Beberapa Bulan Lalu
"Menikahlah dengan cucuku, dan aku beri kau satu Milyar sebagai imbalan."
Gadis berkulit coklat itu terdiam, sementara pandangannya lekat tertuju pada pria senja yang beberapa derik lalu memberinya penawaran. Dalam hati, gadis itu tergelak. Penawaran macam apa ini?.
"Maaf, Tuan. Saya sama sekali tidak tertarik dengan penawaran yang anda berikan." Bukan berniat mengusir, namun tangan gadis itu mengarah ke arah pintu seakan meminta pada tamunya untuk lekas pergi.
Pria tua itu menghela nafas dalam. Ia yang pada saat itu ditemani supir pribadi dan seorang pria berjas, pada akhirnya memilih pergi setelah terusir dari pemilik rumah.
Tubuh Lara luruh ke lantai. Antara takut dan cemas, ia menerima serombongan tamu yang tak dikenal.
Saat itu, Lara memang pernah menolong seseorang korban penjambretan namun ia menyangka jika seseorang yang sudah ia tolong itu malah mendatangi dan menawarkannya sesuatu hal yang menututnya giila.
Aku tak mengenal mereka, begitu pun sebaliknya tetapi kenapa pria itu memaksa agar aku mau dinikahi cucunya?. Dan apa tadi, satu milyar?.
Siapa yang tak tergiur dengan uang milyaran yang pria itu sebutkan. Akan tetapi dirinya pun tak ingin menikah dengan seseorang yang tak dikenal apalagi dari pihak mereka sampai menawarkan uang.
"Kak, kami lapar," rengek salah satu adik perempuan Dilara.
Gadis itu terkejut. Tersadar dari lamunan dan langsung mendekati sang adik yang tampak meremas bagian perut yang tertutup pakaian kumal.
Hati Lara teriris perih, sebab berganti dengan satu rekan sesama juru parkir, hari ini Lara tak bekerja dan secara otomatis ia pun tak punya pemasukan. Beras juga mie instan yang ditukarnya semalam mungkin sudah habis tak tersisa, dan untuk hari ini mereka harus makan apa?.
Belum reda tangis sang adik, kedua adiknya yang masih balita juga ikut datang dan menangis. Mereka mengelur lapar namun tak ada sesuatu apa pun yang dapat dimakan.
"Dara," panggil Lara pada adik pertama yang usianya berbeda 3 tahun di bawahnya. Dara, gadis itu muncul dari arah dapur dengan wajah murah. Lara tau, jika Dara memasang wajah seperti ini maka dipastikan jika bahan makan sudah tak ada lagi.
Lara mengingat sesuatu. Gadis itu pun bergerak ke arah kamar dan membuka laci untuk mencari sesuatu. Benar saja, satu lembar uang berwarna hijau rupanya masih tersisa di lacinya. Ya, Tuhan. Ini Lara seperti mendapatkan harta karun yang tak ternilai harga.
"Ambil, dan belilah sesuatu untuk mengganjal perut adik-adik," titah Lara seraya mengulurkan selembar uang itu pada Dara. Sang adik menerima dengan mata berkaca. Mengangguk lemah, gadis berusia 15 tahun itu lekas keluar rumah menuju warung terdekat.
Seperginya Dara, Lara pun tak berdiam diri. Ia menuju pasar untuk memungut sayur sisa pedagang untuk dibawa pulang. Setidaknya jika mereka memiliki, sayur sisa yang ia cari dapat dimasak, dan sebagiannya bisa dijual.
💗💗💗💗💗
Hidup masih terasa perih bagi Lara serta kelima adiknya. Uang hasil kerja kerasnya hanya cukup untuk makan. Sedangkan untuk pendidikan, kelima adiknya bahkan sudah putus sekolah karna terhalang biaya.
Terkadang, saat berada dititik terendah, Lara merasa putus. Pernah ingin memilih jalan pintas dengan mengakhiri hidup, namun bagaimana dengan nasib kelima adiknya andai dirinya pergi?.
Teriknya mentari membuat Lara yang semula sedang memilah sisa sayur di tempat sampah, memilih beristirahat sejenak. Ia bersandar di dinding lapak pedang kemudian meneguk sebotol air yang bawa.
"Andai kau menerima tawaranku, maka kau tak perlu berlelah-lelah seperti ini." Suara yang datang tiba-tiba datang dari balik punggung, membuat Lara terperanjat. Gadis itu lekas membuang wajah saat tau Hary lah, pemilik suara yang baru saja menegurnya.
"Jika kau tak mengasihi dirimu, setidaknya kadihanilah adik-adikmu. Mereka butuh kehidupan, tempat tinggal, dan makanan layak."
"Apa maksud anda, Tuan?. Saya rasa anda sudah salah sangka. Hidup saya serta adik-adik sangat baik. Mereka juga bahagia dan tak mengeluh sama sekali meski kondisi kami kekurangan."
"Bohong," sangkal Hary. Pria itu tidak bodoh dan melihat dengan mata kepala sendiri seperti apa kehidupan menyedihkan Lara juga adik-adiknya. "Gurat wajah lelah dan peluh yang menetes di tubuhmulah yang tak bisa berbohong. Kau lelah, kau lapar tapi kau kesusahan untuk mendapatkan makanan."
Dilara membuang wajah. Gadis itu malu, berusaha menutupi namun pada kenyataannya Hary justru tau semua.
"Lalu apa mau anda?."
"Mauku, kau menikah dengan cucuku."
Dilara menelan saliva susah payah. Menarik nafas dalam lalu menatap kesekeliling. Rasanya akan terlihat tidak baik jika sampai ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.
"Lebih baik kita bicara di rumah. Tidak enak jika ada seseorang yang mendengar sampai berfikir yang tidak-tidak." Dilara membawa Hary pergi. Menuju kediamannya yang lebih mirip seperti gubuk.
Dilara tentu dibuat bingung. Kenapa Hary begitu kukuh untuk menikahkan dirinya dengan cucu dari pria kaya tersebut. Dia tidak cantik, tidak wangi, apalagi seksi. Lalu apa kelebihan yang ia punya sampai pria tua ini terus mengejarnya untuk bisa dijadikan cucu menantu?.
"Tuan," panggil Lara selepas menetralkan deru nafas.
"Ya," jawab Hary dengan suara tenang.
"Apa alasan utama yang membuat anda bersikukuh untuk menikahkan saya dengan cucu anda?. Kita tak sepadan, Tuan. Dari segi apa pun kita tetap tak sepadan."
Hary tampak santai. Menyandarkan punggungnya ke dinding, dengan satu kaki bertumpu pada kaki lain.
"Apa setiap keinginan seseorang membutuhkan sebuah alasan?." Hary justru balik bertanya, dan membuat lawan bicaranya sulit memberi jawaban.
"Jika kau menolak satu milyar yang kutawarkan, bagaimana jika aku memberi penawaran lain?." Hary tersenyum miring. "Hanya dengan kata 'Setuju' saja untuk menikah dengan cucuku, maka sebuah rumah mewah sudah sah menjadi tempat tinggal adik-adikmu."
Ap-apa?.
"Hidup kelima adikmu pun akan terjamin. Makan minum bahkan pendidikannya sampai sekolah menengah pertama."
Dilara menelan saliva. Tempat tinggal dan pendidikan adik-adiknya. Sekelebat wajah bahagia kelima adiknya memenuhi benak.
"Belum lagi jika kau berhasil mengandung pewaris Wirdo Hutomo. Sekolah adik-adikmu bahkan terjamin sampai perguruan tinggi juga mendapat jabatan mentereng di perusahaan Wirdo Hutomo Group. Bagaimana?." Hary menyerigai. Pria itu tersenyum licik saat mendapati wajah bimbang Lara. Antara ingin menolak tetapi juga tergiur dengan penawarannya.
Hary tau. Jika untuk diri sendiri, Lara mungkin tak perduli tetapi untuk adik-adiknya, tentu gadis itu akan berfikir berkali-kali lipat antara ingin menolak atau menerima.
Sampai apa yang diinginkan Hary, benar-benar tercapai. Lara menerima penawaran Hary, meski menggadaikan masa depannya demi kebahagiaan adik-adiknya.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
yesi yuniar
semangat kak... 🤗😍
2023-08-23
0