Andaikan cermin bisa bicara, pasti diakan kebingungan untuk membaca setiap ekspresi wajah milik seorang gadis yang setiap hari duduk dan memandanginya. Dilara, gadis itu seperti memiliki dua kepribadian. Terkadang murung juga terkadang ceria serta menggoda, dan hal tersebut hanya diketahui oleh cermin meja rias yang terpajang kokoh di dalam kamar pribadinya dengan Alan.
Dilara termenung, memandangi pantulan wajahnya dalam diam. Saat Alan meninggalkan rumah, dirinya hanya diam dan melamun. Sungguh sangat berbeda ketika Alan berada di rumah, gadis itu akan mmerubah total stelan wajah dan gerak tubuhnya.
"Belum lagi jika kau berhasil mengandung pewaris Wirdo Hutomo. Sekolah adik-adikmu bahkan terjamin sampai perguruan tinggi juga mendapat jabatan mentereng di perusahaan Wirdo Hutomo Group. Bagaimana?."
Rupanya satu kalimat dari Hary tersebut yang membuat karakter Lara berubah total dari sikap aslinya.
Semua yang ada dalam diri lara, dirombak total. Lara menyentuh bagian wajahnya yang cantik berseri meski tanpa riasan. Apa yang dimiliki kini, rupanya tak datang begitu saja. Wajahnya yang dulu biasa saja, berkat melewati banyak proses dan perawatan, kini berubah menjadi jelita, sebuah anugerah yang digandrungi banyak kaum hawa.
Tubuhnya yang sintal dengan lekuk tubuh sempurna serta kulit tubuhnya yang putih bak pualam, juga ia dapat dengan cara beragam dan juga mengeluarkan.uang yang tak sedikit. Begitu kesepakatan didapat, Hary langsung membawanya ke sebuah klinik kecantikan. Tiga bulan lebih Lara melakukan berbagai perawatan. Membuat dirinya yang dulu dekil dan kusam, berubah menjadi bidadari dengan menggunakan uang milik Hary.
"Cucuku memiliki kepribadian dingin. Tak mudah diajak bicara apa lagi disentuh."
Lara yang semula menundukan wajah pun mendongak lantas menjawab, "Jika beliau tak mudah disentuh, lalu bagaimana kami punya anak?." Pria dingin, tak tersentuh. Satu pikiran tentu langsung bermuara pada kehidupan pernikahannya nanti. Anak.
"Mudah, kau goda saja dia. Pakai pakaian yang terbuka untuk mengundang haasratnya. Aku yakin jika semua pria tak akan tahan bila terus digoda apalagi oleh perempuan cantik, tak terkecuali Alan." Mudah bagi Hary untuk berbicara saat itu. Sedangkan Lara, gadis itu seperti mendapat angin segar. Menggoda, jadilah wanita penggoda untuk suamimu sendiri. Itulah kata-kata yang ia praktekan sampai detik ini. Akan tetapi yang Lara pikir mudah saat itu untuk bisa menaklukkan Alan, nyatanya hanya angan saat sampai detik ini, kulit tubuh Alan pun masih sulit untuk ia sentuh.
"Nyonya."
Pandangan Lara menggeser ke arah pintu kamar yang tertutup saat seseorang memanggil namanya dari luar. Bibi Pelayan yang rupanya datang.
Sedikit malas Lara menggerakkan anggota tubuh untuk membuka pintu.
"Nyonya," panggil Bibi pelayan saat pintu kamar sang Nyonya terbuka. Seraut wajah cantik itu terlihat, menggenakan stelan piyama panjang yang menutup tubuhnya. "Saya datang membawa makanan. Em saya fikir, sejak pagi tadi Nyonya belum makan apa pun." Ragu-ragu Bibi pelayan berucap. Dirinya datang membawa nampan berisi makanan serta minuman. Sejak kepergian Tuannya tadi yang tanpa sarapan, rupanya sang Nyonya pun melakukan hal sama. Tak menyentuh apa lagi memakan hidangan yang sudah tersaji di meja makan.
"Terimakasih, tapi saya tidak lapa, Bibi," tolak Lara dengan suara lembut. Akan tetapi Bibi pelayan tak ingin mendengar adanya penolakan. Nampan yang ia bawa, ia berikan pada lara. Setelahnya paruh baya itu menundukan kepala dan undur diri.
Di tempatnya Dilara menghela nafas dalam. Bohong besar jika dirinya tak lapar. Sepanjang hari yang ia inginkan adalah Alan duduk di meja makan dan menikmati hidangan, maka pada saat itu dirinya pun akan makan. Akan tetapi bila Alan tak memakan apa pun yang terhidang di meja, maka Lara pun memilih untuk tidak makan. Hal tersebut rupanya sudah berlangsung saat keduanya resmi menjadi suami istri meski tak pernah Alan sadari.
Lara tak berminat untuk mencicipi makanan, ia lebih memilih untuk meneguk segelas susuu murni untuk mengisi perut.
Hari ini masih seperti hari biasa. Lara hanya akan berada di kamar sampai Alan datang.
💗💗💗💗💗
Gaun tanpa lengan seatas lutut membentuk sempurna tubuh Lara yang sintal menggoda. Rambut perempuan itu tergerai indah demi menyambut Alan sepulang bekerja. Parfum mahal favorit Alan ia semprotkan keseluruh tubuh. Harumnya bahkan memenuhi seisi ruangan.
Begitu mendengar suara mesin kendaraan memasuki diri, Lara lekas merapikan diri. Memastikan penampilannya lewat pantulan cermin agar tak ada satu pun riasan ditubuhnya berantakan sedikit pun.
Sepulang bekerja Alan jarang memasuki kamar mereka, pria itu lebih senang berada di kamar tamu dan tak keluar sampai esok pagi. Maka dari itu Lara harus bergegas untuk kehilangan kesempatan untuk menggoda Alan dan membujuknya untuk tidur bersama.
Lara menghela nafas. Tidur bersama?. Lara bahkan ingin tergelak mendengar kalimatnya. Mustahil rasanya bisa tidur bersama bila Alan saja serasa muak bila melihat wajahnya.
Inilah konsekuensi yang sudah Lara ambil. Dinikahi seorang pria yang tak pernah mencintainya demi masa depan kelima adiknya.
Tak ingin berlama-lama, Lara lekas ingin menemui Alan dan keluar dari kamar. Akan tetapi, baru saja pintu itu terbuka, sesosok tubuh tinggi besar justru sudah menubruknya.
"Ini ken----, ka-kau ken--" Antara tekejut dan takut. Alan rupanya membuka pintu dan langsung memeluk lara atau lebih tepatnya pria itu setengah ambruk di tubuh istrinya.
Tak ada sahutan. Keduanya sedang berdiri diambang pintu dengan Lara yang seperti bertahan menerima beban berat. Posisi tubuh Alan sedang memeluknya, menjatuhkan kepala diceruk leher Lara. Sejenak aliran ditubuh perempuan cantik itu seakan terhenti. Lara menahan nafas saat deru nafas Alan dengan terasa jelas di lehernya.
"Kau kenapa?." Lara bertanya lirih, tetapi samar dirinya mencium aroma alkohol dari bibir Alan yang sedikit terbuka.
Dia mabuk, pantas saja.
Semula Lara ingin berbangga hati saat Alan tiba-tiba memeluknya. Pelukan pertama seumur pernikahan mereka. Akan tetapi setelah disadari, rupanya hal tersebut tidak akan pernah terjadi jika Alan sedang dalam kondisi sadar.
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Alan. Sepasang mata pria itu terpejam dengan kepala bertumpu di bahu Lara. Hanya deru nafasnya yang terdengar beraturan. Terasa lembut dan hangat saat menerpa kulit Lara.
Berat tubuh Alan yang tahan, mulai tak kuat ia sandar hingga nekat memapah pria tampan itu menuju ranjang. Tertatih Lara menyeret langkah, membawa tubuh besar Alan agar tak terbangun dan bisa beristirah dengan nyaman.
Butuh waktu dan tenaga ekstra untuk bisa membawa tubuh Alan. Sepatu dan kaos kaki pun dilepas agar Alan terasa nyaman. Jika untuk mengganti pakaian kerja dengan piyama, tentu Lara tak punya keberanian sampai pada level itu. Bisa-bisa Alan langsung mencincangnya jika tersadar.
Udara dikamar Lara atur sebaik mungkin. Selimut yang biasa menutupi dirinya kini ia pakaikan untuk Alan. Dalam diam, Dilara menatap wajah Alan begitu dalam. Entah sampai kapan kehidupan pernikahannya akan sedingin ini.
Bolehkan ia meminta untuk hidup bahagia sebagaimana sebuah keluarga pada umumnya meski menikah tanpa cinta?.
Lara mundur beberapa langkah. Malam ini ia putuskan untuk tidur di sofa. Jika mengikuti naluri, ia pasti ingin tidur diranjang dan memeluk suaminya semalaman. Akan tetapi lagi-lagi Lara ditampar kesadaran. Mereka tak mencintai, akan lebih baik ia menghidar dari pada disakiti.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
insani94
upp yang banyaaakkkkkk kakak
2023-08-19
0
Ariyanti
sedih bngt ceritanya..ngena bngt di hati,,bikin ceritanya pake hati bngt ka,,apalagi bc nya pas hati kita lagi galau,,ya allah sedih bngt ,yg sabar ya lara,,nanti pasti akan indah pd waktunya,,
2023-08-19
1