Aku berlari dengan perisai yang berayun di sebelah kiri dan tombak yang dengan stabil mengarah ke depan sejajar dengan tinggi bahu di sebelah kanan.
Saat jarak telah cukup dekat, tanpa ragu aku melakukan ancang-ancang dengan tombak yang ditarik ke belakang untuk dilemparkan dengan sekuat tenaga ke arah pejuang orc tepat pada jantungnya.
DENTANG!
Tapi, sesuai dugaan, lemparan tombak berhasil dihalau menggunakan bagian sisi kapak batunya karena pejuang orc baru saja berhasil melepas diri dari lilitan tangan hitam.
Seranganku tidak berhenti sampai di sana.
Aku segera meraih Tombak Logam Ringan yang sedikit terpental. Menggunakan perisai di tangan yang satunya, aku mementalkan diri sendiri karena perbedaan bobot tubuh dan tenaga. Aku memang tak berharap dapat mendorong mundur pejuang orc dengan tenagaku sendiri, tapi aku berhasil mendapatkan kembali tombakku.
"WRAAAAHH!!!"
Pejuang orc, karena pergerakannya sempat dilumpuhkan, dia tampaknya menjadi lebih marah.
Satu kali menghalau ayunan kapak batunya dengan perisai, tangan kiriku menjadi mati rasa karenanya. Namun, aku dapat melakukan serangan balik menggunakan tombak di tangan kanan. Itu berhasil mendaratkan serangan tusukan dangkal yang mengenai bahu kiri pejuang orc, tapi tampaknya pejuang orc tidak begitu terganggu pada lukanya.
Pejuang orc tentu saja telah di posisi siap untuk mengayunkan kapak batunya.
Karena tidak memungkinkan untuk menghalau serangannya, aku segera berguling ke kiri. Namun, posisiku dirugikan karena tidak memungkinkan untuk kembali menghindari serangan dari pejuang orc yang kembali akan datang.
Sekali lagi, pemandangan di mana banyak tangan berwarna hitam bermunculan dari bayangan yang ada di bawah pejuang orc kembali disaksikan olehku dengan jarak yang jauh lebih dekat.
Kapak batu yang akan segera berayun terhenti.
Aku melihat tubuh pejuang orc bergetar, otot-ototnya yang menonjol berkontraksi dengan liar hingga tampak jelas pada permukaan kulit hijaunya yang kusam. Jelas, pejuang orc kembali berusaha keras untuk dapat terlepas dari lilitan tangan hitam tersebut.
Kali ini, aku tidak bergerak menjauh. Memposisikan diri di hadapan pejuang orc sejauh lima langkah atau lebih, aku memasang kuda-kuda bertarung.
Sacred Shield di lepaskan. Kemudian,
Satu, dua, lompat!
Kedua tangan memegang Tombak Logam Ringan dengan erat yang berada di atas kepalaku, mata tombak menghadap ke depan. Tubuhku terus bergerak maju, hingga akhirnya aku menggunakan seluruh tenaga yang kumiliki untuk menghujamkan Tombak Logam Ringan tepat ke jantung pejuang orc. Tombak tidak berhasil menembus sampai ke punggungnya, tetapi mata tombak yang memiliki panjang satu lengan bawah orang dewasa termakan habis oleh luka tusukan tersebut, tubuhnya sungguh tebal.
Aku segera melompat mundur dengan medorongkan kedua kaki pada perut pejuang orc.
Seharusnya pertarungan telah berakhir, begitulah yang kupikiran. Aku dengan santai mengambil Sacred Shield yang tergeletak di tanah. Saat itulah, wanita penyihir berteriak.
"HEY! DI BELAKANGMU!"
Pejuang orc, dengan tidak melepaskan tombak yang masih menghujam dadanya, segera mengayunkan kapak batunya dengan kecepatan yang jauh lebih cepat dan kuat. Aku berhasil menghalau serangan tersebut, beruntung tepat waktu untuk memposisikan Sacred Shield ke depan.
Tapi, aku terpental dengan keras hingga menabrak pohon.
Pandanganku menjadi sedikit buram.
"UHUK! UHUK!"
Tulang belakangku rasanya seperti telah hancur. Tubuhku lemas. Untuk mengangkat Sacred Shield saja, atau bahkan untuk tetap dapat berdiri saja rasanya sulit.
Lututku gemetaran.
"Ugh..."
Belum sempat menarik napas, pejuang orc mengayunkan kapak batunya tepat mengenai tulang rusuk, membuat tulang pada lengan kananku remuk karena menerima serangan tersebut secara langsung.
Aku, yang kesulitan untuk bergerak, terpental oleh serangan tersebut tanpa daya. Membentur dari satu pohon ke pohon yang lain, tubuhku berakhir tersungkur dengan wajah yang terbenam pada tanah.
Tidak ada tenaga untuk menoleh.
Bayangan pejuang orc sedang berjalan ke arahku tidak membuatku ketakutan.
Aku sungguh tidak mengerti dengan diriku sendiri. Sejak kapan aku menjadi lebih berani? Bahkan di hadapan kematian sekalipun, aku tidak gentar. Apakah karena sebelumnya aku sempat mengharapkan kematian? Aku, tidak tahu. Tapi, kali ini, kematian akan benar-benar datang.
Padahal, belum lama ini aku berhasil keluar dari zona nyaman yang menyebalkan, sayang sekali hidupku akan segera berakhir.
Yah, setidaknya aku menunjukkan sisi keren di hadapan seorang wanita untuk napas terakhirku.
Menurutku, itu keren.
Akhir dari hidupku ini... kurasa, tidak buruk juga.
"Haah...," kelopak mataku terasa semakin berat. Mungkin karena aku tidak memiliki banyak tenaga, untuk sekedar tetap membuka mata saja terasa sulit.
Nasibku telah jelas. Jadi, aku menutup mata untuk merasakan kenyamanan untuk yang terakhir kalinya. Mungkin toleransi rasa sakit telah melebihi kapasitasnya, membuatku tidak lagi merasakan tubuhku sendiri. Itu bagus, daripada aku harus merasa kesakitan di napasku yang terakhir ini.
Ah, benar. Bagaimana nasib wanita penyihir itu, ya? Kuharap, dia selamat. Atau, lebih bagus lagi pejuang orc menghadapi kematiannya bersamaku.
Bagaimanapun, jantungnya telah ditembus oleh serangan tusukan tombak.
Aku hanya bisa berharap pejuang orc memang hanya menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk tidak membuatnya menghadapi kematian sendirian. Pejuang orc yang baik hati mungkin mengajakku untuk pergi ke dalam kematian bersamanya.
Memikirkan hal itu, aku tertawa dalam hati.
***
Saat itu, malam.
Langit tidak tertutupi awan, menunjukkan gemerlap bintang yang berwarna-warni, membentuk suatu pola yang rumit.
Sebuah perapian mengusir udara dingin di sekelilingnya, dan serangga pengganggu seperti yang suka menghisap darah sampai membuat gatal kulit, nyamuk. Butiran abu yang terbakar menari-nari di atasnya, sebelum menghilang entah ke mana.
AAUUUUU...
Suara tersebut terdengar di kejauhan.
Tidak terganggu oleh suara tersebut, seorang wanita yang duduk menghadap perapian sekali-sekali menghela napas pelan. Dia memeluk kakinya yang melipat, membiarkan dagu bersandar dengan malas di atas lututnya. Tatapan matanya rumit, dipenuhi berbagai emosi.
Tidak ada yang tahu apa yang ada dalam pikirannya, selain dirinya sendiri.
Wanita itu tidak sendirian.
Ada seorang pria yang terbaring di dekat perapian. Kelopak matanya tertutup, mungkin dia sedang tidur. Di dekat pria itu, tergeletak zirah lengkap dan sebuah perisai, yang dapat dipastikan milik pria tersebut.
Sementara itu, wanita yang sedang duduk dalam diam mengenakan jubah yang didominasi warna merah. Bagian yang menutupi dadanya maupun dalaman gaunnya yang tampak di antara paha berwarna putih, atau mungkin juga bagian yang menutupi dada itu adalah gaun yang sama. Untuk bagian yang menutupi bahunya berwarna biru, semacam pelindung. Sebuah kombinasi warna pakaian yang membuatnya tampak manis. Juga, tidak lupa pada pinggangnya terdapat sabuk berwarna coklat, senada dengan warna sarung tangannya.
Tidak ada orang lain di sana, selain mereka berdua.
Malam semakin larut, tetapi wanita itu tetap dalam posisi yang sama. Apakah dia tidak merasa pegal atau semacamnya untuk tidak bergerak selama berjam-jam? Itu pemandangan yang cukup aneh.
Dia akhirnya mengubah posisinya, tidak lagi memeluk lutut, namun kakinya tetap sedikit melipat untuk membentuk sudut tumpul. Setelah menatap langit selama beberapa saat, dia menghela napas panjang. Kemudian, pandangan matanya beralih ke arah pria yang sedang terbaring. Sorot matanya kali ini lebih menunjukkan perasaan sedih dan rasa bersalah.
Angin berhembus kencang, datang dari kegelapan hutan untuk meniup helaian rambut coklat kastanye dengan riang, seolah berusaha untuk menghiburnya.
Beberapa helai daun terbawa angin, hanya lewat tanpa menyapa, yang kembali menghilang ditelan gelapnya malam. Mungkin mereka juga sedang menghibur wanita tersebut dengan cara mereka sendiri.
"Dasar pria aneh. Kenapa kamu sampai membahayakan nyawamu sendiri hanya untuk membantuku. Sementara aku, yang kamu bantu, malah...," dia tidak melanjutkannya.
Dia tersenyum sedih, kembali tenggelam dalam pikirannya. Hanya sekilas, iris mata biru gelapnya tampak memancarkan cahaya merah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments