Gavin memasuki kamarnya dan mandi air dingin. Ia harus meredakan hawa nafsunya.
Namun Gavin juga masih harus dihadapkan dengan kenyataan pahit. Sudah beberapa minggu dia menikah dan selama itu dia tidak pernah lagi bermain wanita.
Ketika gairahnya memuncak, justru Siera selalu menolaknya. Ia sangat kecewa.
Sementara Siera merasa bingung dengan ulah Gavin. Ia berdiam diri begitu lama di depan cermin. Ia melihat leher jenjangnya yang meninggalkan jejak keunguan.
Kemudian ia beralih duduk. Tiba tiba ia merasa bersalah. "Apa mungkin Gavin kesal karena aku menolaknya." kata Siera bergumam.
"Tapi aku juga merasa takut." lanjutnya.
Ia meringkuk di atas kasur.
Dalam seharian itu kedua manusia itu tidak saling menyapa. Keduanya berdiam diri di kamar masing masing dengan pikirannya sendiri.
Ketika hari mulai sore. Raut wajah Gavin berubah panik.
"Siera." panggil Gavin.
Wanita itu masih tertidur di kasurnya. Gavin susah payah membangunkannya.
"hum." Siera bergumam karena ia masih mengantuk.
Gavin mendudukkan Siera agar wanita itu segera terjaga.
"Aku masih ngantuk Gavin. Ingin tidur lagi." kata Siera dengan suara serak. Ia hendak tidur lagi. Tapi bahu Siera dicekal Gavin dengan erat.
"Ini bukan saatnya buat tidur Siera, dengarkan aku!" kata Gavin. "Papahku sudah dalam perjalanan kemari. Kau harus segera memberesi kamarmu dan pindah ke kamarku. Sekarang!" kata Gavin.
"Apa!" seketika rasa kantuk itu menghilang. Mata Siera membeliak. "Kenapa kau tak bilang dari tadi." kata Siera menyalahkan Gavin.
"Sudahlah, bukan saatnya kau berbicara. Cepat beresi barangmu." kata Gavin.
Ia berlari mengambil semua barang milik Siera dan memindahkan ke kamarnya. Dalam kurun waktu 15 menit semua barang sudah harus selesai.
Baik Gavin maupun Siera terengah engah karena harus berlarian.
Ting tong
Terdengar bel di pintu utama di tekan. Seketika Gavin dan Siera saling berpandangan.
"Itu papah!" kata Gavin.
"Gavin, aku mau ganti baju dulu. Penuh keringat." kata Siera.
"Hum cepatlah."
Siera pergi menuju walk in closet dan mengambil pakaian ganti. Setelah beberapa saat ia pun keluar.
"Ayo." kata Siera.
Gavin dan Siera segera keluar tidak lupa mereka menggandeng tangan satu sama lain dan terlihat sangat mesra.
Handoyo merasa puas melihat keakuran mereka. Terakhir kali, anak lelakinya itu menolak dengan tegas akan pernikahannya dengan Siera. Tetapi ia sekarang merasa senang ketika melihat sendiri bagaimana sikap Gavin sekarang.
"Papah." sapa Siera dengan senyuman manis. Namun berbeda dengan Gavin yang selalu menampilkan ekspresi datar.
Tidak ada ekspresi ramah sekalipun yang ia tunjukkan. Terakhir kali Gavin di paksa menikah oleh pria tua itu sehingga ia merasa jengkel sampai sekarang.
Tampak Handoyo tersenyum membalas sapaan Siera.
"Duduklah!" perintah Handoyo.
Gavin dan Siera segera duduk di sofa yang bersebrangan dengan Handoyo.
Siera lekas memerintahkan pelayan untuk menyeduhkan teh dan beberapa camilan.
"Papah dengar dari tuan Anggoro jika kamu sakit. Jadi papah segera datang kemari setelah pulang dari perjalanan bisnis." kata Handoyo memulai percakapan.
"Itu sudah tiga hari yang lalu. Papah tidak perlu cemas. Gavin merawatku dengan baik." kata Siera menyanjung suaminya.
Gavin melirik dengan kesal.
Handoyo melirik putranya yang tampak dingin lalu menghela nafas. "Baguslah. Ku kira kalian tidak akan akur dengan penolakan Gavin terakhir kali." kata Handoyo.
"Papah tidak perlu khawatir. Siapa yang berani menolak Siera akan berakhir mengenaskan." Siera menekan katanya menyindir Gavin lalu mengeratkan tangannya menggandeng lengan Gavin.
Gavin merasa muak dengan ucapan Siera. Tapi jika dipikir itu memang benar adanya.
Semua yang dilakukan Gavin pada setiap wanita tidak pernah berjalan mulus. Bahkan Siera selalu memergokinya dan berakhir mengenaskan. Yaitu Gavin harus menekan hasratnya dengan mandi air dingin seperti yang dilakukan beberapa jam lalu.
Handoyo tampak puas.
Pria tua itu menyesap tehnya dan melirik sekitar keliling rumah itu.
"Kalian membeli rumah baru? Papah baru tau dari kepala pelayan." kata Handoyo seraya meletakkan gelas tehnya.
"Iya pah." jawab Siera.
Setiap Handoyo yang berkata Siera yang menyahut sementara Gavin merasa enggan untuk menjawab. Tetapi Handoyo tidak perduli. Siera adalah anak yang baik, tentu saja Handoyo lebih senang dengan menikahkan Gavin dengan Siera dari pada Gavin terus bermain wanita.
"Haha, rumah yang bagus." Handoyo memuji.
"Itu di pilih sama Gavin sendiri. Dia yang membelikan rumah ini untukku, benarkan Gavin." kata Siera. Wanita itu melirik suaminya dan menoelnya pelan.
"Hum." sahut Gavin berdehem.
"Bagus, bagus. Papah merasa lega kalau begitu. Kamu anak yang baik, sudah pasti papah percaya sama kamu." kata Handoyo memuji menantunya.
Siera tersenyum penuh kemenangan.
"Karena sudah melihat kalian, papah merasa harus segera pulang. Dan kamu Gavin! Kamu harus menjaga Siera dengan baik. Dia anak yang baik." kata Handoyo lalu pria itu beranjak dari duduknya.
Siera segera beranjak mengikuti Handoyo hingga keluar rumahm begitupun dengan Gavin yang mengikutinya dari belakang.
Handoyo masuk ke dalam mobil. Sang sopir segera melajukan mobil meninggalkan kompleks perumahan Lake Garden wood.
Siera bernafa lega. Lalu masuk setelah badan mobil tak terlihat. Ia tak perdulikan Gavin yang masih berdiri di sana.
Tubuhnya terasa lengket akibat memindahkan barang barangnya. Ia pun bergegas mandi. Ia memasuki kamar sebelumnya namun suara Gavin membuat wanita itu terhenti memasuki kamarnya.
"Kamu lupa sama kamarmu. Kau sudah memindahkannya ke kamar ini." kata Gavin.
Seketika Siera mendelik seraya menatap Gavin. Gavin tersenyum lebar dan berdiri di depan pintu kamarnya sendiri dengan satu tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana.
"Aku mau balik lagi ke kamar ini." kata Siera.
"Eh, tidak boleh. Bagaimana jika ayah dan ibumu datang lagi dan memergoki kita beda kamar. Apa yang mau kau jelaskan kepada mereka." Ujar Gavin seraya berjalan mengarah ke kamar Siera di mana Siera yang masih bertahan di sana.
Seketika Siera langsung ditarik tangannya menuju kamar Gavin.
"Gavin...Ih lepasin." kata Siera meronta.
Sesampainya di kamar Gavin barulah pria itu melepaskan tangannya.
"Aku lepas." kata Gavin seraya mengangkat tangannya.
Siera langsung melipat tangannya di depan perutnya. Ia kemudian duduk di tepi ranjang dan berpikir.
"Kau benar. Kemarin saat papah dan mamah datang kau tidak berada di rumah. Tapi kesempatan tidak datang kedua kali. Mamah dan papah cepat atau lambat akan tau jika kita beda kamar." kata Siera mengangguk.
Gavin bernafas lega. Akhirnya Siera setuju. "Dan saat itu aku juga tidak bisa menjelaskan apa apa. Oke, aku akan tidur di sini." kata Siera.
"Pilihan yang bagus." Gavin memuji.
Siera segera beranjak dari duduknya. "Saatnya mandi." kata Siera.
Wanita itu segera memasuki kamar yang bersebelahan dengan walk in closet.
Sementara Gavin keluar dan menuju dapur.
"Tuan, anda kesini mau apa? Biar saya saja tuan." kata Wati begitu melihat Gavin yang berada di dapur.
"Bik, kemarin Siera yang membuat kue?" tanya Gavin. Yang justru mengalihkan.
"Eh, iya tuan. Nyonya sendiri yang memasak. Bahkan dia kemarin bermandikan tepung sampai pipinya putih." penjelasan Wati.
Gavin mengangguk. "Apa masih ada sisa kuenya?" tanya Gavin.
"Itu...sudah kami makan tuan. Nyonya bilang tuan sudah tidak mau lagi karena tuan membuangnya." kata Wati menundukkan kepala.
Gavin menatap tajam ke arah Wati. Kemudian mengerutkan keningnya.
"Kau masih ingat cara pembuatannya?" seketika Wati tertegun.
"Masih tuan." kata Wati.
"Bantu aku membuat kue yang seperti Siera buat." kata Gavin membuat Wati semakin tercengang.
"ini..."
"Sudah, cepat siapkan." kata Gavin meninggikan suaranya.
Wati pun bergegas menyiapkan bahan kue. Sementara itu Siera berendam di kamar mandi milik Gavin.
Ia ingin menenangkan dirinya untuk berendam sesaat di dalam kamar itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments