Masya Allah, amma benar-benar bidadari yang Allah antarkan untuk aba." Akhsan mencium dahi Shamil.
"Tapi aku nomor dua aba." Shamil menunduk sambil membuka kotak makan miliknya.
"Walau kamu bidadari keduaku, tapi kamu nomor satu dalam segala tempat. Nomor satu di hatiku, detak jantungku, dan pikiranku." Aksan perlahan mendekatkan wajahnya pada Shamil, hingga menghilangkan jarak diantara mereka. Suasana siang semakin memanas dengan pangutan lembut mereka.
"Sudah aba, ayok kita makan sama-sama."
Mereka berdua menikmati makanan yang ada. Akhsan tidak henti-hentinya mandangi wajah Shamil yang begitu mulus.
Andai aku punya mesin waktu, aku ingin hanya memiliki kamu satu-satunya dalam hidupku. Hingga kebahagiaan kita tidak menyakiti siapa-siapa. Batin Akhsan.
"Enak ba?"
"Subhanallah, enak banget amma."
"Aku senang aba suka masakan aku."
"Um ... aba boleh datang tiap pagi ke rumah amma, aba mau sarapan bareng amma."
"Boleh banget, amma malah senang kalau aba mau mampir tiap pagi dan sore buat amma."
"Mulai besok, aba akan datang sarapan ke rumah amma."
"Amma tunggu kedatangan aba." Shamil berusaha tersenyum, walau hatinya mengutuki keinginan Akhsan.
Sial!!! Kenapa harus datang tiap pagi sih! Selain bikin repot, bikin tabunganku bocor! Aku harus protes sama Ayah ini! jerit hati Shamil.
***
Perjanjian awal Zella dan Ranti, dia hanya menjemput dan mengurus Fiqri selama 10 hari, namun sampai sekarang, Zella masih mengurus Fiqri. Beruntung Tifa dan Fiqri sudah mendapat makan siang di sekolah, hal ini meringankan pikiran Zella karena terbatasnya kertas bergambar pahlawan yang menghuni dompetnya. Setelah sampai rumah kedua anak kecil itu asyik bermain. Hingga sore menyapa mereka harus menyudahi keseruan mereka, karena saat matahari tergelincir kearah barat, Ranti datang untuk menjemput Fiqri.
"Sebentar ya mah, aku beresin tas aku," ujar Fiqri saat melihat sosok ibunya memasuki rumah Zella.
"Kamu main dulu aja sama Tifa, mama mau bicara sama tante Zella."
"Oke mama." Fiqri melanjutkan keseruannya bersama Tifa.
Sedang Zella menatap heran pada Ranti, entah angin apa yang membuat adik suaminya ini ingin berbicara 4 mata dengannya.
"Tiap pagi Kak Aksan sarapan di rumah, kak Zella nggak masak?" todong Ranti.
"Masak--"
"Tapi telor, ikan asin, sarden, itu terus kan tiap pagi?" potong Ranti.
"Ya mbak menyesuaikan ke-uangan Ran, bukan nggak mau masakin yang enak, tapi uang yang Kakakmu berikan nggak cukup kalau masakan yang dia mau."
"Makanya kerja dong mbak, jangan ngandelin Kakak ku aja untuk biaya hidup! Dari awal kalian nikah aku selalu saranin mbak buat kerja! Jangan jadiin Kakakku sapi perah!"
"Sapi perah? Kamu lupa kewajiban sebagai seorang suami itu apa saja? Jika kamu lupa, mbak ingatkan. Salah satunya memberi nafkah lahir dan batin. Kalau nggak mau nafkahin anak orang ya jangan Nikah!"
"Pikirin baik-baik! Sebaiknya Kak Zella kerja juga dong! Jangan ngarep sama Kakakku aja!"
"Bukan nggak mau Ranti, tapi Kakakmu itu seperti raja yang harus dilayani dalam segala hal. Aku siap bantu Kakakmu buat cari uang, tapi apa Kakakmu mau bantu aku urus pekerjaan rumah dan jaga anak? Ingat Ran, rumah tangga ini kewajiban bersama, oke sama-sama cari nafkah, apa hal lain kakakmu mau kerjain bersama juga?"
Ranti sangat faham bagaimana Kakaknya yang hanya ingin dilayani Ranti tidak punya jawaban atas pembelaan Zella. "Malas aku debat sama mbak, apa mbak nggak malu nadah uang terus sama suami? Zaman sekarang ini minta sama suami? Memalukan tau!"
"Sejak kapan menerima hak nafkah sebagai seorang istri dipandang sebagai hal memalukan? Hukum dari mana itu?" todong Zella.
Ranti geram, jika membahas hukum, dirinya tentu kalah. Dia tidak tahu apa-apa tentang agama. Walau Zella bukan orang berilmu, tapi dia rajin menuntut ilmu, tentu pengetahuannya lebih luas.
"Kalau kakakmu tidak mampu menafkahi istri dan anaknya, saran mbak dari awal nggak usah nikah!"
"Susah ya bicara sama orang yang sukanya jadi beban!" Ranti segera pergi meninggalkan Zella. "Fiqri cepat! Mama tunggu di mobil!"
Zella faham, kalau bekerja sendiri dan memiliki uang sendiri, akan lebih mudah mendapatkan hal yang diinginkan, tapi dia punya keterbatasan yang membuatnya pasrah menjadi beban suaminya.
Zella siap bekerja, tapi Akhsan siapkah membantunya mengurus anak dan mengurus rumah? Banyak keluarga suami bahkan suami sendiri menuntut istri untuk membantunya mencari uang. Tapi sangat sedikit suami yang mau membantu pekerjaan di rumah. 1 sisi ingin dibantu, namun pada sisi yang lain tidak mau membantu bahkan tidak mau tau.
Di sisi lain.
Selesai bekerja, Shamil mengirim pesan pada Akhsan kalau dia lembur, namun dia hanya ingin pergi ke rumah orang tuanya untuk protes. Akhsan terpaksa pulang lebih awal, karena bidadari keduanya tidak ada di istana mereka.
"Shamil?" ibu Shamil terkejut dengan kedatangan tiba-tiba putrinya.
"Mana Ayah? Aku mau protes sama Ayah!" ucap Shamil kesal.
"Ada apa? Kamu nggak sabar banget Sham." sahut laki-laki paruh baya yang tengah menuruni anak tangga.
"Ayah tanggung jawab! Sekarang Akhsan mau sarapan tiap pagi di rumah aku! Kasih uang cuma 3 juta pula!"
"Sabar Shamil, nggak apa-apa kamu berjuang keras dulu untuk dekat dengan Aksan, pada waktunya kamu akan memanen buah kesabaran kamu," ucap Ayah Shamil.
"Ayahmu benar Sham, kamu pikir kamu bisa duduk di posisimu sekarang karena hal instan? Semua ini strategi Ayahmu dulu sebab itu kamu mudah dapat pekerjaan di perusahaan besar."
Shamil berusaha tenang, apa yang diucapkan kedua orang tuanya benar adanya. Dirinya bisa di posisi saat ini berkat strategi dan kerjasamanya dengan sang Ayah.
"Untuk memanjakan perut atas Akhsan, Ayah akan bantu. Tugas kamu buat Akhsan bertekuk lutut padamu."
"Dulu, orang kampung Nadi nggak ada yang mau melepas lahan mereka untuk tambang, berkat ide Ayahmu yang menikahkanmu dengan Nadi, semua lebih mudah bukan?" ucap ibu Shamil.
"Sebenarnya Ayah ingin menikahkan Shamil dengan juragan Taufik, tapi ... sulit sekali mendekati laki-laki itu, yang mudah malah menundukan hati anak buahnya."
"Tapi dengan menikahi Nadi, warga desa malah lebih tergoda Yah, andai sama juragan muda itu, mereka akan sulit dihasut untuk menjual tanah mereka."
"Ingat kesuksesan itu Shamil, jika kamu bisa bersabar menghadapi Akhsan seperti kamu menghadapi Nadi, maka kamu akan mendapat apa yang kamu mau, seperti Ayah, Ayah hanya ingin posisi untukmu di salah satu perusahaan besar mereka, bukankah sudah terwujud?"
"Iya Ayah." Shamil berusaha menenangkan dirinya. "Malam ini aku nginep ya, aku malas pulang, jujur aku ga suka sama Akhsan. Dengan berjarak gini bagus juga kan? Sesekali menyiksa Akhsan dengan rasa rindu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Titik Martiyah
oohhh....ternyata ada udang dibalik bakwan..
.
2024-12-09
0
Saadah Rangkuti
kurang paham alurnya thor...
2025-03-29
0
Soraya
miris bahasanya kental dgn islamic tpi menyakiti hati yang lain
2024-08-07
1