Episode 2

"Mas...mas Baim" Elang memangku kepala Baim dan menepuk-nepuk pelan pipinya. "mas Baim kenapa mas, ayo bangun dong mas" Elang mulai berkaca-kaca. "gimana ini Malik, mas tidak mau bangun, wajahnya pucat sekali"

"tenangkan dirimu El, jangan panik. Kalau kamu panik aku malah tambah makin panik. Sebaiknya kita bawa segera mas Baim ke desa"

"kalau begitu biar aku gendong dan kamu dorong gerobaknya" Elang menghapus kasar air mata yang pada akhirnya jatuh jua. Dirinya begitu dekat dengan kakak keduanya itu, bagaimana ia bisa baik-baik saja ketika melihat kakaknya pucat dan tidak sadarkan diri.

"aku bantu" Malik membantu Elang menggendong Baim di punggungnya.

Di depan Elang tergesa-gesa berjalan tertatih menggendong tubuh Baim yang sebenarnya berat untuknya, sementara di belakang Malik mendorong gerobak. Ketika hendak keluar dari jalan tani dan akan memasuki jalan setapak menuju desa, sebuah motor melewati mereka bertiga, akan tetapi kemudian motor itu kembali lagi ke arah mereka.

"Elang"

Mendengar namanya dipanggil, Elang mendongakkan kepala. Sulaiman berboncengan dengan seorang wanita dan itu adalah Mawar, wanita yang akan dipersuntingnya nanti.

"mas Iman, tolong mas...mas Baim pingsan, dia pingsan" Elang sekuat tenaga menahan tubuh Ibrahim.

Sulaiman turun begitu juga dengan mawar dan menstandar motornya. Melihat wajah Ibrahim yang begitu pucat, Sulaiman tidak kalah paniknya.

"kenapa tidak menaruhnya di gerobak dan kalian dorong berdua, itu lebih cepat" tanpa aba-aba, Sulaiman mengambil alih tubuh Ibrahim dan menaruhkan di atas tumpukan karung.

Bukan tidak kasihan, bukan seperti itu. Tapi menurut Sulaiman jika Elang terus menggendong maka mereka akan lama sampai di desa.

"ayo dorong, mas ngikutin kalian dari belakang" ucapnya menatap kedua pemuda itu.

Elang juga Malik segera mendorong gerobak itu, sementara Sulaiman kembali ke motornya.

"Ibrahim kenapa mas...?" tanya Mawar setelah ia naik ke tempat duduknya lagi.

"mas tidak tau, semoga dia baik-baik saja. Mungkin salah kelelahan" Sulaiman menyalakan motor metik itu dan menyusul kedua adiknya.

Ibu Fatiyah sudah sejak tadi menunggu kepulangan kedua anaknya. Ia telah berpesan sebelum zuhur sudah harus pulang namun sekarang zuhur pun sudah lewat, Ibrahim dan Elang juga belum kembali.

Wajahnya yang dihiasi keriput, semakin tegang ketika melihat Elang juga Malik berlari begitu cepat menuju ke arahnya, apalagi ia melihat Ibrahim terkulai tidak berdaya di dalam gerobak.

"ya Allah nak, apa yang terjadi...?" ibu Fatiyah menyongsong ketiganya. Sulaiman pun telah tiba bersama mereka.

"El, panggil dokter Fajar" Sulaiman berkata sambil mengangkat tubuh Ibrahim dibantu oleh Malik.

tanpa menjawab, Elang segera berlari menuju ke rumah tempat tinggal dokter Fajar. Seorang dokter yang ditugaskan untuk mengabdikan diri di desa nan jauh dari perkotaan.

Ibrahim dibawa masuk ke dalam kamarnya. Mawar ke dapur untuk menyiapkan minuman hangat, agar jika Ibrahim bangun maka ia bisa meminumnya. Semua barang belanjaan mereka, diletakkan di teras rumah nan sederhana itu.

Sementara Elang, terik dan panasnya matahari tidak menghentikan kencangnya ia berlari, melewati banyaknya rumah hingga sampai di depan rumah yang ditempati oleh dokter Fajar.

Brak

Brak

"dokter Fajar... assalamualaikum dokter" Elang setelah sampai langsung mendobrak pintu rumah itu. "dokter...buka dokter, tolong kakak saya, dia pingsan di rumah. Dokter Fajar"

"Elang, ada apa nak...kenapa terburu-buru seperti itu" seorang ibu yang rumahnya berada di samping rumah dokter Fajar, keluar untuk melihat apa yang terjadi, keningnya mengekerut ketika melihat Elang terus mengetuk keras daun pintu rumah dokter Fajar.

"bi, kemana dokter Fajar, saya membutuhkan bantuannya bi. mas Ibrahim sakit di rumah, dia pingsan" Elang lantas menghampiri si ibu.

"dokter Fajar ke puskesmas, ada yang luka terkena parang. Susul saja ke sana"

Segera Elang meninggalkan si ibu dan berlari ke arah puskemas. Di sana dokter yang masih muda, baru saja selesai menjahit seorang laki-laki yang kakinya terkena benda tajam.

"dokter, bisa ke rumah saya...kakak saya pingsan" dengan nafas yang tidak beraturan, Elang ngos-ngosan akibat dirinya berlari.

"Ibrahim pingsan lagi...?" wajah dokter Fajar seketika terkejut.

"iya dokter, ayo cepat dok nanti kakak saya kenapa-kenapa" Elang langsung menarik tangan dokter Fajar.

"eh tunggu sebentar El, saya ambil perlengkapan dulu" dokter Fajar mengambil tasnya. "kamu boleh pulang, nanti minumkan obat ini setelah makan" dokter Fajar memberikan sebungkus obat kepada laki-laki itu. "ayo El" kali ini dokter Fajar yang menarik tangan Elang.

keduanya menaiki kendaraan roda dua yang dimiliki oleh dokter Fajar. Tiba di rumah, keduanya masuk dan langsung menuju ke kamar Ibrahim. Dokter Fajar menyuruh semua orang untuk keluar, sementara dirinya akan memeriksa keadaan Ibrahim.

"haaah" dokter Fajar menghela nafas, sepertinya dirinya harus memberitahu penyakit yang diderita oleh Ibrahim. "maafkan saya Baim, tapi ini demi kebaikan kamu" ucapnya setelah menginfus tubuh Ibrahim yang memang dirasa lemah.

Di ruang tengah yang hanya dilapisi karpet seadanya, semua orang menunggu dengan harap-harap cemas. Mawar menggenggam erat tangan calon ibu mertuanya, mencoba meyakinkan bawah Ibrahim akan baik-baik saja. Ketika pintu kamar terbuka, semua orang menatap dokter Fajar yang berjalan pelan kemudian duduk bersama mereka.

"bagaimana dokter, apakah yang terjadi dengan anak saya...?" ibu Fatiyah bertanya.

"sebelumnya saya ingin meminta maaf, sebab kemarin-kemarin Ibrahim sempat meminta agar tidak memberitahu keluarganya tentang sakit yang ia alami" ucap dokter Fajar.

"memangnya adik saya sakit apa dokter...?" tanya Sulaiman.

wajah semua orang menjadi tegang, takut-takut kalau itu adalah penyakit yang begitu serius.

"Ibrahim mengalami penyakit tumor otak"

"a-apa...?" seketika tubuh ibu Fatiyah lemas, Mawar menahan agar ibu Fatiyah tidak jatuh ke lantai.

"yang sabar bu, jangan lemah seperti ini. Ibrahim membutuhkan ibu, membutuhkan kita semua" ucap Mawar.

"sudah berapa lama kakak saya mengidap penyakit itu dokter...?" tanya Elang, perasaannya begitu hancur mengetahui kenyataan bahwa kakak keduanya selama ini menyembunyikan penyakit yang mungkin mematikan.

"sebulan yang lalu, ketika dia meminta saya untuk menemaninya ke kota. Saat itu dia ingin memeriksa kepalanya yang sering sekali sakit, dan hasilnya adalah dia terkena tumor otak. Namun kabar bahagianya adalah, penyakit itu bisa disembuhkan dengan operasi, hanya saja..."

"hanya saja kenapa dokter...?" tanya Sulaiman.

"biayanya mahal"

"kira-kira berapa yang dibutuhkan...?"

"kamu punya uang nak...?" ibu Fatiyah menatap Sulaiman.

"uang untuk biaya pernikahan ku, jika tidak mendapatkan uang ditempat lain maka terpaksa harus memakai uang itu dulu" Sulaiman menghela nafas, nyawa adiknya lebih penting sekarang daripada pernikahannya. "Mawar, kamu tidak keberatan kan kalau pernikahan kita diundur...?" Sulaiman meminta persetujuan dari Mawar.

"tidak apa mas, kalau kurang saya juga mempunyai tabungan. semoga cukup untuk biaya operasi Ibrahim" Mawar sama sekali tidak keberatan.

"aku juga punya tabungan mas, mas bisa memakai itu untuk tambahannya. Tidak banyak, tapi setidaknya bisa membantu nominal yang diperlukan" Elang menuju kamarnya, mengambil celengan yang berbentuk ayam kemudian keluar dan memberikan celengan itu kepada Sulaiman.

"maaf dek, kamu harus merelakan celengan mu ini" Sulaiman memeluk Elang. Adik bungsu yang disayanginya juga Ibrahim.

"aku juga akan bantu mas, kesehatan mas Baim adalah nomor satu" ucap Malik.

"terimakasih Malik, tapi simpan saja uangmu. biar ini menjadi urusan saya nantinya" Sulaiman menerima kebaikan hati Malik, namun ia tidak ingin membebani orang lain.

"tapi mas"

"mas Iman benar Malik, aku juga tidak ingin merepotkan mu dengan permasalahan keluargaku. Tolong dimengerti ya" Elang memberikan penjelasan.

Malik menghela nafas dan kemudian mengangguk meskipun terpaksa. "tapi kalau nanti uangnya kurang, jangan sungkan untuk memberitahuku ya"

Elang mengangguk dan tersenyum, keduanya memang adalah sahabat yang begitu dekat.

beberapa hari kemudian, uang yang dikumpulkan telah sampai pada nominal yang dibutuhkan. namun itupun, mereka harus menjual sebagian kebun penghasilan mereka, semua itu demi kesembuhan Ibrahim. bukan hanya biaya operasi yang harus dibayar, biaya rumah sakit juga obat-obatan harus dibayar juga, bukanlah gratis. Apalagi mereka melakukan itu di rumah sakit besar, alhasil perkebunan mereka dijual habis tanpa tersisa.

Setelah melakukan operasi dan seminggu di rumah sakit, Ibrahim diperbolehkan untuk pulang dan kini mereka telah berada di rumah.

"bu, maafkan Baim sudah begitu menyusahkan semua orang" Baim yang sedang berbaring di ranjangnya, seketika mengeluarkan suara.

"Asal anak ibu sehat, ibu akan melakukan apapun. Sekarang Jangan berpikir yang bukan-bukan, fokus untuk pemilihan kamu saja" ibu Fatiyah membelai lembut kepala Ibrahim.

"bagaimana dengan pernikahan mas Sulaiman bu...?"

"mereka menundanya, sampai mas mu bisa mengumpulkan uang lagi"

"kita sudah tidak punya apapun, bagaimana kita bisa makan bu" Ibrahim sangatlah sedih, karena dirinya mereka kini akan kesusahan.

"aku sudah memutuskan untuk merantau" Elang tiba-tiba masuk dan duduk di sisi Ibrahim.

"tidak nak, ibu tidak mengizinkan anak-anak ibu pergi jauh. Cukup di desa ini saja, kita masih bisa memulai kembali dari awal. masih ada sisa uang untuk membeli kebun pak Parnomo, kita bisa hidup dengan itu" ibu Fatiyah menolak keinginan Elang.

"jangan terlibat apapun dengan kepala desa itu bu, aku tidak mau. Ibu jangan khawatir, aku sudah besar dan bisa menjaga diri. Doakan saja semoga rejekiku dilancarkan dan disehatkan diperantauan nanti. Lagipula Malik pun akan ikut merantau bersamaku"

"kamu sudah memberitahu mas Iman...?" tanya Ibrahim.

"sudah dan mas Iman mengizinkan. lusa aku dan Malik akan berangkat"

Ibu Fatiyah tetap menggeleng kepala, dirinya sama sekali tidak ingin berkisah dengan ketiga putranya.

"bu" Elang mendekati ibunya dan bersimpuh di kakinya. "demi keluarga kita, tolong izinkan aku mencari nafkah di perantauan. hanya dengan restu doa ibu, aku akan baik-baik saja di sana" Elang memegang kedua tangan ibunya dan menciumnya dengan lembut.

"bagaimana jika aku juga ikut, tapi tunggulah setelah aku pulih dulu" Ibrahim bersuara.

"kalian ingin membunuh ibu sekarang juga...?" suara ibu Fatiyah yang terdengar membentak dan bergetar, membuat Ibrahim juga Elang memeluk wanita itu, wanita yang telah melahirkan mereka dan membesarkan ketiga putranya setelah suaminya meninggal.

Elang tetap membujuk dengan lembut dan pada akhirnya ibu Fatiyah luluh dan mengizinkan.

Merantau....?

Maka di perantauan itulah, kehidupan pelik akan dialami oleh seorang Elang Al-Fatih.

Terpopuler

Comments

V3

V3

yaaaelaah ... up nya dikiiiiiit bgtttttt yaaaaaa 🥺

2023-08-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!