NovelToon NovelToon

Elang Al-Fatih

Episode 1

di bawah kaki gunung yang menjulang tinggi, sebuah desa yang jauh dari perkotaan ada di sekitar gunung itu, gunung yang dinamakan gunung Sangia. Banyak orang yang mengatakan kalau gunung itu memiliki pemilik, makhluk gaib yang kata orang-orang dan mereka mempercayai itu.

Bukankah hal seperti itu masih kental di dalam kehidupan masyarakat pedalaman. Namun bukan berarti kita tidak percaya, sebab selain manusia yang Maha Kuasa juga menciptakan makhluk gaib yang bernama Jin.

Desa kawah gunung yang penduduknya lumayan banyak, saling bersosialisasi satu dengan penduduk desa setempat. Penghasilan mereka adalah berkebun dan ketika panen nanti maka mereka akan membawanya ke kota.

"babu" sebuah keranjang yang biasa orang pakai untuk tempat panen, mendarat di depan Elang.

"cih, babu babu....kenapa tidak babi saja sekalian" Elang mencebik, ia yang sedang memakai sepatu lumpurnya, memberenggut karena tingkah seorang laki-laki yang berdiri di ambang pintu.

"ooh mau dipanggil babi, okelah...mulai sekarang nama kamu adalah babi" senyuman ejekan terbit di bibir laki-laki itu.

Namanya Ibrahim dan dia sering dipanggil Baim, kakak kedua dari Elang Al-Fatih sementara untuk kakak sulung mereka adalah Sulaiman atau keduanya memanggil dengan mas Iman.

"mas Baim masih marah perihal Ainun...?" Elang mengambil keranjang itu dan mengalungkan di badannya.

"untuk apa marah, lagipula aku siapanya dia" Baim ikut mengambil keranjang dan juga parang.

"yaaa karena si Ai nembak aku"

"mati dong kamu"

"ish...orang serius juga" Elang mencebik.

"udah ah tidak usah bermimpi mendapatkan anak kepala desa yang statusnya jauh tinggi di level kita. Kalau jatuh, sakit tau lebih lebih kalau patah tulang, air mata sama ingus keluar bersamaan"

Elang tertawa kecil, kakak keduanya itu memang suka berbicara absurd, berbeda dengan kakak pertama mereka yang bawaannya terlihat dingin.

"samlekoooom epribadeh" suara seseorang membuat kepala keduanya untuk menoleh.

"wa alaikumsalam" Baim dan Elang menjawab.

"mau ke kebun ya, saya ikut ya mumpung tidak ada pekerjaan di rumah. Emak sama ayah lagi ke kota, jadi aku nganggur deh"

"oh bagus bagus, kebetulan lah kamu datang. Nih ambil ini dan ini" Baim memberikan keranjang dan juga parang serta rantang yang berisi bekal untuk mereka. "bantu metik hasil kebun. Nanti tak kasih gula-gula dua biji"

Bibir Malik mengerucut dan mencebik, Elang terkekeh kemudian merangkul bahu sahabatnya itu. Dialah Malik Ali Imran, sahabat satu-satunya Elang Al-Fatih.

"Bu kami berangkat ya" teriak Baim juga Elang.

"hati-hati, balik sebelum waktu zuhur tiba" suara ibu mereka menyahut di dapur.

"iya bu"

Ketiganya meninggalkan rumah yang sederhana, berdinding papan dan beratapkan seng. Mereka bertemu dengan beberapa pemuda lainnya yang juga akan memanen hasil perkebunan mereka. Selain merantau, anak laki-laki di desa itu memilih membantu orang tua mereka. namun meskipun begitu sudah banyak dari mereka yang memilih mengadu nasib di kota dengan alasan mungkin saja hidup akan berubah nantinya.

"mas Iman kok nggak ikut...?" Malik bertanya, sinar matahari mulai sedikit panas.

"mas Iman ke kota antar mbak Mawar belanja" Baim yang menjawab.

Jalan setapak menjadi tempat mereka untuk melangkah karena tidak ada jalan yang bagus selain itu. Siapa yang akan mengaspal jalan yang ada di pegunungan, apalagi begitu jauh dengan kota.

"mereka sudah mau nikah ya, beruntunglah mas Iman mendapatkan mbak Mawar, sudah cantik baik pula hatinya. Moga-moga jodohku nanti bidadari dari kayangan"

"yang turun dari langit dan masuk ke dalam got karena selendangnya nyangkut"

"terus jadi bidadari dari got deh"

"hahaha"

Elang dan Baim menertawakan khayalan Malik yang begitu tinggi, setinggi tiang Monas yang susah digapai. Sementara Malik, mendelik dan memukul keduanya dengan ranting kayu yang ia pegang dan ia pungut di jalan.

Mereka tiba di kebun yang lumayan luas. Ubi-ubian, sayur-sayuran dan juga buah-buahan mengisi perkebunan itu. mereka istirahat sebentar di sebuah pondok yang tidak begitu besar, memang khusus dibuat untuk tempat mereka melepaskan lelah. rantang susun yang isinya adalah makanan, di letakkan di atas dipan dan mereka segera melakukan tugas.

Beberapa karung telah terisi, biasanya akan dijemput oleh Sulaiman menggunakan gerobak dan dibawah ke rumah namun karena laki-laki itu sedang ke kota bersama calon istri, maka mereka sendirilah yang akan mendorongnya sampai di rumah.

"haus nih, pulang yuk. Kan kata bibi Fatiyah zuhur sudah harus pulang" Malik melap peluh di keningnya.

"makan dulu kalau begitu baru kita pulang" ucap Baim.

Elang dan Malik mengangguk setuju. buah dan ubi yang telah mereka panen dibawa ke pondok dan di isi ke dalam karung. Setelah itu, mereka duduk sejenak di bawah pohon yang ada di depan pondok. Elang masuk ke dalam pondok mengambil bekal yang mereka bawa. Sungguh nikmat makanan apapun jika berada di tengah kebun seperti itu.

"dengar-dengar ya, Ainun katanya mau dilamar" Malik berkata dan melirik Bima.

"baguslah" ucapan itu keluar dari mulut Elang.

"kok bagus sih, bukannya dia habis nembak kamu ya upsss" Malik memukul mulutnya dan menutupnya, ia meringis ke arah Elang yang melotot tajam padanya.

"asal yang lamar dia manusia ya baguslah, lagipula dia kan cantik pasti banyak yang incar. Cuman matanya Ainun saja yang rabun, wajah jelek Elang seperti ini dia sukai, malah kalau tidur ngiler pula" Baim meledek.

Elang mendelik dan melempar dedaunan ke arah Baim. Pemuda itu memberenggut.

"kalian masih muda, setidaknya sebelum menikah dinikmati dulu masa mudanya kalian. Umur juga baru 23, kencing saja masih belok-belok udah mau nikah saja...lah saya yang umur 17 tahun biasa aja tuh"

"hueeeeek, umur 17 tahun apanya" Malik pura-pura muntah. "udah mau aki-aki juga masih PD sekali bilang 17 tahun"

Baim terkekeh, ia kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya. Di tatapnya satu persatu Malik dan Elang, dalam hati ia berdoa semoga kedua adik-adiknya itu mendapatkan kehidupan yang sejahtera nantinya.

"nanti kalau semisal saya pergi, kamu harus jag ibu ya Lang. Mas Iman pasti akan sibuk dengan keluarga kecilnya nanti" tiba-tiba Baim mengatakan yang membuat Elang dan Malik mengernyitkan dahi.

"memangnya mas Baim mau kemana...?" Elang menatap lekat wajah kakaknya.

"nggak kemana-mana, siapa tau nanti mas mau pergi jauh mengejar kehidupan yang lain" Baim tersenyum simpul dan mengelus kepala Elang.

"kok jadi melow sih, aku kan jadi sedih" Malik pura-pura melap ingusnya.

pukul 11 siang dimana matahari mulai menyengat kulit, mereka bersiap untuk pulang. Satu gerobak sudah penuh dengan lima karung hasil panen hari itu. Baim mendorong gerobak itu di depan, sementara Elang dan Malik berada di belakangnya. Keduanya saling berbalas pantun, cekikikan jika ada hal yang lucu dan tidak jarang berdebat heboh. Baim hanya tersenyum dan geleng kepala, ia tidak heran lagi dengan sikap keduanya.

Tiba-tiba Baim merasakan sakit kepala dan pusing, hampir saja ia masuk ke dalam semak-semak jika saja Elang tidak menahan gerobak itu.

"kenapa mas, kok malah mau membuang diri" Elang menarik gerobak itu. Sementara Baim duduk berjongkok dan memegang kepalanya yang terasa nyut-nyutan. "mas, kenapa mas...?" Elang mulai cemas.

Malik ikut berjongkok dan memegang punggung Baim. Laki-laki itu belum juga mengangkat kepalanya. Hingga Baim membuat Elang dan Malik panik ketika tubuhnya jatuh terkulai di tanah.

Episode 2

"Mas...mas Baim" Elang memangku kepala Baim dan menepuk-nepuk pelan pipinya. "mas Baim kenapa mas, ayo bangun dong mas" Elang mulai berkaca-kaca. "gimana ini Malik, mas tidak mau bangun, wajahnya pucat sekali"

"tenangkan dirimu El, jangan panik. Kalau kamu panik aku malah tambah makin panik. Sebaiknya kita bawa segera mas Baim ke desa"

"kalau begitu biar aku gendong dan kamu dorong gerobaknya" Elang menghapus kasar air mata yang pada akhirnya jatuh jua. Dirinya begitu dekat dengan kakak keduanya itu, bagaimana ia bisa baik-baik saja ketika melihat kakaknya pucat dan tidak sadarkan diri.

"aku bantu" Malik membantu Elang menggendong Baim di punggungnya.

Di depan Elang tergesa-gesa berjalan tertatih menggendong tubuh Baim yang sebenarnya berat untuknya, sementara di belakang Malik mendorong gerobak. Ketika hendak keluar dari jalan tani dan akan memasuki jalan setapak menuju desa, sebuah motor melewati mereka bertiga, akan tetapi kemudian motor itu kembali lagi ke arah mereka.

"Elang"

Mendengar namanya dipanggil, Elang mendongakkan kepala. Sulaiman berboncengan dengan seorang wanita dan itu adalah Mawar, wanita yang akan dipersuntingnya nanti.

"mas Iman, tolong mas...mas Baim pingsan, dia pingsan" Elang sekuat tenaga menahan tubuh Ibrahim.

Sulaiman turun begitu juga dengan mawar dan menstandar motornya. Melihat wajah Ibrahim yang begitu pucat, Sulaiman tidak kalah paniknya.

"kenapa tidak menaruhnya di gerobak dan kalian dorong berdua, itu lebih cepat" tanpa aba-aba, Sulaiman mengambil alih tubuh Ibrahim dan menaruhkan di atas tumpukan karung.

Bukan tidak kasihan, bukan seperti itu. Tapi menurut Sulaiman jika Elang terus menggendong maka mereka akan lama sampai di desa.

"ayo dorong, mas ngikutin kalian dari belakang" ucapnya menatap kedua pemuda itu.

Elang juga Malik segera mendorong gerobak itu, sementara Sulaiman kembali ke motornya.

"Ibrahim kenapa mas...?" tanya Mawar setelah ia naik ke tempat duduknya lagi.

"mas tidak tau, semoga dia baik-baik saja. Mungkin salah kelelahan" Sulaiman menyalakan motor metik itu dan menyusul kedua adiknya.

Ibu Fatiyah sudah sejak tadi menunggu kepulangan kedua anaknya. Ia telah berpesan sebelum zuhur sudah harus pulang namun sekarang zuhur pun sudah lewat, Ibrahim dan Elang juga belum kembali.

Wajahnya yang dihiasi keriput, semakin tegang ketika melihat Elang juga Malik berlari begitu cepat menuju ke arahnya, apalagi ia melihat Ibrahim terkulai tidak berdaya di dalam gerobak.

"ya Allah nak, apa yang terjadi...?" ibu Fatiyah menyongsong ketiganya. Sulaiman pun telah tiba bersama mereka.

"El, panggil dokter Fajar" Sulaiman berkata sambil mengangkat tubuh Ibrahim dibantu oleh Malik.

tanpa menjawab, Elang segera berlari menuju ke rumah tempat tinggal dokter Fajar. Seorang dokter yang ditugaskan untuk mengabdikan diri di desa nan jauh dari perkotaan.

Ibrahim dibawa masuk ke dalam kamarnya. Mawar ke dapur untuk menyiapkan minuman hangat, agar jika Ibrahim bangun maka ia bisa meminumnya. Semua barang belanjaan mereka, diletakkan di teras rumah nan sederhana itu.

Sementara Elang, terik dan panasnya matahari tidak menghentikan kencangnya ia berlari, melewati banyaknya rumah hingga sampai di depan rumah yang ditempati oleh dokter Fajar.

Brak

Brak

"dokter Fajar... assalamualaikum dokter" Elang setelah sampai langsung mendobrak pintu rumah itu. "dokter...buka dokter, tolong kakak saya, dia pingsan di rumah. Dokter Fajar"

"Elang, ada apa nak...kenapa terburu-buru seperti itu" seorang ibu yang rumahnya berada di samping rumah dokter Fajar, keluar untuk melihat apa yang terjadi, keningnya mengekerut ketika melihat Elang terus mengetuk keras daun pintu rumah dokter Fajar.

"bi, kemana dokter Fajar, saya membutuhkan bantuannya bi. mas Ibrahim sakit di rumah, dia pingsan" Elang lantas menghampiri si ibu.

"dokter Fajar ke puskesmas, ada yang luka terkena parang. Susul saja ke sana"

Segera Elang meninggalkan si ibu dan berlari ke arah puskemas. Di sana dokter yang masih muda, baru saja selesai menjahit seorang laki-laki yang kakinya terkena benda tajam.

"dokter, bisa ke rumah saya...kakak saya pingsan" dengan nafas yang tidak beraturan, Elang ngos-ngosan akibat dirinya berlari.

"Ibrahim pingsan lagi...?" wajah dokter Fajar seketika terkejut.

"iya dokter, ayo cepat dok nanti kakak saya kenapa-kenapa" Elang langsung menarik tangan dokter Fajar.

"eh tunggu sebentar El, saya ambil perlengkapan dulu" dokter Fajar mengambil tasnya. "kamu boleh pulang, nanti minumkan obat ini setelah makan" dokter Fajar memberikan sebungkus obat kepada laki-laki itu. "ayo El" kali ini dokter Fajar yang menarik tangan Elang.

keduanya menaiki kendaraan roda dua yang dimiliki oleh dokter Fajar. Tiba di rumah, keduanya masuk dan langsung menuju ke kamar Ibrahim. Dokter Fajar menyuruh semua orang untuk keluar, sementara dirinya akan memeriksa keadaan Ibrahim.

"haaah" dokter Fajar menghela nafas, sepertinya dirinya harus memberitahu penyakit yang diderita oleh Ibrahim. "maafkan saya Baim, tapi ini demi kebaikan kamu" ucapnya setelah menginfus tubuh Ibrahim yang memang dirasa lemah.

Di ruang tengah yang hanya dilapisi karpet seadanya, semua orang menunggu dengan harap-harap cemas. Mawar menggenggam erat tangan calon ibu mertuanya, mencoba meyakinkan bawah Ibrahim akan baik-baik saja. Ketika pintu kamar terbuka, semua orang menatap dokter Fajar yang berjalan pelan kemudian duduk bersama mereka.

"bagaimana dokter, apakah yang terjadi dengan anak saya...?" ibu Fatiyah bertanya.

"sebelumnya saya ingin meminta maaf, sebab kemarin-kemarin Ibrahim sempat meminta agar tidak memberitahu keluarganya tentang sakit yang ia alami" ucap dokter Fajar.

"memangnya adik saya sakit apa dokter...?" tanya Sulaiman.

wajah semua orang menjadi tegang, takut-takut kalau itu adalah penyakit yang begitu serius.

"Ibrahim mengalami penyakit tumor otak"

"a-apa...?" seketika tubuh ibu Fatiyah lemas, Mawar menahan agar ibu Fatiyah tidak jatuh ke lantai.

"yang sabar bu, jangan lemah seperti ini. Ibrahim membutuhkan ibu, membutuhkan kita semua" ucap Mawar.

"sudah berapa lama kakak saya mengidap penyakit itu dokter...?" tanya Elang, perasaannya begitu hancur mengetahui kenyataan bahwa kakak keduanya selama ini menyembunyikan penyakit yang mungkin mematikan.

"sebulan yang lalu, ketika dia meminta saya untuk menemaninya ke kota. Saat itu dia ingin memeriksa kepalanya yang sering sekali sakit, dan hasilnya adalah dia terkena tumor otak. Namun kabar bahagianya adalah, penyakit itu bisa disembuhkan dengan operasi, hanya saja..."

"hanya saja kenapa dokter...?" tanya Sulaiman.

"biayanya mahal"

"kira-kira berapa yang dibutuhkan...?"

"kamu punya uang nak...?" ibu Fatiyah menatap Sulaiman.

"uang untuk biaya pernikahan ku, jika tidak mendapatkan uang ditempat lain maka terpaksa harus memakai uang itu dulu" Sulaiman menghela nafas, nyawa adiknya lebih penting sekarang daripada pernikahannya. "Mawar, kamu tidak keberatan kan kalau pernikahan kita diundur...?" Sulaiman meminta persetujuan dari Mawar.

"tidak apa mas, kalau kurang saya juga mempunyai tabungan. semoga cukup untuk biaya operasi Ibrahim" Mawar sama sekali tidak keberatan.

"aku juga punya tabungan mas, mas bisa memakai itu untuk tambahannya. Tidak banyak, tapi setidaknya bisa membantu nominal yang diperlukan" Elang menuju kamarnya, mengambil celengan yang berbentuk ayam kemudian keluar dan memberikan celengan itu kepada Sulaiman.

"maaf dek, kamu harus merelakan celengan mu ini" Sulaiman memeluk Elang. Adik bungsu yang disayanginya juga Ibrahim.

"aku juga akan bantu mas, kesehatan mas Baim adalah nomor satu" ucap Malik.

"terimakasih Malik, tapi simpan saja uangmu. biar ini menjadi urusan saya nantinya" Sulaiman menerima kebaikan hati Malik, namun ia tidak ingin membebani orang lain.

"tapi mas"

"mas Iman benar Malik, aku juga tidak ingin merepotkan mu dengan permasalahan keluargaku. Tolong dimengerti ya" Elang memberikan penjelasan.

Malik menghela nafas dan kemudian mengangguk meskipun terpaksa. "tapi kalau nanti uangnya kurang, jangan sungkan untuk memberitahuku ya"

Elang mengangguk dan tersenyum, keduanya memang adalah sahabat yang begitu dekat.

beberapa hari kemudian, uang yang dikumpulkan telah sampai pada nominal yang dibutuhkan. namun itupun, mereka harus menjual sebagian kebun penghasilan mereka, semua itu demi kesembuhan Ibrahim. bukan hanya biaya operasi yang harus dibayar, biaya rumah sakit juga obat-obatan harus dibayar juga, bukanlah gratis. Apalagi mereka melakukan itu di rumah sakit besar, alhasil perkebunan mereka dijual habis tanpa tersisa.

Setelah melakukan operasi dan seminggu di rumah sakit, Ibrahim diperbolehkan untuk pulang dan kini mereka telah berada di rumah.

"bu, maafkan Baim sudah begitu menyusahkan semua orang" Baim yang sedang berbaring di ranjangnya, seketika mengeluarkan suara.

"Asal anak ibu sehat, ibu akan melakukan apapun. Sekarang Jangan berpikir yang bukan-bukan, fokus untuk pemilihan kamu saja" ibu Fatiyah membelai lembut kepala Ibrahim.

"bagaimana dengan pernikahan mas Sulaiman bu...?"

"mereka menundanya, sampai mas mu bisa mengumpulkan uang lagi"

"kita sudah tidak punya apapun, bagaimana kita bisa makan bu" Ibrahim sangatlah sedih, karena dirinya mereka kini akan kesusahan.

"aku sudah memutuskan untuk merantau" Elang tiba-tiba masuk dan duduk di sisi Ibrahim.

"tidak nak, ibu tidak mengizinkan anak-anak ibu pergi jauh. Cukup di desa ini saja, kita masih bisa memulai kembali dari awal. masih ada sisa uang untuk membeli kebun pak Parnomo, kita bisa hidup dengan itu" ibu Fatiyah menolak keinginan Elang.

"jangan terlibat apapun dengan kepala desa itu bu, aku tidak mau. Ibu jangan khawatir, aku sudah besar dan bisa menjaga diri. Doakan saja semoga rejekiku dilancarkan dan disehatkan diperantauan nanti. Lagipula Malik pun akan ikut merantau bersamaku"

"kamu sudah memberitahu mas Iman...?" tanya Ibrahim.

"sudah dan mas Iman mengizinkan. lusa aku dan Malik akan berangkat"

Ibu Fatiyah tetap menggeleng kepala, dirinya sama sekali tidak ingin berkisah dengan ketiga putranya.

"bu" Elang mendekati ibunya dan bersimpuh di kakinya. "demi keluarga kita, tolong izinkan aku mencari nafkah di perantauan. hanya dengan restu doa ibu, aku akan baik-baik saja di sana" Elang memegang kedua tangan ibunya dan menciumnya dengan lembut.

"bagaimana jika aku juga ikut, tapi tunggulah setelah aku pulih dulu" Ibrahim bersuara.

"kalian ingin membunuh ibu sekarang juga...?" suara ibu Fatiyah yang terdengar membentak dan bergetar, membuat Ibrahim juga Elang memeluk wanita itu, wanita yang telah melahirkan mereka dan membesarkan ketiga putranya setelah suaminya meninggal.

Elang tetap membujuk dengan lembut dan pada akhirnya ibu Fatiyah luluh dan mengizinkan.

Merantau....?

Maka di perantauan itulah, kehidupan pelik akan dialami oleh seorang Elang Al-Fatih.

Episode 3

Seperti semangat dan tekad yang telah Elang tanamkan dalam hati untuk mencari rezeki di tempat yang belum pernah ia pijaki, maka esok adalah hari keberangkatannya bersama sahabatnya, Malik.

Bayangan hidup jauh dengan keluarganya sudah terbayang masuk ke dalam pikirannya. Selama ini dirinya tidak pernah pergi kemanapun. Elang hanya senantiasa terus berada di desa kawah gunung membantu ibunya juga kedua kakaknya. Kalaupun jauh, itu karena dulu ia sekolah di desa lain yang tentunya juga lumayan jauh dengan desa tempat tinggalnya. tapi waktu itu dirinya selalu pulang bersama Malik, dan untuk kali ini sepertinya ia akan pulang dalam waktu yang lama.

Di dalam kamarnya, di jendela kamar yang masih terbuka, Elang merenungkan nasibnya nanti.

"kira-kira susah tidak ya mencari pekerjaan di kota. ijazah aku hanya sebatas ijazah SMA" tatapannya menatap bulan yang lumayan terang malam ini.

Elang menguap dan memutuskan untuk tidur. ia menutup pintu jendela kamarnya kemudian berjalan ke arah ranjang kecil yang muat hanya untuk satu badan saja. Tubuhnya ia baringkan di kasur dan memakai selimutnya. belum juga memejamkan mata, suara lemparan benda terdengar mengenai jendela kamarnya.

"loh apaan tuh" batinnya.

belum ada pergerakan dari Elang, ia masih menunggu lemparan berikutnya namun sampai beberapa menit tidak terjadi apapun lagi.

kedua matanya yang sudah tidak bisa menahan kantuk mulai perlahan-lahan akan terpejam. Akan tetapi lagi-lagi tidurnya terganggu karena mendengar ketukan pelan di jendela kamar.

ketukan itu semakin cepat dan sungguh membuat Elang kesal dan terganggu. Dengan rasa jengkel, ia turun dari ranjangnya melangkah pelan ke arah jendela. Sebelum itu, ia mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata, barangkali di luar itu adalah pencuri.

dirinya hanya menemukan sapu ijuk, alhasil benda itulah yang ia ambil dan dipegang dengan erat.

"El... Elang" terdengar suara seseorang memanggil namanya.

Begitu penasarannya, Elang membuka jendela kamar dan terlihat seseorang berdiri di dekat jendela kamarnya dengan kelapa yang tertutup. Sosok itu membuka penutup kepalanya, betapa terkejutnya Elang melihat siapa yang datang malam-malam kepadanya, dengan cara sembunyi-sembunyi pula.

"Ai...k-kamu...."

belum sempat selesai dengan ucapannya, Ainun mendorong tubuh Elang kemudian gadis itu melompat masuk ke dalam kamar dan menutup jendela.

"Ai...apa yang kamu lakukan di sini...?"

Ainun membalikkan tubuhnya dan dengan cepat memeluk tubuh Elang. Gerakan yang tidak disangka itu, hampir membuat keduanya terjungkal. Untung saja Elang dapan menahan tubuh keduanya.

"Ai...jangan seperti ini" Elang ingin melepaskan pelukan Ainun namun gadis itu malah semakin mempererat pelukannya.

"sebentar saja El, sebentar saja seperti ini. Aku ingin seperti ini, memeluk kamu sebelum kita berjauhan" Ainun menggeleng kepala tidak ingin melepaskan pelukannya.

Pada akhirnya Elang mengalah dan membiarkan Ainun memeluknya, akan tetapi ia tidak membalas pelukan gadis itu. Hanya saja jantungnya kini tidak karuan. Berduaan dengan seorang gadis di dalam kamar, siapa yang tidak belingsatan terlebih lagi gadis itu adalah kembang desa kawah gunung. Gadis yang disukai oleh Ibrahim namun ternyata gadis itu malah menyukai seorang Elang Al-Fatih.

"El"

"humm"

"apa benar kamu akan pergi merantau besok...?" kepala Ainun ia dongakkan ke atas, namun kedua tangannya tetap melingkar di pinggang Elang.

wajah cantik Ainun begitu jelas dilihat oleh Elang. Kedua manik mata mereka saling beradu pandang dengan tatapan yang begitu dekat.

Cup

Tiba-tiba tanpa aba-aba, Ainun menempelkan bibirnya di bibir Elang. Tentu saja Elang kaget dengan kedua mata yang membulat. Bibir mereka masih saling bersentuhan, ketika itu Ainun mencoba ******* lembut bibir Elang, pemuda itu tidak membalas namun juga tidak menjauh, Elang hanya mematung dengan detak jantung yang semakin menjadi.

Tidak mendapatkan penolakan, Ainun semakin ******* bibir Elang. pemuda itu akhirnya sadar dan mendorong tubuh Ainun untuk menjauh.

"apa yang kamu lakukan Ai" Elang memegang bibirnya, itu adalah ciuman pertamanya dengan seorang wanita.

"kata Malik kamu dan dia akan pergi jauh dari desa ini. Apa itu benar El...?" Ainun mendekat dan berdiri tepat di hadapan Elang.

Elang menghela nafas panjang, sudah ia beritahu sahabatnya itu agar kepergian mereka tidak diberitahukan kepada siapapun, namun ternyata Malik malah memberitahu Ainun.

"iya, keadaan ekonomi keluargaku sedang tidak baik-baik saja, aku ingin mencari pengalaman di kota"

"kamu akan meninggalkan aku di sini...?" sendu, tatapan Ainun begitu sendu.

"bukankah kamu akan segera menikah, bahkan sudah dilamar. jangan seperti ini Ai, kita bisa terkena masalah"

"aku tidak menerima lamarannya, aku tidak ingin menikah selain dengan dirimu. Bawa aku pergi bersama kamu El, aku tidak ingin kita berjauhan. Aku cinta sama kamu El, aku tidak bisa hidup tanpa kamu" Ainun lagi-lagi memeluk Elang.

Ainun menangis diam saat itu, air matanya membasahi dada Elang. Di rasa bajunya basah, Elang melepaskan pelukannya dan memegang wajah Ainun untuk mengangkat wajah cantik gadis itu.

"sini duduk" Elang membawa Ainun untuk duduk di ranjangnya. "jangan menangis, aku paling tidak bisa melihat seorang wanita menangis apalagi hanya karena aku yang tidak ada apa-apanya ini" Elang dengan lembut menghapus air mata Ainun.

Ainun menggeleng dan memegang kedua tangan Elang yang ada di wajahnya. "kamu berharga bagiku El, aku tidak peduli ayah tidak menyukaimu tapi aku tetap akan mencintaimu"

"Ai...kamu tau bagaimana keluargaku, kita memang tidak bisa untuk bersama. Apa yang dikatakan ayahmu adalah benar, kamu lebih pantas bersanding dengan laki-laki yang derajatnya sama tinggi dengan keluarga mu"

"tidak" Ainun membantah dan semakin mengeleng. "aku tetap maunya sama kamu. kalau kamu pergi, maka aku akan ikut. aku akan ikut kemanapun kamu pergi, bawa aku pergi juga El...aku tidak mau jauh darimu. Bukannya kamu juga mencintaiku kan, iya kan"

"El...kamu juga mencintaiku kan" Ainun mengguncang bahu Elang.

"a-aku..."

"apa benar apa yang dikatakan Malik kalau kamu sebenarnya tidak mempunyai perasaan apapun padaku...?" kedua mata Ainun kembali berkaca-kaca.

Elang menghela nafas berat, ia begitu dilema. Sejujurnya memang dirinya menyukai gadis itu akan tetapi dirinya lebih memilih mundur karena Ibrahim ternyata juga menyukai Ainun. Namun rupanya Ainun malah semakin menjadi ketika Elang menjauhinya bahkan dengan terang-terangan ia mengungkapkan perasaannya kepada pemuda itu.

"jawab El"

"meskipun aku mencintaimu, kita tetap tidak akan bisa bersama Ai. Tembok penghalang antara kita berdua begitu tinggi, sulit untuk menghancurkannya"

"maka kalau begitu kita berusaha berdua, Asal kamu selalu bersamaku" Ainun menggenggam tangan Elang.

"sebaiknya kamu pulang, di sini bukanlah tempat mu. Aku takut ibu dan yang lainnya bangun" Elang bangkit berdiri dan membelakangi Ainun.

"apa kamu tidak ingin memperjuangkan aku...? Kita berjuang sama-sama, kita yakinkan kedua orang tuaku kalau kamu layak untuk aku. Tak apa kamu tidak membawaku pergi, asal kamu berjanji untuk kembali dan memintaku nanti kepada orang tuaku. Selama apapun kamu pergi, aku akan tetap menunggu"

"Ai...aku..." Elang membalikkan tubuhnya.

"aku tidak ingin penolakan El. Aku akan menunggu berapa tahun lamanya, aku tetap akan menunggumu"

Elang akhirnya menarik tangan Ainun dan memeluknya. Dirinya tidak bisa menjanjikan apapun pada gadis itu. Elang mencium pucuk kepala Ainun yang menangis diam di dadanya.

"berjanjilah kamu akan terus mengingat ku dan kembali kepadaku El. Aku akan tetap bertahan menolak semua laki-laki yang datang melamar ku, hanya untuk bisa bersama kamu. Berjanjilah El" bergetar Ainun mengucapkan itu.

"asal kamu bersedia menunggu" akhirnya Elang mematahkan egonya.

"iya...aku akan terus menunggu bahkan sampai aku mati"

"sssttt... jangan berbicara seperti itu" Elang mengusap punggung Ainun. "aku tidak suka"

"maka dari itu kemanapun kamu pergi, jika kamu sukses nanti maka pulanglah dan lamar aku"

"iya...aku janji, aku janji. Doakan aku baik-baik saja di sana ya"

Ainun menganggukkan kepalanya dan mempererat pelukannya. Ia bahagia saat ini Elang membalas perasaannya.

"sekarang pulanglah" Elang melepaskan pelukannya dan dengan lembut mencium kening Ainun.

gadis itu menutup mata, ciuman Elang mampu membuatnya tenang.

"berjanjilah hatimu hanya akan ada namaku" Ainun mengangkat jari kelingkingnya.

"janji" Elang menautkan jari kelingkingnya di jari kecil Ainun.

kening keduanya saling menyatu. nafas mereka saling memburu, dan entah keberanian darimana, Elang mencium bibir tipis Ainun. Semakin lama semakin meminta yang lebih, Ainun pun membalas ciuman panas itu.

Sadar dengan apa yang dilakukannya, Elang segera mengakhirinya. dirinya tidak ingin bertindak lebih jauh dan merugikan semua orang. Ia harus berusaha dan berjuang untuk mendapatkan restu dari orang tua gadis yang ia cintai itu. Dengan begitu halal baginya untuk menyentuh Ainun. Hawa nafsu itu harus ia tekan dan lawan.

"pulanglah. nanti kita bisa berkomunikasi lewat surat" Elang mengelus bibir Ainun yang basah karenanya.

"aku punya sesuatu untukmu" Ainun melepas kalungnya yang bertuliskan namanya sendiri kemudian memakaikan kalung itu di leher Elang. "dengan ini aku mengikatmu, Elang Al-Fatih hanya milik Ainun Pratiwi" Ainun tersenyum memegang kalungnya yang sudah ia pasangkan di leher Elang.

"aku akan menjaganya. Sekarang pulanglah"

Ainun menganggukkan kepalanya, ia pun keluar lewat jendela dan kembali ke rumahnya. Sementara Elang, membaringkan tubuhnya di ranjang. Kedua tangannya memegang kalung pemberian Ainun.

"Ai...semoga jalan jodoh kita tidak banyak halangannya" gumamnya

Pagi hari, Elang juga Malik telah bersiap untuk berangkat. Keduanya bersalaman dengan orang tua mereka. kedua orang tua Malik, memilih datang di rumah ibu Fatiyah untuk melepas anak-anak mereka. Malik adalah anak tunggal yang tidak memiliki saudara, karena kegigihannya meyakinkan kedua orang tuanya, ia akhirnya di izinkan untuk merantau.

"hati-hati" Sulaiman memeluk Elang, begitu berat melepaskan adiknya itu.

"jaga diri baik-baik" Ibrahim pun memeluk Elang dan mencium pucuk kepalanya.

Elang mencium kedua kaki ibunya, kedua tangan dan kedua pipinya. Setelah itu, Elang dan Malik menaiki mobil pickup yang digunakan untuk mengangkut hasil panen untuk dibawa ke kota. Mereka menumpang di mobil itu.

"assalamualaikum" ucap keduanya.

"wa alaikumsalam"

Lambaian tangan semua orang, mengantar kepergian mereka.

Di bawah pohon, Ainun bersembunyi memperhatikan mereka. ketika melewati pohon itu, Elang dapat melihat gadis itu melambaikan tangan kepadanya. Elang tersenyum, setidaknya walaupun tidak mengantarnya dengan cara terbuka, ia senang Ainun mengantarnya meskipun secara diam-diam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!