Belaian dan sentuhan jemari Alan yang mendarat di hampir seluruh tubuh miliknya, membuat Lara kembali tersentak pada kejadian semalam. Saat untuk pertama kalinya dirinya merasakan marwahnya sebagai seorang istri.Lara termenung. Selepas kepergian Alan, Lara memilih mengunci diri di kamar.
Gadis itu menatap pergelangan tangan yang masih menyisa memar. Semalam sebelum penyatuan, mereka sempat adu kekuatan. Lara terus meronta. Ia seperti menolak disentuh saat mendapati gelagat tak mengenakkan dari sang suami. Benar saja, sore itu Alan memang diselimuti emosi.
Saat dirinya terus meronta, Alan semakin erat mencengkeram pergelangan tangannya. Terasa sakit luar biasa, terlebih saat pria itu dengan kasar mendorongnya sampai terjerembab keatas ranjang. Tubuh Lara seperti remuk redam, sedangkan Alan semakin gencar menahannya karna nafsu yang kian memburu.
Lara memang menginginkan disentuh, tetapi tidak dengan cara seperti ini. Sebagai wanita ia pun mendamba diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Terlebih selepas kejadian, kata maaf tak jua keluar dari mulut Alan meski pria itu tertangkap basah beberapa kali sedang memperhatikan dirinya.
Bibi pelayan datang, selain untuk mengatar makanan paruh baya itu juga memberikan obat-obat yang menurutnya adalah pemberian Alan. Meski Lara tak tau pasti obat apa yang diberi namun sebagai Dokter perempuan itu bisa menebak jika sang suami tau dengan apa yang ia rasakan selepas kejadian semalam.
Lara akui, setelah tubuh mereka menyatu Alan seperti terkejut. Yang semula menatapnya garang serta menyentuhnya dengan bringas, berangsur melembut. Alan juga menyentuhnya lebih dari satu kali, dan hal tersebut cukup menyiksa Lara yang baru satu kali dijamah oleh seorang pria.
Bukan hanya rasa sakit, Lara juga mengalami trauma. Ia seperti ketakutan bila bertemu dengan Alan. Takut andaikata pria itu menginginkannya lagi namun melakukannya dengan cara kasar seperti semalam.
Rasa bosan setelah berapa lama mengurung diri di dalam kamar, Lara pun keluar. Bertepatan dengan Hary yang datang berkunjung ke kediaman cucunya.
"Tuan," sapa Lara selepas membungkukkan badan.
"Sudah kubilang, panggil saja aku Kakek, jangan Tuan. Kita seperti asing andai ada orang lain yang mendengar," protes Hary, merasa tidak suka.
Dilara tak menjawab. Dirinya memang merasa seasing itu pada Hary mengingat statusnya yang hanya istri diatas kertas bagi Alan,cucunya.
Hary mendaratkan tubuh di atas sofa. Dirinya ingin duduk dan menikmati secangkir kopi.
"Bibi," panggil Hary pada pelayan. Bibi pelayan yang mendengar jika dirinya dipanggil pun lekas mendekat. "Buatkan aku kopi," titah Hary kemudian.
"Baik, Tuan."
Mengikuti pergerakan Hary, Lara pun duduk di sofa yang letaknya berseberangan dengan pria baya tersebut. Mungkin kehadiran Hary juga memiliki tujuan. Entah ingin sekadar menyambangi atau ingin berbicara dengannya. Hary tampak mengeluarkan cerutu dari suatu tempat kemudian menyulutnya, dan menghisapnya dalam-dalam. Kepulan asap keluar dari mulut serta hidung pria tua itu.
"Setelah berbulan-bulan menikah denganmu aku rasa tidak ada yang berubah dalam diri Alan." Hary mulai bersuara. Mungkin inikah bentuk protes darinya.
Dilara menelan ludah. Apa kemungkinan kesepakatan ini akan berakhir jika dirinya tak kunjung hamil.
"Sudah kubilang, pakai pakaian seksi agar Alan tergoda dan mau ...., eh apa itu?." Hary yang semula berbicara dengan berapi-api, tergagap ketika melihat sesuatu yang aneh di leher Dilara.
"Bukankah itu bekas gi-gigitan?. Ya Tuhan apa kalian sudah melakukannya?." Wajah terkejut Hary, kini berubah sumringah. Dilara yang mulai tersadar kemana Arah pembicaraan Hary, buru-buru menutupi bagian lehernya dengan telapak tangan.
Dilara merutuk diri. Terlupa untuk menutupi bagian tubuh di mana banyak tanpa kepemilikan yang ditinggalkan Alan semalam.
"Benarkah jika kalian sudah melakukannya?." Ekspresi wajah Hary begitu penasaran. Ia sampai tak sabar menunggu jawaban dari cucu menantunya. Sedangkan Dilara, perempuan itu sungguh merasa malu. Kenapa hal seintim ini justru dikorek oleh seorang pria seperti Hary.
"Dilara, jawab. Kenapa diam saja."
Dilara sontak mengangguk kemudian menjawab, "Ya, Kakek. Kami sudah melakukannya."
Seperti mendapat kejutan besar. Hary tersenyum lebar diiringi kebahagiaan yang memuncah. Cucunya sudah bersentuhan dengan sang istri, bukankah itu salah satu pertanda jika dirinya akan memiliki cucu?.
"Ya Tuhan, aku seperti mendapat kejutan besar. Dilara, ayo katakan, kau ingin aku membelikan apa untukmu. Mobil, rumah, apartemen, atau apa pun itu. Ayo, sebutkan saja. Kau tinggal memilihnya."
Dilara tertegun demi mendengar penawaran Hary. Benarkah jika hal sekecil apa pun darinya untuk bisa menghasilkan keturunan Alan selalu ditukar dengan materi?. Lalu bagaimana jika penerus itu sudah terlahir kedunia. Apakah Hary akan langsung membuangnya dan mengambil putranya untuk dibesarkan sendiri?.
💗💗💗💗💗
"Ketika bersama Alan, setiap nafasku seakan dihargai dengan uang."
Dilara berbicara dengan dirinya sendiri. Siang itu sepeninggal Hary dari kediamannya bersama Alan, Dilara memilih untuk mengunjungi adik-adiknya. Disana dirinya bisa duduk dengan tenang dan berfikir dengan akal sehat.
Berada di rumah Alan, serasa membuatnya tertekan. Terlebih saat Hary sudah mencecarnya dengan banyak tanya yang menyangkut Alan.
Dilara ingin hidup selayaknya manusia pada umumnya. Bebas seperti burung terbang, dan melakukan apa yang ia mau sesuai kata hati. Akan tetapi, semua mustahil saat jalan hidupnya sudah dikendalikan oleh orang lain.
Untuk makan siang Lara sengaja memasak menu spesial untuk adik-adiknya. Ia tak ingin pernikahannya dengan Alan berimbas pada kurangnya interaksi dengan kelima adiknya. Semua tak ada yang berubah meski dirinya tak lagi sendiri. Lara sadar, adik-adiknya masih butuh perhatian serta kasih sayang yang bukan hanya mereka dapat dari para perawat.
Ditemani seorang pelayan, perempuan berlesung pipi itu menyiapkan bahan-bahan. Ada beberapa menu masakan yang sudah terhidang tetapi Lara masih ingin membuat satu menu spesial lagi. Pekerjaan Lara terganggu saat seorang pelayan lain dari arah luar datang dengan setengah berlari mendekatinya.
"Nyonya di luar ada tamu yang ingin memaksa masuk," lapor pelayan dengan nafas tersegal sehabis berlari.
"Siapa?."
"Entah, beliau perempuan dan kami juga belum pernah melihatnya. Mamang menahannya masuk dengan menutup pintu gerbang tapi orang itu berusaha mendorong dan berteriak."
Benar saja, Lara mendengar teriakan dan suara gaduh dari pintu gerbang.
"Biar aku periksa." Lara berjalan cepat untuk keluar rumah. Mencari tau siapa tamu yang datang dan sudah berbuat onar. Dirinya memang memberi perintah untuk tak memberi akses masuk pada tamu yang tak dikenal meski dengan berbagai alasan.
"Kau berani macam-macam padaku. Kau tau, ini rumah putriku. Jika dia tau kau memperlakukanku seburuk ini, maka ku jamin putriku akan langsung memecatmu detik ini juga."
Satu kalimat panjang yang langsung menyapa indra pendengar Lara ketika perempuan itu keluar dari pintu utama. Lara menghentikan langkah. Suara ini begitu familiar untuknya. Pandangan perempuan itu pun tertuju pada pintu gerbang yang sengaja ditahan oleh seorang tukang kebun. Saat ini perdebatan diantara Mamang dan tamu itu masih terdengar.
"Awas saja kau, aku akan langsung memecatmu saat putriku tau. Nah itu dia putriku."
Lara melangkah mendekati pintu gerbang. Demi apa pun dirinya hanya ingin memastikan siapa pemilik wajah dari suara yang cukup familiar baginya ini. Mungkinkah dirinya salah dengar atau ..
"Lara, Dilara, putriku. Ini Ibu, Nak. Kau lihat, pria boodoh ini melarangku masuk. Ayo pecat saja dia, pria boodoh ini tak tau jika aku ini adalah ibu dari pemilik rumah ini."
Dilara terkesiap. Ia mengerjap guna memperjelas apa yang ia lihat. Tetap, wajah itu sama. Tak berubah meski matanya mengerjab beberapa kali.
"Nyonya, maaf. Beliau terus memaksa masuk, maaf jika saya tak tau bila beliau Ibu dari Nyonya. Tidakkah seharusnya pintu gerbang saya buka, Nyonya?."
"Tidak perlu!." Titah Lara tegas. "Dia bukan Ibuku. Aku tidak pernah melihat apa lagi mengenalnya. Kunci rapat semua pintu dan jangan berikan akses para perempuan itu untuk masuk." Dilara berbalik badan, ia meninggalkan Mamang dan perempuan diluar pagar yang terngangga.
Dilara bukan tidak kenal. Dilara masih ingat dengan jelas siapa perempuan yang berdiri di luar paga. Ya, dia adalah sosok perempuan yang sejatinya sangat ia benci diseumur hidupnya.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
yesi yuniar
ada masalah besar nih antara lara dan ibunya, mungkin karena ibunya meninggalkan mereka 🤔
2023-09-01
1
Japril Tapian Koto
lanjut
2023-08-31
1