Matahari menyingsing, cahayanya mengenai wajahku.
Aku menggeliat. Rasa nyaman membuatku enggan untuk membuka mata. Karena cahaya matahari, aku mengubah posisi tidurku. Tapi, udara yang membuat rambut-rambut mungil pada permukaan kulitku mencegahku untuk melanjutkan mimpi yang seketika terlupakan.
Selain itu, perutku segera meminta untuk diisi.
Layar Inventory muncul. Aku telah memposisikan diri untuk duduk. Tidak ada barang selain Paket Makan Malam yang telah diisi ulang dengan membelinya di Shop, dokumen-dokumen yang menjadi bukti kejahatan D'Meatros, juga ada Paket Sarapan dengan jumlah yang sedikit berbeda.
Aku mengeluarkan satu porsi Paket Sarapan. Ketika aku telah siap untuk memakan sesuap roti hangat, tanganku terhenti.
Setelah kesadaranku pulih lebih banyak, aku terlambat menyadari bahwa ada orang lain yang sedang duduk tidak jauh dariku. Dia seorang wanita berambut coklat kastanye. Wajahnya mengingatkanku pada kejadian sebelum aku tidak sadarkan diri. Bahkan, aku telah mengira saat itu bahwa kematian telah datang menjemput.
Mungkinkah aku sungguh masih hidup?
Aroma kehidupan masih terasa. Untuk beberapa alasan yang sulit dijelaskan, dugaanku tentang kematian segera ditepis. Jadi, aku tentu saja masih hidup dengan keajaiban.
Wanita itu, syukurlah dia selamat. Mungkin dugaanku benar bahwa pejuang orc yang jantungnya telah ditusuk oleh tombak milikku hanya menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk memberikan luka fatal padaku. Dengan sisa tenaganya yang luar biasa, aku sampai tidak sadarkan diri, sama sekali tidak berdaya karenanya. Pada akhirnya, pejuang orc segera dijemput oleh kematian begitu sisa-sisa tenaganya habis terpakai.
Masalahnya, wanita itu pasti baru saja melihat kemunculan Paket Sarapan yang tiba-tiba. Mungkin dia tidak begitu bingung tentang itu, mengingat dia adalah seorang penyihir. Bagaimanapun, ada fenomena tidak biasa di pertarunganku dengan pejuang orc berlangsung.
Dua kali, aku melihat pemandangan di mana tangan-tangan hitam muncul dari bayangan di bawah pejuang orc, dan mengikat tubuhnya.
Selain itu, banyak kejadian yang tidak biasa padaku sendiri selama beberapa hari terakhir.
Mengalami semua itu, sejujurnya, aku masih belum terbiasa. Bahkan, kehidupanku yang telah mengalami banyak kemajuan di tempat yang asing ini masih sulit untuk dipercayai. Dan, tentu saja aku mau tidak mau harus mempercayainya.
Ini bukanlah mimpi.
Jadi, reaksi wanita itu ketika dia melihat apa yang baru saja kulakukan adalah...
Tanganku lanjut memasukkan sepotong roti ke mulutku. Tampaknya, dia sedang melamun. Itu bagus untukku, sehingga aku tak perlu menjelaskan hal-hal yang perlu dijelaskan ketika dia mempertanyakannya.
"Ka-kamu... mau?" aku menyodorkan potongan roti lainnya kepada wanita itu.
"Oh?"
Dia tampak terkejut, mungkin karena suaraku mengganggu lamunannya.
"Apa kamu yakin?" dia bertanya dengan menunjukkan raut wajah keheranan. Tentu saja, yang merasa heran di sini adalah aku atas pertanyaan yang dilontarkannya.
Aku tersenyum kecil. "Kenapa tidak?"
Di tempat asing, kupikir ada kalanya aku perlu memahami hal-hal yang tampak aneh, dan itu memerlukan waktu untuk dapat terbiasa.
Jadi, aku tidak begitu memikirkan tentang pertanyaan anehnya.
"Lembut," gumamnya pelan, dia baru saja menggigit kecil roti pemberian dariku. "Ini pasti roti mahal. Apalagi di tempat seperti ini, dia malah memberikannya padaku...."
Padahal hanya sepotong roti, tapi rasanya aneh mendengar seseorang menganggap pemberian roti saja tampak sesuatu yang berlebihan.
"Ngomong-ngomong, aku, Kaellan. Apa... aku boleh tahu... namamu?"
"Boleh kok," katanya, sebelum berdiri. Lalu dia sedikit menarik ke atas sisi kiri dan kanan jubah yang berada di dekat pahanya. Sambil sedikit menekuk lutut dan kepala yang menunduk dengan anggun, dia lanjut berkata, "namaku Dragomir Bianca. Aku adalah penyihir pemula berelemen kegelapan. Untuk yang kemarin, aku sungguh berterimakasih padamu, dan maaf karena telah membuatmu terluka parah."
Aku berdiri, hendak mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja terlepas dari aku yang tidak sadarkan diri karena menerima serangan penghabisan dari pejuang orc.
"Ah! Tidak! Rotinya...," Bianca tampaknya lupa pada roti di tangannya, mungkin dia tak sadar telah menjatuhkannya saat dia memperkenalkan diri dengan cara yang tak biasa.
Roti yang tergeletak di tanah, aku sebenarnya melihatnya terjatuh. Tapi, perhatianku saat itu lebih terfokus untuk melihat Bianca.
Untuk roti yang telah sedikit kotor, Bianca kembali mengambilnya. Dia mengusap-usap bagian roti yang kotor, merawatnya seperti sebuah barang yang berharga, kemudian menggigitnya.
"Padahal, aku bisa memberimu roti lagi, daripada memakan roti yang kotor...," aku tertegun sebentar, sehingga terlambat mengatakannya.
"Ini masih bisa dimakan, lho. Sangat disayangkan kalau membuang-buang roti yang lembut ini. Apalagi, orang-orang yang sedang kesusahan mencari makanan pasti akan mengutukku kalau mereka melihatku membuang makanan."
"Apakah begitu?"
Dia mengangguk pelan sambil lanjut menggigit roti miliknya.
Apa memang sesulit itu mencari makanan sampai-sampai ada yang akan mengutuk orang yang memiliki makanan tetapi makanannya dibuang dengan alasan kotor? Mungkin dia terlalu berlebihan memikirkan tentang anggapan orang. Bagaimanapun, kalau masih ada banyak makanan, kenapa tidak memakan yang masih bersih dan membuang yang kotor?
Yah, aku tidak bisa memaksanya untuk tidak memakan roti kotor tersebut, selama dia memang menyayangkannya untuk membuang rotinya.
Perjalananku yang tidak memiliki tujuan seharusnya akan dilanjutkan setelah sarapan. Tapi keberadaan seorang wanita di hutan adalah sesuatu yang mengherankan. Bianca, seorang penyihir pemula, entah apa yang sedang dilakukannya di tempat antah berantah ini.
"Nih, kamu pasti haus," aku menyodorkan botol plastik yang berisi air minum, tinggal tersisa setengahnya karena aku telah meminum sebagian.
"Wah! Kamu bahkan punya botol yang bagus!"
Itu adalah reaksi yang berlebihan hanya untuk melihat sebuah botol minum biasa, yang bahkan orang-orang sepertiku akan membuangnya ketika minuman habis atau bahkan meski masih ada air di dalamnya.
Aku tersenyum kecil, dia tampak menggemaskan, sungguh.
"Kalau boleh tahu, ke mana kamu akan pergi setelah ini? Apa masih akan terus berada di hutan?"
"Aku akan langsung kembali ke kota, karena urusanku di sini telah selesai. Kuharap, nanti tidak ada masalah seperti kemarin lagi di perjalanan pulang nanti."
Sebenarnya, aku penasaran tentang urusannya di hutan, sebelum aku bertemu dengannya, seperti apa yang dilakukannya, tapi kurasa itu tidak baik untuk bertanya banyak hal mengenai dirinya ketika kami baru saja bertemu kemarin dengan cara yang tidak biasa. Aku pasti akan dianggap lancang, dan dia seharusnya merasa tidak nyaman kalau aku menanyakannya.
Tentu saja, bukan berarti tidak ada hal yang dapat kutanyakan padanya.
"Kota yang kamu maksud... kota apa itu?"
Dia sedikit memiringkan kepalanya mendengar pertanyaan dariku. "Kamu tidak tahu? Itu adalah kota yang paling dekat dengan Kota Pelabuhan Vorlte, Lopentine lho. Kupikir, kamu datang dari kota pelabuhan yang itu dan sedang menuju ke Lopentine, atau mungkin tidak?"
"Bukan begitu," aku menggeleng pelan. "Tapi aku memang datang dari Vorlte. Mengenai Kota Lopentine ini, apa kamu tidak keberatan... jika... kita pergi bersama ke sana?"
"Tentu saja, kenapa tidak?"
"Eh?" Aku, tentu saja terkejut. Aku sempat mengira bahwa dia akan menolak mentah-mentah ajakanku. Padahal aku baru saja memikirkan alasan yang masuk akal agar aku bisa pergi bersamanya ke sana. Mendengar dia mengiyakannya seolah tidak mempertimbangkannya baik-baik, aku tidak bisa berkata-kata.
Apa dia tidak berpikir bahwa aku mungkin saja memiliki niatan terselubung dari ajakan tersebut, sesuatu yang jahat? Seperti, tindakan yang mesum untuk dilakukan saat dia sedang lengah, atau semacamnya.
"Melakukan perjalanan bersama lebih baik, bukan? Di hutan, bahaya bisa datang kapan saja, seperti kejadian yang kemarin. Kali ini, aku akan lebih berjuang untuk memberikan bantuan di belakang ketika itu terjadi," katanya, lalu tiba-tiba raut wajahnya tampak sedih. "Juga, untuk yang kemarin, aku sungguh minta maaf...."
"Aku sebenarnya sama sekali tidak mengerti kenapa kamu merasa bersalah padaku. Tapi, baiklah. Aku memaafkanmu."
Tidak ada cara yang lebih baik untuk menerima permintaan maafnya saat dia memaksa untuk terus meminta maaf. Perasaan bersalah itu, hanya dia yang tahu alasannya. Mungkin tanpa kusadari, dia membuat kesalahan terhadapku. Tapi, karena aku tidak mengetahuinya, aku merasa dia sama sekali tidak bersalah. Hanya dengan memaafkannya, perasaan bersalah itu seharusnya berkurang.
Tidak ada kepentingan lainnya untuk tetap berada di hutan. Hanya sedikit yang perlu dipersiapkan untuk melanjutkan perjalanan.
Matahari belum begitu tinggi, aku dan Bianca memulai perjalanan ini bersama. Tempat tujuan menjadi lebih jelas. Sebuah kota yang paling dekat dengan Kota Pelabuhan Vorlte, Kota Lopentine. Itu akan menjadi langkah pertamaku untuk benar-benar memulai kehidupanku yang baru.
Untuk kesempatan ini, aku akan menggunakannya sebaik mungkin.
Berada dalam zona nyaman seharusnya bukanlah hal yang buruk, asalkan tidak berlebihan. Tapi, untukku, itu adalah mimpi buruk. Bagaimanapun caranya, sebisa mungkin, aku takkan pernah menginjakkan kaki lagi ke zona nyaman, takut kembali terjebak seperti saat itu, yang tentu saja disebabkan ketidaksengajaan dan faktor eksternal juga.
Hidup, bergerak maju, selayaknya waktu yang terus berputar. Itulah yang akan kulakukan untuk ke depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments