Alea dan Zella melepaskan pelukan mereka. Alea menatap wajah Zella dengan tatapan yang mendalam, jujur dia masih merasa bersalah karena meminta pertolongan pada orang yang punya masalah lebih besar dari masalahnya.
"Ayo selesaikan persiapan kita, waktu terus berjalan, setidaknya sebelum aku jemput Tifa, semua jualan kita sudah siap. Oh iya, ini aku tambah satu menu sambal, sambal matah!" Zella mengukir senyuman di wajahnya.
"Kamu kenal sama istri muda Akhsan?"
"Dia teman masa kecil aku, setau aku dia pernah satu kantor sama kak Akhsan, kemungkinan dia cinta pertama kak Akhsan. Sebenarnya kami nggak dekat, tapi pernah kenal. Percuma juga aku kasih tau siapa dia, kamu nggak akan tau, karena sebelumnya dia tidak tinggal di kota ini, terus ... persahabatan kita juga bermula saat aku sudah menikah dan mulai ikut pengajian ustadz Fazar."
"Kita adalah orang asing yang tiba-tiba didekatkan oleh rasa." Alea terbayang awal pertemanannya dengan Zella. Zella yang tidak kepo dengan kehidupannya, begitu juga dirinya, dia tidak ingin tahu banyak bagaimana kehidupan Zella, dia hanya tahu Zella seorang istri dari salah satu anggota pengajian yang bernama Akhsan, dan juga ibu dari seorang anak cantik yang bernama Latifa.
Keduanya menjalin pertemanan dengan kebahagiaan dan kenyamanan mereka berdua. Memberi batasan pada beberapa bagian kehidupan, namun siap saling menguatkan jika mengalami masalah. Bagi Zella dan Alea, berteman tidak hanya dengan kebaikan mereka, tapi menerima segala kekurangan. Ide dari teman tidak semuanya harus dipakai, namun memberikan ide membuat pemikiran teman terbuka oleh ide lainnya yang tiba-tiba muncul karena pendapat teman.
Seperti ide jualan saat ini, dulu Alea hanya cerita ingin punya usaha kaki lima, tapi bingung dengan menu apa yang akan dijual, lalu Zella memberikan ide dan resep menu yang mereka jual saat ini.
Alea menarik napasnya dalam, berat baginya menanyakan hal ini, namun lebih berat jika menahannya. "Jadi ... apa langkah kamu setelah ini?"
"Aku ingin mendaftarkan perceraian kami." Zella menatap kosong kearah lain. Bagaimana dia mengurus perceraian sedang dirinya tidak memiliki uang. Memang uang bukan segalanya, tapi segalanya selalu pakai uang. Zella merasa bola lampu halu di kepalanya menyala.
"Kalau kamu nggak keberatan, aku siap jalanin usaha ini, hasilnya buat aku buka sidang cerai, seterusnya buat aku sama Tifa nyambung hidup." Zella begitu semangat.
"Tapi pembagian hasilnya kecil Zell, kamu tahu sendiri buka sidang cerai gimana, memang nominalnya kecil tapi bayar beberapa tahap. Terus ... apa hasilnya cukup buat biaya hidup kalian?"
"Memang ini keinginanku yang terburu-buru. Jika Tuhan mengubah hatiku, setidaknya ada waktu, kan kumpulin uang perlu waktu, dan aku sudah punya rencana bagaimana menjalani kehidupan selanjutnya tanpa Akhsan."
"Kamu yakin mau cerai Zell?"
"Kalau kamu di posisi aku, kamu sanggup bertahan? Sedang yang terjadi di depan matamu sangat jelas kalau suamimu tidak bahagia bersamamu?"
"Setidaknya kamu cerita dulu sama mamamu, biar beliau ikut memberi masukan," usul Alea.
"Entahlah Al, aku takut cerita ini ke mama, selama jadi anaknya, aku hanya bisa membuatnya menangis dengan segala masalahku, entah kapan aku bisa membuatnya tersenyum dan bahagia. Kamu tahu? Bagi mama Akhsan laki-laki yang nyaris sempurna, entah bagaimana hancurnya mama jika tahu hal ini, aku butuh waktu untuk berbagi hal ini ke mama. Jika aku menemukan waktu yang tepat, aku akan cerita."
Persiapan mereka selesai, tidak terasa alarm di handphone Zella sudah berteriak, mengingatkan sang pemilik untuk segera menjemput Tifa. Saat Zella masih di lapak, belum ada pengunjung yang datang. Namun saat Zella pergi, sebuah mobil dengan bak terbuka menepi di dekat lapak Alea.
"Wah, sekarang yang jaga neng cantik, abang ganteng yang biasa mana?" sapa pengunjung itu ramah.
"Yang biasa berhenti, mas. Mungkin dia ada usaha yang lebih menjanjikan dari usaha ini. Tapi ... walau beda tangan yang sajikan, insyha Allah rasanya sama, tapi bisa juga lebih enak dari biasanya, karena yang buat hari ini yang kasih resep jualan ini ke saya," ujar Alea begitu yakin.
"Ya sudah, saya pesen pisang gepreknya 10, pisang gapitnya 1 yang klasik, 2 yang coklat-keju. Semuanya dibungkus."
"Pak Rahman ya?" tebak Alea.
"Kok tau?" ujar laki-laki itu.
"Owh cerita pegawai sebelumnya, kata dia ada pelanggan yang selalu beli banyak namanya Pak Rahman."
"Sudah dianggap langganan ya? Berarti dapat bonus dong?" ucap laki-laki itu tertawa lepas.
"Bonus mah kapan-kapan ya Pak, tapi hari ini ada penawaran buat Bapak, selama ini kan cuma ada sambal geprek buat pelengkap pisang gepreknya, sebenarnya udah lama di saranin buat tambah varian sambal, tapi selalu nggak keburu. Nah ... hari ini yang kasih saran yang buatin tambahan sambal." Alea mulai menyalakan panggangan untuk memasak pisang gapit.
"Sambal barunya apa?"
"Sambal matah Pak, enak! Pedes! Seger! Deh."
Laki-laki itu membuang pandangan ke arah lain. Rasanya melihat kembali kenangan indah masa lalu. "Kalau di desa saya dulu, sebutnya pisang janda-janda. Terus dimakannya pakai sambal terasi, tapi seseorang sering membuatnya untuk saya dengan pelengkap sambal matah."
"Wah ... ternyata ada cerita manis di balik pedesnya sambal," komentar Alea.
"Bisa siapin pisang janda-jandanya 1 buat saya nikmati di sini dengan sambal matah?" Laki-laki itu merasa ada yang salah dengan perkataannya. "Maksud saya pisang geprek."
"Bisa Pak!" Tangan Alea segera menyalakan api penggorengan untuk menggoreng sesi 2 pisang geprek.
"Mau sebutnya geprek atau janda-janda mah santai aja Pak, teman saya juga sebutnya pisang janda-janda, tapi karena setelah penggorengan pertama tu pisang di geprek sampai pipih, makanya saya ganti namanya jadi pisang geprek."
"Saya harus culik teman kamu ini, buat jadi koki khusus makanan kesukaan saya."
"Jangan lah Pak ... kalau Bapak ada yang masakin, nanti Bapak nggak beli lagi sama saya."
"Oh iya sampai lupa, pesen Es jeruk satu, haus saya terlalu banyak ngoceh."
"Siap Pak ...." Alea meninggalkan gorengan dan panggangannya untuk membuat minuman yang di pesan pelanggan pertamanya. Setelah mengantar minuman, Alea kembali pada tugas semula. Sesekali dia menatap laki-laki itu sesaat.
Gila! Pak Rahman ku kira tuir! Ternyata dia mateng! Aduh ... orangnya asyik pula jadi teman ngobrol.
Alea memaksa dirinya untuk kembali pada kenyataan, sebelum pisang yang dipanggang diatas teflon berubah menjadi arang. Tidak berselang lama, pisang yang berenang dalam wajan penggorengan juga sudah saatnya diangkat. Alea menyajikan pisang itu lebih dulu untuk dinikmati pelanggannya. Lalu kembali menyiapkan pesanan yang dibungkus. Sedang laki-laki itu terlihat sangat menikmati pisang geprek di depannya.
"Kalau pisang gapit yang klasik buat siapa Pak?" Alea kembali membuka perbincangan.
"Buat ibu saya, sebelum negara api menyerang, wanita yang special bagi suka dia suka masakin ini buat saya." Laki-laki itu mengisyarat pada pisang yang dia makan. "Dia juga suka bikinin ibu saya pisang gapit, dan ibu sangat suka. Tapi yang orisinil, kalau yang dikasih kental manis, coklat atau keju, ibu saya nggak suka. Dia suka yang disiram dengan gula merah aja, katanya mirip kolak, tapi ada rasa aroma gosong enak gitu."
"Sebenarnya saya ingin tahu lebih banyak, tapi terlalu banyak tahu kasian tempe ntar nggak laku."
Laki-laki itu tersenyum mendengar perkataan Alea. Dia kembali menyocol pisang itu ke sambal matah sebagai pelengkap. Jujur, setiap menggigit satu pisang, rasanya dia kembali ke masa lalu yang tidak pernah bisa dia lupakan.
"Assalamu'alaikum, Aunty Lele ...."
Teriakan seorang anak kecil menyita perhatian Rahman dan Alea. Rahman tertegun melihat sosok yang datang bersama anak kecil, begitu juga sosok itu, dia membeku ditempatnya saat sepasang matanya beradu tatap dengan laki-laki itu.
"Wa'alaikum salam. Tifa .... panggilannya nggak cocok buat aunty, kan aunty nggak ada kumis, masa dipanggil aunty lele." protes Alea.
"Eh ada kemah! Aku mau ke sana!" Tifa berlari menuju kemah kecil yang memang dipersiapkan untuknya.
Rahman dan Zella keduanya masih tenggelam oleh tatapan mereka, rasanya banyak hal yang berputar-putar di sekitar mereka.
"Untung kamu datang Zel, aku mulai nyerah berdiri di sini."
Zella masih larut dalam kenanganya, hal ini tentu membuat Alea menatap keduanya dengan tatapan curiga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Maria Magdalena Indarti
wah..... masa lalu zella
2025-03-09
0
Hanipah Fitri
wau ... zella bertemu dgn org masa lalu nya
2023-12-08
0
Besse Jemma
semoga rahman jodoh zella
2023-10-04
0