Ibu duduk disamping bapak dan kak dilang duduk dilantai. Sementara aku dan elis berdiri disamping ibu menghadap kearah bapak.
"Ibu, kakak kedua. " Panggil ku. Kedua orang yang aku panggil itu langsung menoleh. "Kalian ingat jamur yang aku bawa pulang tempo hari? " Tanya ku ketika perhatian mereka sepenuhnya teralih padaku.
Ibu dan elis hanyak mengangguk menjawab pertanyaan ku.
"Sebenarnya hari itu aku juga menemukan ubi jalar yang banyak. Tapi sengaja tidak membawanya pulang. " Ucap ku melihat ibu dan elis bergantian.
Mata elis melotot bibirnya bergerak seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun sebelum elis bicara, aku langsung melanjutkan perkataan ku.
"Aku dan dodo menjual jamur dan ubi ke desa sebelah. " Ujarku. Kemudian. "Kalian tahu berapa banyak uang yang kami dapatkan? " Tanya ku, kali ini mataku melihat kearah bapak dan dilang.
Wajah bapak dan dilang terlihat penasaran menanti kalimatku selanjutnya.
"42 keping perak, dalam kurun waktu tidak lebih dari dua jam. " Kata ku lagi.
Aku berhenti sejenak. Ingin melihat bagaimana reaksi mereka. Benar saja, mereka ternganga, entah karena terkejut atau tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
"Pakaian dan sepatu itu aku beli dari hasil menjual ubi dan jamur. "Aku melanjutkan ketika tidak ada yang menyela.
" Adik kau serius? 42 keping perak? Itu-i itu berapa banyak dik? "
Elis menatap ku dengan wajah penasaran.
Aku ingat masih punya sisa uang yang kusimpan disaku bajuku. Elis terus memperhatikan setiap gerak gerik ku.
"Ambil ini. " Aku menyerahkan dua koin perak ketangan elis.
Mata elis membulat melihat koin ditangannya, dilang yang tadi duduk dilantai berdiri dan ikut melihat uang koin itu.
Lalu bapak dan ibu kulihat juga penasaran, mungkin karena malu akhirnya mereka menahan diri, terlihat dari cara duduk bapak yang mulai gelisah.
Aku tersenyum puas, ada sedikit rasa bangga karena bisa menghasilkan uang, dimana anak se-usia ku didesa ini hanya tahu soal pekerjaan dapur saja.
"Kakak, perlihatkan uangnya pada bapak. " Pinta ku pada elis yang terus membolak-balik kan koin itu.
Segera elis memberikan koin ditangan nya pada bapak dan ibu. Mata ibu berkaca-kaca, diusapnya koin itu dengan ibu jarinya, seulas senyum terbit di bibir pucat ibu.
Aku benar-benar merasa kasihan pada mereka, sungguh menyedihkan.
Usia ibu dan bapak sudah mulai senja, namun entah sudah berapa lama mereka tidak melihat uang koin ini.
Oh iya, aku baru ingat lagi kalau aku juga membeli roti kukus untuk mereka. Aku berjalan ke arah ranjang dimana dodo sudah tertidur pulas. Aku sedikit berjongkok kebawah ranjang mengambil sebuah bungkusan.
"Ibu, kakak, tadi aku membeli ini untuk kalian. " Aku membuka bungkusan kertas dan memperlihat empat buah roti kukus yang sudah dingin.
Aku berdiri didepan ibu dan bapak, elis dan dilang mendekat ke arah ku.
"Sudah dingin, tapi rasanya pasti masih enak, makanlah. " Aku mencubit sedikit pinggir roti itu dan menyuapi kemulut ibu.
"Ambil." Aku menyodorkan pada elis dan dilang.
Dilang dan elis menyeka tangannya ke pinggang pakaiannya. Lalu mengambil roti kukus itu dengan hati-hati, seolah kasar sedikit saja roti itu bisa hancur.
Dua sisa nya aku berikan pada ibu dan bapak.
"Habiskan dulu roti nya, aku akan melanjutkan cerita setelah kalian selesai. " Ujar ku tersenyum senang.
Dilang menghirup aroma roti kukus itu berulang kali, mungkin dia ingin mengingat aroma roti itu saat dia merasa lapar.
***
Setelah selesai menghabiskan roti kukusnya aku meminta dilang dan elis untuk duduk.
"Bapak, perkataan yang akan aku katakan selanjutnya, sedikit kurang ajar, jadi aku meminta maaf terlebih dahulu. "Ujar ku seraya membungkuk kan badan.
" Katanya kau lelah, istirahatlah, besok kita bicarakan lagi. "kata ibu menyela. Raut khawatir terlihat jelas diwajah keriputnya. Mungkin setelah mendengar ucapan ku barusan ibu jadi sedikit cemas.
Aku menggeleng. " Tidak bu, aku harus mengatakan nya hari ini, dan tidak bisa ditunda lagi. "Jawab ku tegas.
Akhirnya ibu memilih diam dan membiarkan aku bicara.
" Aku akan bicara, tolong jangan menyela dan dengarkan sampai selesai, karena aku hanya akan mengatakan nya satu kali. "Ujarku mata ku fokus pada bapak dan dilang.
" Selama ibu menikah dengan bapak, berapa kali bapak membelikan ibu pakaian? "Pertanyaan pertama ku sukses membuat bapak tersedak.
" Tidak pernah? Atau pernah dulu entah kapan dan bapak sudah lupa saking sudah lamanya. "Bapak menunduk, kulirik ibu meremas jemarinya.
" Tidak apa, tapi bapak pasti sudah menyiapkan mas kawin untuk kakak kedua kan? "Tanya ku lagi. Bapak menganggkat wajahnya dan menatap kearah ku dengan wajah terkejut.
" Hahaha. . . bapak tahu kan kalau kakak kedua usianya sudah 18 tahun! " aku tertawa melihat wajah tercengang bapak.
"Tenang saja pak, kakak kedua mungkin tidak akan menikah. "Ucapku. Wajah bapak semakin keruh. Elis menunduk kan kepalanya. " Siapa yang mau menikahi gadis kumal seperti kakak kedua, lihat tangannya yang kasar. "Aku mengangkat satu tangan elis.
Aku sungguh kasihan pada bapak, saking sibuknya bekerja setiap hari, sampai lupa memperhatikan anak dan istrinya. Tubuh elis kurus, wajahnya kusam dan kering, bahkan kulit hidung dan dagunya mengelupas saking keringnya.
"Sebagai kepala keluarga apa yang sudah bapak lakukan selain mencangkul diladang? " Tanyaku dengan suara dingin.
Wajah bapak berubah, terlihat seperti marah dan juga sedih. Bapak dan dilang menunduk. Mereka keluar rumah pagi buta dan kembali saat makan malam. Tidak ada waktu untuk anak istri untuk sekedar bertegur sapa, karena begitu selesai makan malam bapak akan langsung masuk kamar dan tidur karena lelah seharian diladang.
"Siah, sudah cukup, pergilah tidur. " Tegur ibu karena pertanyaan ku mulai tidak enak.
"Kenapa bu? Apa ibu bahagia? Aku bingung dengan posisi ibu di kediaman ini. Ibu ini menantu atau pelayan? "
"Siaaah." bapak membentak ku dengan suara keras. Dia menatap nyalang kearah ku.
Aku menaik kan satu alisku dan tersenyum miring kearah bapak.
"Oh, ternyata bisa juga membela istri rupanya? Coba bela ibu didepan keluarga bapak, saat nenek dan para bibi menghina dan mencaci ibu, bapak cuma diam saja. Tapi lihat sekarang, bapak menunjuk kan kuasa seorang suami didepan kami? Apa itu berguna? Tidak, sama sekali tidak berguna. "
"Bapak tidak bisa menjadi seorang suami untuk ibu dihadapan keluarga bapak. Lihat wajah keriput ibu, usianya lebih muda dari bibi pertama, tapi lihat wajahnya yang tua itu. "Aku menunjuk ibu yang tertunduk aku yakin wanita itu sedang menangis sekarang terlihat dari bahunya yang naik turun.
Ibu dan elis pasti lelah setiap hari bekerja dari pagi sampai malam. Tangannya selalu keriput dan pasi karena pagi buta sudah mulai mencuci. Malam hari juga harus mencuci piring lagi. Tidak ada waktu bagi mereka untuk berhias diri.
Bapak benar-benar cocok mendapat predikat 𝘢𝘺𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬.
Sekalipun dia tidak pernah mengajari kami, tentang apa pun. Dia hanya tau cara mencangkul saja. Menanam padi, dan sayuran. Ayah dan dilang meski bekerja setiap hari tapi tidak pernah menghasilkan uang. Mereka terus saja mengurus ladang.
Tidak peduli dengan kebutuhan keluarganya, entah itu pakaian atau yang lainnya.
Dalam ingatan siah, sejak kecil dia selalu memakai pakaian bekas milik elis, sedangkan elis dia memakai pakaian ibu, begitupun dengan ibu, dia memakai pakaian bekas dari kakak iparnya, semua pakaian yang kami pakai adalah warisan turun temurun, hah! Lucu sekali.
Laki-laki yang tidak bertanggung jawab.
Ingin sekali aku meneriaki bapak seperti itu. Tapi aku sadar dia adalah bapak ku sekarang. Rasanya tak elok jika aku bersikap terlalu kurang ajar.
"maafkan bapak. " suara bapak terdengar serak. Apa mungkin bapak menangis? Benarkah? "bapak memang tidak berguna. "tambahnya lagi.
Betul! Syukur kalau sadar diri.
" jangan bicara seperti itu, kau sudah bekerja keras setiap hari, itu juga demi kami. "ujar ibu, agar bapak tidak terlalu merasa bersalah.
Yah, tidak aku pungkiri, bapak bekerja diladang, agar kami bisa makan, tapi itu saja tidak cukup, kami butuh tanggung jawab nya lebih dari itu.
Aku berdehem, dan berkata. " pak, sekarang begini, lupakan apa yang sudah aku katakan tadi, sekarang lihat keadaan rumah kita. "
setelah menyerang mental bapak, dengan se-enak jidatnya aku meminta bapak melupakan nya. Yah, mau bagaimana lagi, aku juga tidak tega kalau dia kepikiran sampai sakit bagaimana? Ibu pasti makin repot nanti. Ditambah nenek sihir itu yang bakal terus mengomeli kami.
Bapak dan dilang melihat sekeliling, rumah terlihat lapuk dan terbengkalai.
Aku meminta bapak dan dilang untuk memperbaiki dinding rumah kami besok, tampak wajah keberatan mereka, karena merasa berat jika tidak pergi keladang. Dengan kesal aku mendorong dinding didekat pintu tidak terlalu kuat, namun karena sudah lapuk tentu saja langsung ambruk.
Bapak dan dilang terpaku melihat apa yang aku lakukan. Mereka pun pasti melihatnya kalau aku tidak terlalu menggunakan kekuatan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments