"Kakak."
Gadis kecil berusia empat tahun itu memanggil, merentangkan kedua tanggan kemudian berlari kecil menuju seorang perempuan yang baru saja memasuki pintu gerbang sebuah rumah.
Setengah terkejut, Dilara mendapati adik bungsunya yang menyambut. Senyum di bibir berpoles lipstik itu terukir, merentangkan tangan dan setengah membungkuk untuk menyamakan tinggi badannya dengan sang adik.
"Kak, Sena lindu," celoteh gadis kecil itu saat tubuh gembulnya menabrak tubuh sang Kakak. Keduanya berpelukan, melebur rindu setelah beberapa hari tak bertemu.
"Sama, cantik. Kakak juga sangat rindu." Lara mengurai pelukan. Ia tatap lembut wajah sang adik yang tersenyum lucu. Wajahnya mengemaskan dengan kedua pipi putih yang gembul dan bibir tipis kemerahan. Lara tak kuasa untuk mencubit kecil bagian pipi itu sampai si empunya mengaduh.
"Kakak, ayo masuk. Sena senang tinggal disini. Nyaman dan dapat tidul dengan tenang." Sena berbica dengan menggerakkan tubuhnya kekiri dan kamar. Menggambarkan betapa senangnya gadis kecil itu tinggal di rumah baru bersama keempat saudaranya.
Lara tersenyum tipis, mengusap lembut rambut sang adik dan membiarkan Sena lebih dulu masuk ke dalam rumah. Sejenak, Lara menatap sebuah rumah berukuruan cukup luas yang baru satu bulanan ini ditinggali adik-adiknya. Rumah yang diberikan oleh Hary, dengan syarat dirinya mau dinikahkan dengan cucunya.
Lara hanya bisa menghela nafas. Aneh memang, untuk ukuran konglomerat yang mencari cucu menantu dari kaum gelandangan sepertinya.
"Kakak." Terdengar sapaan dari seseorang setelah kepergian Sena. Dari, adik pertama Lara berdiri tak jauh dari sang Kakak.
"Dara." Lara menghampiri sang adik. Ada kebahagiaan tersendiri bagi perempuan 18 tahun itu saat melihat penampilan adik-adiknya sekarang. Lebih bersih dan terawat.
"Kakak datang?." Dara bertanya seraya menilik penampilan sang Kakak dari kaki sampai ujung kepala. Perasaan Dara seperti tak bisa diungkap dengan kata begitu pun ekspresi wajah.
"Ya, Kakak rindu kalian." Memecah kecanggungan, Lara lekas menarik tangan sang adik untuk masuk ke dalam rumah. Rumah besar yang bukan hanya diisi kelima adiknya tetapi ada 5 pekerja lain. Pelayan, perawat, dan tukang kebun.
Di ruang keluarga tampak dua adik prianya sedang bermain game. Begitu menyadari kedatangan sang Kakak, kedua pria itu berlarian, berebut untuk memeluk sang Kakak lebih dulu.
"Kakak." Kedua adik Lara berteriak girang. Memeluk dan berebut mencari perhatian Lara. Dara yang berdiri diam tak jauh dari mereka, lekas memalingkan wajah. Sebagai gadis yang mulai beranjak dewasa, mungkin dirinya sudah lebih mengerti dengan keadaan keluarganya sekarang. Tentang perubahan hidup, dan juga menghilangnya sang Kakak diantara mereka.
Benarkah kehidupan nyaman yang kami jalani sekarang, ditukar dengan Kakak?.
Sejak mereka pindah, ini untuk pertama kali Lara datang. Pada awalnya mereka kerap menangis sebab tak mendapati sang Kakak di sisi, akan tetapi kedua perawat dan pelayan berusaha membujuk. Mengatakan jika Lara sedang bekerja dan mencari uang untuk mereka. Kelima adik Lara mulai faham. Mengisi waktu dengan bersekolah agar sedikit demi sedikit bisa melupakan kehadiran Lara.
Panggilan dari Bibi pelayan untuk makan siang, membuyarkan seisi rumah. Mereka berkumpul di meja makan, dihadapkan hidangan yang bergizi dan mengugah selera. Keempat adik Lara menyambut dengan antusias. Mereka memilih makanan ini dan itu, para perawat yang bertugas menjaga adik-adik lara pun bergerak sigap. Berbeda dengan Dara, gadis itu lebih banyak diam dan menunduk. Makanan nikmat yang ia santap pun tak terasa nikmat lagi. Entah, sepertinya gadis itu bisa merasakan kesakitan yang dirasakan oleh sang Kakak.
💗💗💗💗💗
"Sejak Kakek itu datang, kenapa hidup kita jadi berubah?." Suara lembut milik gadis itu mengejutkan Lara yang sedang duduk termenung di taman.Tersentak. Lara tersenyum, menggerakkan tangan, meminta pada Dara untuk duduk di sampingnya.
"Aku tidak ingin hidup enak, aku hanya ingin tinggal bersama Kakak." Tangis Dara tak mampu dibendung. Terisak, gadis itu menubruk tubuh sang Kakak dan tersedu dalam peluknya. "Aku ingin kita selalu bersama. Seperti dulu. Di rumah peninggalan Ayah dan Ibu."
Sepasang mata Lara ikut memanas. Berulang kali ia menghela nafas agar tak ikut menangis di hadapan Dara. Tidak, kesedihannya tak akan pernah ia perlihatkan di depan adik-adiknya. Cukup hanya dirinyalah yang tau seperti apa rasanya.
"Kata siapa, hidup kita sama sekali tidak ada yang berubah. Kita masih bersama, berkumpul, dan saling memeluk. Kau lihat sendiri 'kan, Kakak sedang memelukmu sekarang?." Lara mengurai pelukan. Menangkup kedua sisi wajah sang adik dan mengusap air mata yang membasahi pipi. "Kakak tidak akan pergi selamanya. Sesekali Kakak akan datang untuk bertemu kalian. Sudah, jangan menangis. Kau akan menyakiti hati Kakak jika menangis seperti ini."
Dara memalingkan wajah. Sepertinya tak sanggup untuk bersitatap dengan perempuan yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya. Dara tau, Lara menyimpan satu rahasia tentang perubahan hidup mereka. Dara pernah mendengar jika sang Kakak menikah namun siapa dan pria mana yang sudah menikahi, Dara tak tau sama sekali.
"Andai Ayah masih hidup pasti hidup kita tak akan seperti ini," keluh Dara yang sontak membuat Sepasang mata Lara menatap tajam.
"Dara, sudah. Ini sudah menjadi takdir. Biarkan Ayah beristirahat dengan tenang. Tak perlu lagi mengusik, terlebih lagi membahas tentang Ibu." Daada Lara terasa nyeri. Kenapa Dara justru mengungkit orang tuanya disaat-saat seperti ini.
"Kau anak yang baik, begitu pun adik-adik. Kakak mohon, biarlah kita hidup seperti ini. Kakak juga sudah menikah dan hidup dengan bahagia."
"Benarkah," ragu Dara. "Kenapa Kakak tidak mengajak Kakak ipar untuk mengunjungi kami?."
Lara menelan saliva, ia seperti kebingungan guna mencari jawaban yang paling tepat. Tidak, Dara tak boleh curiga.
"Kakak," panggil Dara saat Lara tak jua menjawab.
"Em su-suami Kakak sedang bekerja, ya sedang bekerja. Kau tau, dia seorang Dokter spesialis yang cerdas dan juga tampan." Lara menceritakan tentang Alan, kelebihannya serta sesuatu yang pria itu sukai. "Karna jarang makan siang bersama, Kakak jadi sering mengunjungi rumah sakit dan membawa bekal. Kami makan berdua di ruang kerjanya. Romantis 'kan?." Lara memasang wajah seceria mungkin untuk diperlihatkan pada sang adik. Hah, makan berdua di Rumah sakit?. Tapi kenyataannya Alan selalu membuang makanan apa pun yang ia bawa.
Melihat begitu berbinarnya sepasang mata Lara saat bercerita, bibir Dara pun ikut tersenyum dibuatnya. Gadis itu merasa lega, merasa yakin jika hidup sang Kakak bahagia dengan pria pilihannya.
"Aku jadi penasaran, setampan apa wajah Kakak ipar sampai Kakakku ini menggilainya."
Lara hanya menggulum senyum.
"Kapan-kapan bawa kakak ipar kemari. Ok, aku menunggunya."
Senyum di bibir Lara perlahan memudar. Membawa Alan datang kemari bukankah menjadi musibah. Selain takut jika Alan tak mengakuinya sebagai istri di hadapan adik-adik, Lara juga sanksi apakah suaminya itu mau untuk datang berkunjung. Alan tak perduli padanya, Alan pun tak tau latar belakang serta kehidupannya. Lara menyesal. Menyesali segala puja dan puji yang sudah ia berikan pada Alan di depan Dara. Anda waktu bisa diulang, mungkin lebih baik jika tak ia ceritakan tentang siapa Alan pada Dara.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
yesi yuniar
lara wanita yg hebat 👍👍
2023-08-25
0
Fitri Yani
up lagi Thor seru
2023-08-22
0