Aku hanya tersenyum mengabaikan perkataan bibi ku yang cantik itu. ku seka tangan ku yang basah menggunakan baju, kemudian bergelayut manja di lengan elis.
"Kakak kedua ayo pulang, hoamz... Aku sudah mengantuk. "
Elis mengelus kepala ku dengan lembut dan tersenyum simpul. "Baiklah, baiklah, ayo kita kembali, dasar gadis nakal, apa yang ada di otak kecilmu ini. "
Aku tertawa mendengar ucapan elis, apa yang ada di otak kecil ku? Tentu saja ingin membahagiakan kalian, aku ingin membawa keluarga ku keluar dari kediaman ini, namun sebelum itu aku harus membalaskan dendam pada keluarga toxic ini dulu. Benarkan.
***
Ke esokan hari,
Suara kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan, secercah cahaya mulai muncul, kegelapan akan segera lenyap berganti pagi.
Sebelum semua orang terbangun, aku berjalan mengendap-endap menuju dapur, dibelakang rumah ibu dan elis sedang mencuci pakaian.
"Apa yang kau lakukan? "
Aku terkejut dan menoleh ke sumber suara, kemudian mengelus dada dengan pelan, syukulah, ternyata elis. Aku memasuk kan sesuatu kedalam baju dengan cepat sebelum ada yang melihat
Elis mengerutkan keningnya.
"Kerutan wajahmu semakin jelas jika berekspresi seperti itu, jadi berhentilah melakukan nya. " Ujar ku acuh tak acuh. Sembari membawa piring makan dan cangkir.
Elis mendengus, namun dia tidak mengatakan apa-apa. Aku pun tidak ambil pusing.
Selesai membersihkan rumah dan menata piring di atas meja makan. Ibu juga sudah selesai memasak nasi dan menyiangi sayur dan menyiapkan bahan masakan.
kami bertiga meninggalkan dapur setelah para bibi-bibi datang. Mereka mendengus kesal, tapi siapa yang peduli, ini adalah aturan kerjanya sekarang.
Selesai sarapan pagi, aku dan dodo bergegas meninggalkan rumah, gena dan beberapa sepupu yang lain tampak juga sudah bersiap untuk pergi.
"dengar, hari ini kami akan mendapatkan makanan yang enak, dan nenek akan memujiku . " Ujar gena saat melewati kami. Ia berjalan dengan angkuh dan menyenggol bahu ku cukup keras.
Cih...
Siapa yang ingin mendapat pujian dari nenek tua itu. Kalau pun dapat makanan enak, aku juga tidak akan membawanya pulang lagi.
***
Bersusah payah aku dan dodo bersembunyi dari gena dan pasukannya, dia terus saja mengikuti kami sejak keluar dari kediaman killer.
Huft. . .
Aku menghembuskan nafas kasar dan duduk selonjoran di atas rumput, akhirnya kami bisa terlepas dari mata gena dan para pengikutnya.
Aku menegadah ke atas langit, hari masih sangat pagi, jika aku mencari sesuatu yang bisa dimakan dan menjualnya masih cukup waktu sebelum sore.
Selain mencari makan diluar, aku juga sudah memutuskan untuk mencari uang, untuk itu aku harus memanfaatkan sumber daya yang ada.
Mengandalkan ayah dan kak dilang, sama saja seperti menguras air laut.
Mustahil.
Sewaktu mendaki gunung kemaren aku dapat menyimpulkan kalau warga desa sangat jarang mendaki gunung.
Dari berita yang aku dengar selain berburu, warga tidak akan naik ke gunung. Ada banyak gosip berseliweran di antara masyarakat, katanya gunung disini ada penunggunya, ditambah banyaknya hewan buas yang sewaktu-waktu bisa menyerang mereka.
Di gunung ini banyak sayuran liar yang tumbuh subur, seperti ubi dan jamur, jika aku mengambil dan menjualnya, bukan kah aku bisa mendapatkan uang.
Saat ini kami sudah ada diatas gunung, aku menyalakan api, dodo duduk bersandar dipohon yang kemaren kami datangi, mulai hari ini, tempat ini akan menjadi markas tersembunyi kami.
Aku memetik jamur dan ubi dengan cepat, dodo juga ikut membantu mengumpulkan nya.
Karena ini masih pagi jadi energi kami masih penuh dan tenaga masih kuat, dodo yang masih kecil juga tampak gesit, dengan cekatan semua ubi dan jamur sudah terkumpul.
Yang membuat aku bingung sekarang adalah, bagaimana kami membawanya turun.
Aku menghela nafas panjang, sudah ada barang yang bisa di jual, malah bingung cara membawanya.
"Kakak." Panggilan dodo membuyarkan lamunan ku.
Tangannya terangkat memperlihatkan ubi-ubi yang sudah di ikat.
Mata ku berbinar seketika. Kenapa aku tidak terfikir hal ini tadi.
Hebat.
Aku menghampiri dodo yang kembali sibuk mengikat sisa ubi yang tinggal beberapa lagi.
"Dari mana kau belajar mengikat seperti ini. " Aku memperhatikan dodo yang terlihat terampil mengikat dan menyimpulkan akar di pucuk ubi.
"aku pernah melihat ayah melakukan ini pada ubi kayu diladang. "
Selesai, ada sekitar 10 ikat ubi, dimana satu ikat terdapat 3 buah ubi dengan ukuran lumayan besar. Jamur kuping aku bungkus dengan daun talas yang cukup lebar dan mendapatkan 3 bungkus dengan satu bungkus berisi lumayan banyak jamur.
Dodo berdiri dari duduknya, ia melihat ke arah ku dengan bingung.
"Kakak, bagaimana kita membawanya, kalau ada yang lihat bagaimana? "
Itu juga yang menjadi pikiran ku, kulirik dodo yang masih tampak bingung, beberapa detik kemudian, aku tersenyum miring kearah dodo.
"Buka baju mu! " Perintah ku pada dodo. Ia malah melotot ke arah ku, dan merentangkan tangan didada, apa yang dia pikirkan dengan otak bodohnya itu.
"Buka bajumu, kita bisa menyimpan ubi dan jamur disana. " ulang ku lagi. dengan pelan aku jelaskan agar bocah ini mengerti dan paham.
"Kenapa harus aku? " Ujarnya keberatan.
"Kau tidak mungkin membiarkan aku yang membuka baju kan? Hei, aku ini kakak perempuan mu! " Teriak ku dengan sengit.
Dodo mengaruk kepalanya. Kemudian terkekeh seperti orang bodoh.
"Kita akan terlambat kalau kau masih banyak berfikir. "
Dengan terpaksa dodo membuka pakaian nya menyisahkan dalaman yang tak kalah usang dari bajunya.
Setelah membungkus ubi dan jamur, kami berdua mulai berjalan ke desa lande, jarak desa lande tidak terlalu jauh karena memang desa itu bersebelahan dengan desa aster, desa tempat tinggal ku.Kami berjalan hampir setengah jam, tepat pukul 11:30, kami sampai didesa lande.
Kami berhenti di kerumunan ibu-ibu yang sedang berkumpul.
Aku menghampiri ibu-ibu itu, dan mengeluarkan ubi serta jamur dari bungkusan baju dodo.
Para wanita yang lewat juga langsung melihat ubi dan jamur yang besar-besar ini.
Ibu-ibu tadi sudah mengerumuni kami berdua. Dodo memegang ujung baju ku, wajahnya tampak pucat, mungkin dia merasa takut karena dikerumuni banyak orang.
"Tidak apa-apa, mereka hanya melihat apa yang kita bawa, mungkin juga akan membelinya. " Bisik ku menenangkan dodo.
"Ubi ini hasil ladang mu? "Seorang wanita paruh baya memegang satu ikat ubi yang berukuran besar.
"Benar, ubi ini sangat manis, dagingnya kuning keemasan, rasanya lebih enak kalau dibakar. "
Jika di kehidupan ku yang dulu, jangan harap aku mau melakukan ini, alasannya? Tentu saja karena malu dan gengsi. Tapi sekarang, jika aku malu, maka aku akan tetap hidup miskin dan dihina.
"Memang ubi yang di panggang lebih enak, ukurannya juga besar. " Wanita paruh baya lain ikut menimpali.
Aku belum paham bagaimana sistem jual beli disini, untuk tiga buah ubi ini entah berapa harga yang pas, tapi aku juga tidak akan membiarkan mereka menipuku, dan membuat ku rugi.
"Bibi, karena ini hari pertama ku jualan, aku berikan harga pasaran untuk satu ikat ubi. "Kata ku dengan senyum yang ramah.
Wanita itu tersenyum dan mengangguk. " Bagaimana kalau tiga koin perak? Hitung-hitung jadi langganan. "
Aku pura-pura berfikir sejenak. Ternyata uangnya koin bukan rupiah. Kemudian aku mengangguk dan tersenyum. "Baik lah, karena bibi terlihat ramah dan baik hati jadi aku berikan satu ikat tiga koin perak. "
Bibi itu tertawa dengan malu-malu.
Kena kau bibi.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Nadine Wulans
lanjutt n semangatt jgn lupa up
2023-08-08
0