Elang Al-Fatih
di bawah kaki gunung yang menjulang tinggi, sebuah desa yang jauh dari perkotaan ada di sekitar gunung itu, gunung yang dinamakan gunung Sangia. Banyak orang yang mengatakan kalau gunung itu memiliki pemilik, makhluk gaib yang kata orang-orang dan mereka mempercayai itu.
Bukankah hal seperti itu masih kental di dalam kehidupan masyarakat pedalaman. Namun bukan berarti kita tidak percaya, sebab selain manusia yang Maha Kuasa juga menciptakan makhluk gaib yang bernama Jin.
Desa kawah gunung yang penduduknya lumayan banyak, saling bersosialisasi satu dengan penduduk desa setempat. Penghasilan mereka adalah berkebun dan ketika panen nanti maka mereka akan membawanya ke kota.
"babu" sebuah keranjang yang biasa orang pakai untuk tempat panen, mendarat di depan Elang.
"cih, babu babu....kenapa tidak babi saja sekalian" Elang mencebik, ia yang sedang memakai sepatu lumpurnya, memberenggut karena tingkah seorang laki-laki yang berdiri di ambang pintu.
"ooh mau dipanggil babi, okelah...mulai sekarang nama kamu adalah babi" senyuman ejekan terbit di bibir laki-laki itu.
Namanya Ibrahim dan dia sering dipanggil Baim, kakak kedua dari Elang Al-Fatih sementara untuk kakak sulung mereka adalah Sulaiman atau keduanya memanggil dengan mas Iman.
"mas Baim masih marah perihal Ainun...?" Elang mengambil keranjang itu dan mengalungkan di badannya.
"untuk apa marah, lagipula aku siapanya dia" Baim ikut mengambil keranjang dan juga parang.
"yaaa karena si Ai nembak aku"
"mati dong kamu"
"ish...orang serius juga" Elang mencebik.
"udah ah tidak usah bermimpi mendapatkan anak kepala desa yang statusnya jauh tinggi di level kita. Kalau jatuh, sakit tau lebih lebih kalau patah tulang, air mata sama ingus keluar bersamaan"
Elang tertawa kecil, kakak keduanya itu memang suka berbicara absurd, berbeda dengan kakak pertama mereka yang bawaannya terlihat dingin.
"samlekoooom epribadeh" suara seseorang membuat kepala keduanya untuk menoleh.
"wa alaikumsalam" Baim dan Elang menjawab.
"mau ke kebun ya, saya ikut ya mumpung tidak ada pekerjaan di rumah. Emak sama ayah lagi ke kota, jadi aku nganggur deh"
"oh bagus bagus, kebetulan lah kamu datang. Nih ambil ini dan ini" Baim memberikan keranjang dan juga parang serta rantang yang berisi bekal untuk mereka. "bantu metik hasil kebun. Nanti tak kasih gula-gula dua biji"
Bibir Malik mengerucut dan mencebik, Elang terkekeh kemudian merangkul bahu sahabatnya itu. Dialah Malik Ali Imran, sahabat satu-satunya Elang Al-Fatih.
"Bu kami berangkat ya" teriak Baim juga Elang.
"hati-hati, balik sebelum waktu zuhur tiba" suara ibu mereka menyahut di dapur.
"iya bu"
Ketiganya meninggalkan rumah yang sederhana, berdinding papan dan beratapkan seng. Mereka bertemu dengan beberapa pemuda lainnya yang juga akan memanen hasil perkebunan mereka. Selain merantau, anak laki-laki di desa itu memilih membantu orang tua mereka. namun meskipun begitu sudah banyak dari mereka yang memilih mengadu nasib di kota dengan alasan mungkin saja hidup akan berubah nantinya.
"mas Iman kok nggak ikut...?" Malik bertanya, sinar matahari mulai sedikit panas.
"mas Iman ke kota antar mbak Mawar belanja" Baim yang menjawab.
Jalan setapak menjadi tempat mereka untuk melangkah karena tidak ada jalan yang bagus selain itu. Siapa yang akan mengaspal jalan yang ada di pegunungan, apalagi begitu jauh dengan kota.
"mereka sudah mau nikah ya, beruntunglah mas Iman mendapatkan mbak Mawar, sudah cantik baik pula hatinya. Moga-moga jodohku nanti bidadari dari kayangan"
"yang turun dari langit dan masuk ke dalam got karena selendangnya nyangkut"
"terus jadi bidadari dari got deh"
"hahaha"
Elang dan Baim menertawakan khayalan Malik yang begitu tinggi, setinggi tiang Monas yang susah digapai. Sementara Malik, mendelik dan memukul keduanya dengan ranting kayu yang ia pegang dan ia pungut di jalan.
Mereka tiba di kebun yang lumayan luas. Ubi-ubian, sayur-sayuran dan juga buah-buahan mengisi perkebunan itu. mereka istirahat sebentar di sebuah pondok yang tidak begitu besar, memang khusus dibuat untuk tempat mereka melepaskan lelah. rantang susun yang isinya adalah makanan, di letakkan di atas dipan dan mereka segera melakukan tugas.
Beberapa karung telah terisi, biasanya akan dijemput oleh Sulaiman menggunakan gerobak dan dibawah ke rumah namun karena laki-laki itu sedang ke kota bersama calon istri, maka mereka sendirilah yang akan mendorongnya sampai di rumah.
"haus nih, pulang yuk. Kan kata bibi Fatiyah zuhur sudah harus pulang" Malik melap peluh di keningnya.
"makan dulu kalau begitu baru kita pulang" ucap Baim.
Elang dan Malik mengangguk setuju. buah dan ubi yang telah mereka panen dibawa ke pondok dan di isi ke dalam karung. Setelah itu, mereka duduk sejenak di bawah pohon yang ada di depan pondok. Elang masuk ke dalam pondok mengambil bekal yang mereka bawa. Sungguh nikmat makanan apapun jika berada di tengah kebun seperti itu.
"dengar-dengar ya, Ainun katanya mau dilamar" Malik berkata dan melirik Bima.
"baguslah" ucapan itu keluar dari mulut Elang.
"kok bagus sih, bukannya dia habis nembak kamu ya upsss" Malik memukul mulutnya dan menutupnya, ia meringis ke arah Elang yang melotot tajam padanya.
"asal yang lamar dia manusia ya baguslah, lagipula dia kan cantik pasti banyak yang incar. Cuman matanya Ainun saja yang rabun, wajah jelek Elang seperti ini dia sukai, malah kalau tidur ngiler pula" Baim meledek.
Elang mendelik dan melempar dedaunan ke arah Baim. Pemuda itu memberenggut.
"kalian masih muda, setidaknya sebelum menikah dinikmati dulu masa mudanya kalian. Umur juga baru 23, kencing saja masih belok-belok udah mau nikah saja...lah saya yang umur 17 tahun biasa aja tuh"
"hueeeeek, umur 17 tahun apanya" Malik pura-pura muntah. "udah mau aki-aki juga masih PD sekali bilang 17 tahun"
Baim terkekeh, ia kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya. Di tatapnya satu persatu Malik dan Elang, dalam hati ia berdoa semoga kedua adik-adiknya itu mendapatkan kehidupan yang sejahtera nantinya.
"nanti kalau semisal saya pergi, kamu harus jag ibu ya Lang. Mas Iman pasti akan sibuk dengan keluarga kecilnya nanti" tiba-tiba Baim mengatakan yang membuat Elang dan Malik mengernyitkan dahi.
"memangnya mas Baim mau kemana...?" Elang menatap lekat wajah kakaknya.
"nggak kemana-mana, siapa tau nanti mas mau pergi jauh mengejar kehidupan yang lain" Baim tersenyum simpul dan mengelus kepala Elang.
"kok jadi melow sih, aku kan jadi sedih" Malik pura-pura melap ingusnya.
pukul 11 siang dimana matahari mulai menyengat kulit, mereka bersiap untuk pulang. Satu gerobak sudah penuh dengan lima karung hasil panen hari itu. Baim mendorong gerobak itu di depan, sementara Elang dan Malik berada di belakangnya. Keduanya saling berbalas pantun, cekikikan jika ada hal yang lucu dan tidak jarang berdebat heboh. Baim hanya tersenyum dan geleng kepala, ia tidak heran lagi dengan sikap keduanya.
Tiba-tiba Baim merasakan sakit kepala dan pusing, hampir saja ia masuk ke dalam semak-semak jika saja Elang tidak menahan gerobak itu.
"kenapa mas, kok malah mau membuang diri" Elang menarik gerobak itu. Sementara Baim duduk berjongkok dan memegang kepalanya yang terasa nyut-nyutan. "mas, kenapa mas...?" Elang mulai cemas.
Malik ikut berjongkok dan memegang punggung Baim. Laki-laki itu belum juga mengangkat kepalanya. Hingga Baim membuat Elang dan Malik panik ketika tubuhnya jatuh terkulai di tanah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
SUKARDI HULU
Mampir yuk🫰like👌Follow, subscribe dan beri hadiah ya🥰♥️🙏
2023-10-04
2
V3
haii akak Cantik , aku dh mampir loh baca novel baru nya 😘😘
jangan-jangan Baim punya penyakit serius lagi ,, sakit nya dh parah tp hanya di simpan sndri 🥺🤦🏻♀️🥺
2023-08-14
1