Zella terkejut melihat Aksan pulang lebih cepat dari biasanya, seingatnya suaminya selalu ikut pengajian setelah pulang kerja, dan saat pulang hampir tengah malam. Tanpa dia tau, kalau Akhsan selama ini hanya memakai alasan itu untuk kesenangannya bersama Shamil.
"Bagaimana pekerjaan Abah?" Zella berusaha menyambut suaminya dengan senyuman termanisnya.
Akhsan tidak peduli, kekesalannya tidak bisa menghabiskan waktu bersama Shamil membuatnya pikirannya kacau dan perasannya sangat buruk. Dia melengos begitu saja.
Zella tidak menyerah, dia mengerti penatnya mencari nafkah berimbas pada mood yang susah ditebak. "Abah tumben pulang awal, nggak ngaji?"
"Capek, jadi nggak bisa hadir." Akhsan terus berlalu begitu saja sambil melepas satu per satu kancing kemeja kerjanya.
"Mau mama pijit nggak bah?" tawar Zella.
"Aku capek, aku mau sendiri, aku mau istirahat! Apa semua jawaban yang ku berikan kurang jelas?!"
Zella terperanjat mendengar nada bicara Akhsan, entah mengapa dia merasa komunikasinya dengan Akhsan terasa dingin, rasanya ada sesuatu yang menahannya hingga dia tidak bisa berbasa-basi dengan suaminya.
"Abah!" Tifa kegirangan melihat ayahnya pulang saat matanya masih terbuka, akhir-akhir ini Ayahnya selalu pulang saat dia sudah tidur. Tifa berlari kearah Akhsan dan melompat ke gendongan laki-laki itu.
"Tifa, turun ya sayang Abah capek banget! Abah mau istirahat." Perlahan Akhsan menurunkan putrinya dari gendongannya.
Hal ini seketika memudarkan senyum bahagia yang menghiasi wajah Tifa. Dari raut wajahnya sangat jelas anak itu terluka dengan sikap Ayahnya. Dia hanya ingin perhatian dan sedikit waktu sang Ayah untuknya, bukan sebuah benda mewah yang sulit untuk dikabulkan. Namun Ayahnya sangat jelas tidak peduli padanya. Tifa mematung mendapat perlakuan seperti itu dari sang Ayah.
"Tifa, Abah baru pulang kerja, abah capek. Tifa main sama mama aja ya ...." Zella sangat memahami kekecewaan dan kehancuran putrinya. Dirinya dan putrinya menginginkan hal yang sama, yaitu kebersamaan dengan sosok yang sama pula, lagi-lagi hal yang sama juga dirasa, yaitu kekecewaan.
Akhsan tidak peduli dengan buliran bening yang terlepas dari pelupuk mata putrinya, dia terus berlalu menuju kamar, dan menghilang di balik pintu kamar. Cinta pertama Akhsan yang begitu membara di hatinya, membuatnya mengabaikan gadis kecil itu.
"Aku kangen main sama abah," ringis Tifa. Sepasang mata yang penuh air mata itu terus memandangi pintu di mana Ayahnya menghilang.
"Iya, mama ngerti, tapi saat ini abah kelelahan bekerja. Beri Abah waktu untuk istirahat ya ...." Zella mengusap air mata putrinya.
"Kapan? Abah tidak pernah ada buat kita."
Ya Rabb, kata-kata apa lagi yang harus aku katakan untuk menguatkan putriku? Benar katanya, Akhsan tidak pernah ada waktu untuk kami. Zella hanya bisa menjerit dalam hati.
"Berapa sih waktu abah sehari? Apa mama bisa bayar ke kantor abah agar mereka berikan abah libur sehari aja untuk kita?"
Zella semakin membisu, protes anak-anak yang ingin membeli waktu ayah mereka juga diucapkan Tifa. Zella sangat faham setiap detik waktu bersama anak itu sangat penting.
"Sabtu dan minggu saja Abah nggak ada di rumah. Kapan Abah ada buat aku ...." Tangis Tifa kian pecah.
Hati Zella meringis melihat putrinya seperti ini, apa yang dia bisa? Dia ikut menangis sambil memeluk putrinya.
"Kita harus bantu abah dengan memahami pekerjaan dan kesibukan abah, semoga nanti abah bisa libur dan seharian penuh sama kita." Zella terus berusaha menghibur putrinya.
***
Akhsan keluar dari kamar saat Zella mengajaknya makan malam, Akhsan makan malam bersama anak istrinya, perhatiannya selalu tertuju pada benda pipih persegi panjang yang selalu dia usap. Kebersamaan ini momen langka bagi Zella, sangat jarang Akhsan ada di rumah saat makan malam, tapi keadaan yang terjadi di depan matanya, Zella merasa Akhsan tidak bersamanya, hanya raganya yang ada di rumah ini.
"Kerjaannya penting banget ya bah?" ucap Zella lembut.
"Ini nih bikin aku malas di rumah! Kamu tu bawel! Penting atau tidak kerjaan aku nggak ada urusan sama kamu!" Akhsan berhenti makan dan meninggalkan meja makan.
Hati Zella hancur berkeping-keping melihat Akhsan seperti ini, entah mengapa dia merasa kehilangan sosok suami yang selalu dia banggakan.
"Mama ...."
Panggilan lembut itu menyadarkan Zella. "Iya sayang ...." Zella menoleh kearah putrinya dan memberi senyuman termanisnya.
"Abah kenapa? Kok Abah marah sama mama?"
"Abah cuma capek sayang, yuk kita lanjut makan, habis makan lanjut belajar lagi ya." Zella mengusap sisi kepala putrinya.
"Istirahat dari sore sampai malam masih capek juga?" Tifa merasa jawaban sang ibu mulai tidak masuk akal.
"Kan Abah capek, kerja setiap hari sampai malam, baru kali ini Abah bisa istirahat di rumah."
Tifa membuang napasnya dan kembali melanjutkan makan malamnya.
Sedang di kamar, Akhsan sengaja mengunci pintu dari dalam, agar Zella tidak masuk begitu saja. Dia segera menghubungi Shamil via video call.
"Selamat malam Amma," sapa Akhsan, senyuman terukir di wajahnya kala melihat wajah cantik Shamil ada di layar handphonenya.
"Malam juga aba, aba sudah makan?"
"Nggak bisa makan, lidah aba terbiasa masakan Amma, saat tangan yang beda menyuguhkan makanan, aba tidak selera."
"Maafin amma, karena kerjaan amma yang padat, kita nggak bisa sama-sama," sesal Shamil.
"Aba mengerti, makasih atas segala hal yang amma beri buat aba selama ini."
"Aku yang harusnya makasih, aba berbesar hati menjadikanku bidadari kedua di kehidupan aba."
"Shut ...." Akhsan menaruh jari telunjuknya di depan bibir. "Amma kedua hanya pada status, tapi dalam segala hal amma pertama dan satu-satunya."
"Aba ...." ucap Shamil manja
"Aba kangen banget sama amma."
"Amma juga kangen sama aba, tapi saat ini amma pulang ke rumah orang tua amma, mau ke kontrakan kejauhan, amma capek. Jadi nginep di sini."
"Iya amma, jaga kesehatan di sana ya."
Bisa melihat wajah Shamil walau hanya dari layar handphonenya sudah membuat Akhsan bahagia. Sehingga kehidupan lain selain Shamil terasa hambar dan tidak menarik baginya.
"Amma, aba benar-benar tidak kuat menjalani kehidupan aba tanpa amma. Aba ingin selalu dekat amma, bolehkan aba jujur dan melepaskan hubungan lama aba?"
Shamil terdiam, bukan ini yang dia inginkan. Rasanya ini juga bukan keputusan yang tepat jika membuka hubungan mereka secepat ini?
"Amma ...."
Panggilan dari Akhsan menyadarkan Shamil.
"Amma juga tersiksa tanpa aba, tapi pernikahan bukan hanya ikatan 2 orang, amma takut aba akan meninggalkan amma jika keluarga aba tidak menerima amma."
"Walau mereka menolak amma, aba akan tetap memilih amma."
"Kita jalani dulu ba ikatan rahasia ini, kalau memang tidak bisa ditutupi lagi, baru kita buka. Selama masih bisa kita tutupi, sebaiknya kita jalani seperti ini, yang penting aba selalu ada buat amma."
"Aba kangen banget sama amma," sepasang mata Akhsan terlihat sangat putus asa.
"Amma juga kangen." Shamil meletakan handphonenya di suatu tempat, lalu dia membua kedua pahanya agar terlihat jelas di layar. "Apalagi celah ini, sangat kengen sama sentuhan aba."
"Amma, aba makin nggak waras ini," keluh Akhsan.
"Kita obati rasa rindu kita bah secara halu ba, seperti dulu." Shamil membimbing Akhsan berfantasi seolah mereka bersama. Hingga dengan fantasi mereka keduanya sampai pada rasa yang mereka tuju.
Setelah panggilan video berakhir, Akhsan merasa puas, dia membersihkan cairan itu, dan berjalan menuju kamar mandi. Sepanjang waktu mandinya dia selalu tersenyum membayangkan Shamil. Dalam setiap detak jantung Akhsan, hanya Shamil, selain Shamil tak ada yang membuatnya bersemangat.
***
Hari demi hari berlalu begitu saja. Zella berusaha tegar walau pertahanan batinnya mulai rapuh. Ada atau tidaknya Akhsan di depan matanya hal itu sama saja. Akhsan ada di rumah, tapi dia merasa Akhsan begitu jauh. Kemana ia mengadu rasa sakit yang mendera hatinya saat ini? Zaman sekarang salah sedikit menyandarkan cerita, malah jadi bomerang bagi diri sendiri.
Hanya mengadu pada sang penguasa alam pada setiap do'a dan munajatnya. Berharap kebahagiaan kembali bisa dia rasa. Zella terus berusaha menguatkan fisik dan mentalnya. Ada bidadari titipan Tuhan yang harus dia bahagiakan.
"Mama, jangan melamun bawa motornya, bahaya buat kita," tegur Tifa yang tengah dibonceng Zella.
"Mama nggak melamun, mama cuma sedang berpikir, nanti malam masak apa, biar Tifa semangat!" kilah Zella.
"Mama masak apa saja Tifa suka, bagi Tifa yang penting mama ada di samping Tifa."
Zella sampai pada tujuannya mengantar putrinya ke Sekolah, dia memberi semangat pada putrinya. Senyumannya masih menghiasi wajahnya yang terus melepas putrinya. Seketika perhatian Zella tersita pada sebuah mobil yang terparkir tidak jauh darinya. Terlihat seorang anak laki-laki yang familiar turun dari mobil itu sambil membanting pintu mobil begitu keras.
"Bukannya itu putranya Nadi, jika itu anaknya Nadi, tentu pengemudi mobil itu ...." Zella tersenyum, dia menebak dalam mobil itu adalah Shamil, teman masa kecilnya di desa neneknya.
Zella ingin mendekati mobil itu, namun mobil itu perlahan meninggalkan area sekolah. Zella tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menemui teman masa kecilnya. Dia segera menuju motornya dan mengikuti mobil itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Maria Magdalena Indarti
kasian Zella
2025-03-09
0
Rusiani Ijaq
wahhhhhhh ternyata 2 manusia tak berakhlak itu sdh berzina cukup lama dan semoga ketika azab itu datang mereka sdh siap menerima
2024-11-01
1
Hanipah Fitri
Akhsan nanti kamu nyesal deh, anak istrimu dicuekin, yg dipikirkan hanya istri mudamu
2023-12-08
0