Wirdo Hutomo Hospital merupakan sebuah rumah sakit tempat Alan bekerja. Rumah sakit swasta tersebut pun masih tergolong milik keluarganya. Butuh bertahun-tahun lamanya bagi pria muda tersebut dalam mengenyam pendidikan hingga sampai pada akhirnya menyandar gelar Dokter Spesialis Bedah yang sejatinya bukanlah murni atas keinginannya.
Alan tak suka mencium aroma obat-obatan, Alan pun mempunyai ketakutan tersendiri saat melihat luka atau segala macam apa pun yang berhubungan dengan daarah. Akan tetapi karna ambisi sang Kakek yang butuh seorang penerus sekaligus cucu yang dapat dibanggakan, membuat rasa tidak suka dan ketakutan dalam diri Alan binasa dengan sendirinya akibat campur tangan dan didikan keras sang Kakek.
Kehidupan Alan sangatlah keras. Terlahir dari keluarga berada tak serta membuatnya hanya duduk santai dan berpangku tangan. Terlebih dengan kondisi pernikahan orang tuanya yang carut marut.
Begitu memasuki pintu utama Rumah sakit. Beberapa jadwal oprasi sudah tersusun rapi dalam ingatan.
Beberapa rekan seprofesi menyapa. Alan hanya tersenyum tipis tanpa membalas sapaan. Seluruh rekan tak terkejut dengan ekspresi yang ditujukan pewaris Wirdo Hutomo Hospital tersebut sebab sudah begitu hafal akan sifat Alan yang cuek dan terkesan tak bersahabat dengan orang lain di sekeliling.
Tak sempat sarapan akibat bersitegang dengan Lara membuat Alan terpaksa menikmati sarapan di ruang kerja dengan makanan yang sempat ia beli diperjalanan.
Salah seorang pria yang tak lain Asisten Alan memberitahukan jika jadwal oprasi dimulai sepuluh menit lagi. Alah hanya mengangguk samar. Ia mempersilahkan pada Asisten tersebut untuk pergi lantas pria itu menghabiskan makanannya sendiri.
Jika bukan teman sesama profesi, nyaris tak ada yang mengenali saat tubuh seorang Alan terbungkus pakaian khusus saat memasuki ruang oprasi. Wajah tampan itu sebagian tertutup oleh masker. Begitu pun bagian tubuh lain. Akan tetapi postur tubuh Alan yang tinggi tegap, membuat pesonanya tetap terlihat meski sebagian tubuh serta wajahnya tertutupi.
Ruangan dingin menyambutnya. Beberapa rekan medis lain sudah menggelilingi seorang perempuan yang terbaring di atas brankar dengan perut yang membesar.
Alan menghela nafas dalam. Saat seperti inilah yang paling tak ia suka. Membantu proses persalinan dengan pasien yang ditemani oleh pasangannya.
Alunan musik terdengar samar mengisi ruang oprasi yang terasa dingin sampai menusuk tulang. Alan bisa merasakan ketegangan dalam diri pasien serta pasangan yang kini saling mengengam tangan dan menguatkan. Seorang rekan tampak memimpin doa sebelum proses persalinan dilangsungkan. Alan sempat melirik pada sepasang calon Ibu dan Ayah itu sebelum menyentuh bagian perut sang pasien untuk memulai proses.
Spontan Alan memalingkan wajah. Setiap membantu proses kelahiran, naluri dalam diri Alan seolah berontak. Ucapan saling menguatkan, serta tangis haru pasangan saat bayi mereka terlahir ke dunia, nyatanya mengoreskan luka yang teramat sangat bagi seorang Alan Wirya Hutomo yang terlahir dari keluarga kurang harmonis.
Tangisan melengking dari bayi yang baru saja dilahirkan, memenuhi ruangan. Tangan Alan yang terbungkus , menyentuh insan kecil yang masih berlumuran darah untuk diperlihatkan sejenak pada orang tuanya sebelum proses pembersihan serta perawatan. Wajah bahagia bercampur sedih terpancar jelas dari wajah kedua orang tua kala melihat wajah buah cinta pertama mereka untuk pertama kali.
Tugas Alan selesai dan digantikan oleh staf medis lain. Pria itu pun keluar, menuju ruang oprasi lain yang hanya berjarak beberapa langkah dari ruang sebelumnya. Begitu kiranya rutinitas Alan dalam setiap harinya. Lelah tak lagi dirasa. Profesi yang sejatinya dulu tak pernah ia suka, nyatanya kini mampu menyita banyak waktunya.
Hidup Alan hanya untuk bekerja. Menjadi Dokter bedah terbaik sesuai atas keinginan sang Kakek. Untuk urusan asmara, Alan nyaris tak punya impin. Baik sakadar menikah dan memiliki beberapa anak di masa depan. Pria tampan itu bahkan pernah berujar untuk tak akan pernah menikah selama hidupnya yang sontak mendapatkan satu bogem mentah dari sang Kakek yang tanpa sengaja mendengar ucapannya. Akan tetapi hal tersebut terjadi sebelum Dilara hadir dalam kehidupan Alan. Dilara, sosok gadis tanpa asal usul yang dibawa oleh sang Kakek untuk dijadikan cucu menantu.
💗💗💗💗💗
Jika beberapa hari lalu rumah seakan menjadi tempat peristirahatan yang paling nyaman untuk Alan namun rupanya tidak untuk sekarang. Rasa lelah yang menjalar di tubuh serta kantuk yang mulai mendera, membawa langkah kaki Alan untuk kembali pulang. Ia ingin mandi dan beristirahat sebelum berperang dengan peralatan medis esok hari. Akan tetapi pria itu harus menghela nafas lelah saat pintu rumah utama yang ia ketuk terbuka dan menampilkan sesosok tubuh gadis yang sepertinya sudah menunggunya.
"Honey, kau datang?." Suara riang sang gadis yang menyapa indra pendengaran Alan, begitu risih untuk pria itu dengarkan. Terlebih penampilan sang gadis yang sudah seperti..
"Benar-benar murahan," cibir Alan. Ia melengos dan melenggang pergi. Mengabaikan tangan Dilara yang sudah terangkat diudara, ingin menyentuh tangan sang suami sepulang bekerja.
Sepeninggal Alan, Dilara menghela nafas. Tangan yang masih mengambang diudara ia turunkan. Tak ada raut kecewa. Gadis itu hanya mengulas senyum, sebelum menyusul langkah Alan ke kamar.
💗💗💗💗💗
"Honey, pakaianmu sudah aku persiapkan. Kau hanya perlu memakainya em atau kau mau aku yang memakaikan?."
Alan yang baru saja keluar dari kamar mandi, membanting pintu begitu mendengar ucapan Dilara yang baginya tidak pantas. Alan memasang wajah garang. Dengan hanya berbalut kain handuk yang menutupi daerah perut hingga lutut, Alan mendekat pada sang istri.
Dilara terkesiap saat Alan tiba-tiba mencengkeram kedua bahunya cukup kencang. Sakit. Sepasang tangan besar itu seakan ingin meeremas dan menghancurkan kedua bahu kecilnya.
"Kenapa kau masuk kamarku tanpa izin?." Alan bertanya dengan sepasang mata melotot tajam, mengarah pada sang lawan bicara.
Dilara yang kesakitan, sebisa mungkin terlihat biasa-biasa saja. Gadis itu bahkan tersenyum. Seolah reemasan tangan besar Alan dibahunya tidak menimbulkan rasa.
"Bukan hanya kamarmu, sejak kemarin kamar ini sudah menjadi milik kita, Honey." Dilara menggedipkan mata. Bola mata lebar itu mengerjap indah namun sama sekali tidak menarik untuk Alan. "Dan lepaskan dulu tanganmu dari bahuku. Kita pasangan suami istri, Honey. Bukankah tidak boleh jika saling menyakiti?."
Alan meringis.
"Suami istri?." Alan bahkan melludah di setelah bicara.
"Oh, kau lupa apa pura-pura. Em atau perlu aku ingatkan lagi jika kemarin kita sudah menikah?. Ah, seharusnya aku menghubungi Kakek saja." Dilara menyentuh kantung pakaian untuk mengambil ponsel yang tersimpan akan tetapi dengan cepat Alan merebutnya.
"Daasar ibliss, Kau," maki Alan seolah ingin menelan Dilara hidup-hidup. Dilara tersenyum penuh kemenangan sedangkan Alan geram tiada kira. Menyisakan emosi yang membara, Alan lekas meraih sepasang pakaian yang sudah Dilara persiapkan sebelum keluar dari kamar pribadinya untuk menempati kamar tamu yang baginya lebih aman dari ruangan mana pun di rumahnya.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
yesi yuniar
semangat dilara 💪💪💪💪
maju terus pantang mundur
2023-08-22
0