Wajah Berbeda

Aku suami baik?.

Satu kalimat itu mampu menghantui pikiran selepas keluar dari sebuah rumah yang ditempati adik-adik Dilara. Dalam perjalanan pulang, Alan seperti hilang konsentrasi saat berkendara. Ia tak habis pikir, kenapa Dilara menyebutnya sebagai suami baik setelah semua kekerasan fisik dan mental yang ia berikan?.

Kedatangan Alan tadinya hanya untuk melihat seperti apa adik-adik Dilara dan bagaimana cara mereka bersikap. Kado memang sudah ia persiapkan namun masih tersimpan di dalam mobil. Dia paling tak suka basa basi, tetapi setelah melihat betapa polos dan menggemaskan adik-adik Dilara, pria itu pun tersentuh.

Adik-adik Dilara pun memperlakukannya dengan sangat baik. Berlomba membuatkan camilan dan memotong buah segar. Mereka sudah terlihat akrab dengan Alan namun pria itu meminta agar merahasiakan kedatangannya pada Dilara. Semua aman terkendali sampai siang berubah petang barulah Alan pamit undur diri.

Disepanjang jalan, Alan berpikir bagaimana bisa Dilara menyebutnya sebagai suami baik di hadapan adik-adik. Sedangkan ..., Ah entahlah.

Alan me remas kemudi kuat. Satu sisi dirinya masih belum bisa menerima kehadiran Lara namun disisi Lain dirinya juga tak bisa menyalahkan Lara atas pernikahan mereka.

Mungkin secara tidak langsung sang Kakek ingin membantu Dilara. Dari ketiadaan orang tua serta istrinya yang dulu menjadi tulang punggung keluarga, sepertinya sempat menjadi pertimbangan sang Kakek sebelum pada akhirnya dipungut.

Tapi kenapa Dilara, tidak gadis lainnya?.

Hanya pertanyaan itu yang berputar di kepala Alan, hingga tanpa sadar kuda besi yang dikemudikan sudah memasuki gerbang sebuah rumah yang selama ini ia tinggali.

Alan tak mengerti, apakah ini rasa perduli atau sebatas rasa pesaran. Ia tau, hubungan pernikahannya dengan Dilara terlampau hambar. Akan tetapi, kenapa akhir-akhir ini seperti terasa berbeda?.

Selepas kejadian itu Dilara memang sering menghindar namu perempuan itu tak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Berbeda dengannya, ia yang dulu acuh dan enggan menatap sang istri, kini mulai curi-curi pandang. Mencari jika tak terlihat, dan senang jika diperhatikan. Alan sadar, dulu sikapnya tak seperti ini. Kehadiran Lara yang tiba-tiba juga stiker murahan yang terlanjur Alan sematkan, membuat rasa benci dan tak suka itu terus terbentuk, hingga menggunung.

kini Alan seperti dilema. Dilema oleh sebuah rasa yang tak mampu ia jabarkan.

Beberapa saat hanya terdiam di dalam mobil, Alan pun keluar selepas pikirnya benar-benar tenang. Seperti semalam, tas kerja selalu ia bawa agar Dilara tak curiga. Pasti perempuan itu mengira jika sang suami bekerja seperti hari biasa.

”Honey" Sapaan lembut nan mendayu itu menyapa Indra pendengar Alan saat kakinya baru saja keluar dari pintu mobil yang terbuka. Rupanya Dilara sudah menunggu, bukan lagi di depan pintu utama tapi di garasi.

"Hai," jawab Alan setengah terkejut, ia bahkan tak menyadari keberadaan Lara sebelumnya.

Dilara mengulum senyum. Berusaha meraih tas kerja kemudian secepat kilat menjabat tangan Alan lalu mencium punggung tangan itu takzim.

Alan yang terperangah tak mampu menolak. Ia biarkan Dilara menyentuh tangan bahkan menciumnya.

”Honey, kau pasti lelah. Kau ingin langsung makan atau mandi dulu?.” Dilara menyebut beberapa menu kesukaan Alan yang sudah ia masak dengan begitu antusias dan wajah berbinar. Seperti biasa, sifat ceria Dilara nyatanya mampu membuat rasa lelah Alan menguap seketika. Katakanlah dulu dirinya muak ketika Dilara berbicara dengan suara manja. Mendayu, dan menggoda. Akan tetapi, lama kelamaan dirinya jadi terbiasa, dan merasa ada yang kurang jika sehari saja suara menggoda Lara tak ia dengar.

"Aku ingin mandi," jawab.

”Baiklah, tunggu sebentar aku akan siapkan air hangat." Dilara berlari kecil menaiki anak tangga menuju lantai dua. Alan memperhatikan tubuh indah Dilara yang berlari meninggalkannya. Pria itu tersenyum tipis lantas mengekori langkah sang istri.

Rupanya Dilara memasuki kamar tamu. Alan yang semula ingin memasuki kamar Dilara, mengurungkan niat. Ketika memasuki ruangan yang didominasi warna abu itu, Alan bisa mendengar suara-suara kecil yang berasal dari kamar mandi. Benar dugaannya, Dilara tak curiga dan mengira dia hari ini dirinya tetap bekerja di rumah sakit.

Alan duduk di atas ranjang. Merasa tubuhnya begitu lelah, pria itu berbaring menatap langi-langit kamar dengan menggunakan kedua tangan sebagai bantal. Hari ini, banyak aktifitas yang sudah ia lakukan. Tubuhnya benar-benar lelah sampai tanpa sadar tertidur begitu saja.

💗💗💗💗💗

Sepasang mata Alan dipaksa terbuka saat pria itu merasakan sentuhan di area kaki. Spontan pria berkulit putih itu menatap pada anggota tubuh yang sedang disentuh seseorang, dan benar saja, rupanya Dilara tengah memijat kakinya.

"Wah, aku sampai ketiduran."

Dilara yang mendengar suara Alan, terkesiap. Lekas menghentikan pijatan, dan menjauhkan tangan dari kaki Alan.

"Ma-maaf, tadi a-aku hanya .." Dilara ketakutan. Ia bahkan bersiap diri jika Alan tiba-tiba men dorong tau menaamparnya yang sudah berbuat lancang.

"Tak apa," jawab Alan. "Terimakasih," sambung pria itu kemudian. Alan pun bangkit, ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Dilara menatap punggung lebar Alan sampai menghilang di kamar mandi dengan perasaan yang entahlah. Sesungguhnya ia mengetahui jika siang tadi suaminya itu mengunjungi adik-adiknya. Dara yang diminta untuk tutup mulut, pada akhirnya tak bisa menyimpan rahasia itu, hingga membongkarnya pada sang Kakak.

Pada awalnya Dilara terkejut, langsung menelan ludah begitu mendengar Alan datang berkunjung saja sudah membuatnya ketakutan, apa lagi sampai mendengar jika suaminya itu membuat ulah atau bahkan mencelakai adik-adiknya sama dengan yang sering Alan lakukan kepadanya. Akan tetapi kenapa yang dengar dari mulut Dara, berbeda?.

Dara bercerita banyak. Terlihat dari suaranya yang begitu riang dan senang saat menceritakan beberapa kejadian yang mereka lewati di rumah dengan ditemani Alan juga dengan hadiah-hadiah yang Kakak iparnya itu bawa.

"Aku tak menyangka Kakak memiliki suami yang begitu tampan seperti Kakak ipar," celoteh Dara. Dia memuji paras tampan Alan yang lebih mirip seperti aktor yang sering ia tonton di layar televisi.

"Be-benarkah?." Ponsel dalam gengam tangan Lara nyaris terjatuh. Sebentar, apakah Dara berpura-pura. Apa mungkin Alan mengancam sampai Dara memuji Alan?.

"Tentu saja. Kami membuat camilan untuk Kakak ipar, sedangkan Kakak ipar juga memasak nasi goreng untuk kami."

Nasi goreng?, Memangnya Alan bisa memasak?.

"Ternyata benar, Kakak memiliki suami sebaik Kakak ipar. Jika tau seperti ini, kami pasti lega dan tenang meski Kakak jarang mengunjungi kami."

Setelah panggilan Lara terputus, tubuh Lara luruh ke lantai. Alan, benarkah pria itu memperlakukan adik-adik sebegitu baik?. Tapi mana mungkin Dara berani berbohong menyangkut hal sepenting ini?.

Dilara tak membuang kesempatan. Begitu mendengar kepulangan Alan dirinya datang menyambut dan melayani kebutuhan Alan sesempurna mungkin. Beruntung malam ini tak ada penolakan yang berarti.

Sampai pada saat Dilara ingin beristirahat, merebahkan tubuh di atas ranjang, pintu kamar terbuka dan Alan pun muncul.

"Lara, bolehkan aku tidur di sini, bersamamu?." Dilara mengerjap, berusaha menelaah ucapan sang suami. Alan masih berdiri di depan pintu. Sampai beberapa saat Dilara menganggukkan kepala, Pria itu baru memasuki kamar dan menguncinya dari dalam.

Tubuh Dilara mulai gemetar. Peluh dingin mulai menitik di kening meski pendingin udara sudah bekerja semaksimal mungkin. Alan mulai menaiki ranjang, mencari tempat kosong yang tak direbahi sang istri. Sedangkan Lara, beringsut menjauh, memberi ruang kosong untuk ditempati Alan.

Begitu sepasang suami istri itu sudah berbaring berdampingan, keduanya saling pandang sebelum pada akhirnya sama-sama membuang wajah.

Berada dalam situasi seperti ini. Seperti mengingatkan kembali pada kejadian malam itu. Malam dimana Alan berhasil mengambil haknya sebagai seorang suami.

Mendadak tubuh Dilara kembali gemetar. Alan yang tersadar, lekas mengambil bantal guling dan memposisikan benda itu untuk dijadikan sebagai pembatas.

"Tidurlah. Tenang, aku tidak akan macam-macam."

Dilara menanggapi ucapan sang suami dengan anggukkan kecil. Beruntung malam ini dirinya tak memakai lingerie. Ia memakai piyama yang tak menonjolkan lekuk tubuhnya.

Baik Alan atau pun Dilara sama-sama tak bisa tidur. Saat tanpa sengaja saling berpandangan, keduanya sama-sama melempar senyum. Terus seperti itu sampai keduanya jatuh terlelap. Terlelap yang begitu dalam sampai tanpa sadar bantal guling sebagai benda pemisah, sudah terjatuh di lantai dengan mengenaskan.

Tak adanya penghalang serta dinginnya ruangan, membuat keduanya saling mencari kehangatan. Selimut yang menutup tubuh seperti kurang menghalau rasa dingin yang menusuk ketulang, sampai tubuh keduanya bersatu dalam pelukan yang memberi efek kehangatan sampai keduanya semakin terlelap dalam.

Tbc.

Terpopuler

Comments

yesi yuniar

yesi yuniar

ntar bangun2 pada kaget mereka 😄🤭

2023-09-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!