Memory About You

Memory About You

Sazzara Arin

Aku teringat, hari itu saat pertama kali bertemu dengan Sazza. Senin, 24 Juni 2013. Saat musim hujan mendera Kota Bandung. Aku berdiri di halte bus depan sekolah menengah pertamaku, saat itu aku masih duduk di kelas sebelas SMP.

Kakiku berlari menuju ke halte bus dengan tas yang kuangkat ke atas menutupi kepalaku agar tidak basah. Lalu, aku berdiri di halte bus, melihat ke arah hujan yang luar biasa derasnya. Deru hujan dibawa angin membuatku merinding.

Aku menyeka kepalaku yang sedikit basah, lalu menelisik ke arah jalan raya yang dibanjiri air hujan. Kulihat ke depan, banyak sekali orang-orang berlarian menerjang hujan deras hanya karena takut terlambat. Aku juga ingin berlari masuk ke dalam sekolah, namun aku tidak ingin basah.

Suara sepatu yang menginjak air terdengar di telingaku, lalu aku membatin.

Tampaknya seseorang juga tidak ingin basah

Aku melirik sekilas seseorang yang berdiri tidak jauh dariku. Seorang gadis bertubuh kecil, rambutnya panjang, berkulit putih, dan menggunakan tas berwarna kuning kontras.

Aku tidak sempat melihat wajahnya, karena aku harus berlari menuju gerbang yang sedikit lagi ditutup. Sekolah yang benar-benar disiplin, walau hujan badai menerjang saat itu.

Lalu, tepat dua Minggu setelahnya, saat aku ingin bolos kelas mata pelajaran matematika. Aku bertemu dengan gadis yang sama. Apa? Aku tahu darimana kalau itu gadis itu? Tentu saja, dari rambutnya yang panjang dan kulitnya yang putih, serta tas kuning kontras yang dia bawa ke dalam ruang les musik pada saat itu.

"Permisi, kak" Dia menghampiriku, lalu menyerahkan sebuah buku kulit berwarna coklat padaku.

"ini, buku musik kakak. Tadi, mama nya kakak nitip"

Saat dia menyerahkan buku itu, tidak sengaja tanganku menyentuh jemarinya. Lalu, dia menatapku dengan matanya yang jernih. Dan, tersenyum ke arahku.

"Ini pertama kali" ucapnya sambil tersenyum dan menyerahkan buku itu sepenuh nya padaku.

"Aku ketemu orang yang bisa main piano" sambungnya sembari tersenyum manis.

"Lain kali, ajarin aku main piano ya, kak?"

senyum itu benar-benar membuatku mematung, lalu saat dia hendak berbalik aku tersadar.

"Tunggu, na-nama lo, siapa?"

Gadis itu berbalik, lalu menunjuk ke arah nametagnya.

"Sazza...Sazzara Arin"

Sazza, nama yang benar-benar membuat hatiku berantakan. Dan, membuat kepalaku berkali-kali bertanya, mengapa gadis itu menggandeng tas di jam mata pelajaran. Gadis yang benar-benar memenuhi pikiranku saat ini.

•~•~•~•

"Sazza, gue suka sama lo" sama seperti saat pertamakali aku bertemu dengan Sazza. Hujan deras. Saat gadis itu hendak berlari menghindari hujan, dan dia berlari di sebelahku. Kami berlari bersama menuju ke halte bus. Dan, kata itu terungkap bersama angin kencang yang kali ini membuat jantungku berdebar.

Mata jernih itu menatapku dengan wajah bingung, pipi merah karena kedinginan itu bergerak seperti mochi, makanan khas jepang yang rasanya ingin kucubit. Mata Sazza berotasi, melihat kesana-kemari, seperti nya Sazza benar-benar bingung dengan pernyataan tiba-tiba dariku.

"Gak apa-apa, gak usah dijawab juga. Kakak gak nagih kok, kakak cuma bilang aja" aku berucap, mengalihkan pandangan ku ke arah hujan. Lalu, menelisik canggung rintik-rintik hujan itu. Namun, sebuah kecupan mendarat di pipiku membuatku terperanjat.

"Sazza juga" ucap Sazza sembari memegang pipi bulatnya.

Sudut bibirku tidak bisa turun, berapa kalipun aku mencoba untuk menahan senyuman ini, tetap saja dia terlukis. Hatiku rasanya seperti digelitik, dan perutku rasanya dijelajahi ribuan kupu-kupu yang membuatku ingin tertawa sekarang.

12 Maret 2014, Hari Rabu, di halte bus depan sekolah. Setelah, hampir setengah tahun mengenal Sazza. Akhirnya, Sazza yang selalu kucuri pandang padanya. Kini, aku bisa dengan bebas memandangnya.

•~•~•~•~

12 Agustus 2014, Hari Minggu. Sama seperti pasangan lain, hari ini aku merayakan hari jadianku bersama Sazza.

"Mau jalan ke mana, Za? Toko buku, mau?"

Wajah cantik itu merengut, lalu kepalanya menggeleng. Tangan nya menggenggam jari telunjukku. Sazza tidak pernah sepenuhnya ingin menggenggam tanganku.

"Za, kenapa megang tangan kakak kayak gitu?"

Sazza mengangkat tangannya yang menggenggam telunjukku, lalu memegang telunjukku semakin erat.

"Karena Sazza pacar pertamanya Kak Juno, jadi Sazza cuma berhak pegang satu jari aja"

"Terus, nanti kalau kakak punya pacar kedua, ketiga? Harus megang dua jari, tiga jari gitu?"

Sazza tertawa kecil, lalu menggeleng menyanggah.

"Bukan, maksudnya Sazza gak boleh egois. Kata orang, cinta pertama itu gak pernah berhasil. Jadi, Sazza cuma jaga-jaga aja. Kalau Sazza gak berakhir sama Kak Juno, Sazza bisa dengan mudah melepas Kak Juno. Karena, Sazza cuma pegang satu jari aja"

Perkataan itu membuat langkahku berhenti. Aku melepas tangan Sazza yang memegang jari telunjukku, lalu aku menautkan tanganku di seluruh jarinya.

"Kalau kamu pikir buat melepas aku semudah itu. Ya, udah. Aku yang genggam erat kamu. Jadi, kamu gak bisa pergi ke mana-mana. Za, gak apa-apa kalau kamu mudah melepas kakak, tapi kakak gak bakalan mudah melepas kamu"

Sazza menatapku dalam. Bulir-bulir air mata terlihat di pelupuk matanya. Lalu, dengan cepat dia melepaskan tangannya dari tanganku dan menyeka air matanya.

"Za, kamu terharu?" Aku bertanya pada Sazza yang dengan cepat merubah raut wajahnya menjadi tersenyum. Lalu, Sazza menggeleng kuat dan menggandeng tanganku.

"Kak Juno, gimana kalau kita ke kedai ice cream aja?"

"Lagi pengen makan ice cream?"

Sazza mengangguk, lalu menarik tubuhku untuk melangkah menuju ke kedai ice cream tempat langganan Sazza.

"Sazza pengen ice cream vanilla"

•~•~•

12 Desember 2015, tepat di kedai ice cream yang sama aku duduk bersama orang yang sama. Sazzara Arin duduk di depanku dengan wajah yang tampak lebih pucat dari biasanya.

Sembari melahap ice cream vanilla yang biasa dia pesan, Sazza menunduk dalam tanpa berkata sepatah kata. Sudah lebih dua Minggu Sazza tidak pernah mengirim kabar padaku dan akhirnya kami bertemu di kedai ice cream yang kami kunjungi beberapa bulan yang lalu.

"Za, kemana aja?" Tanyaku pada Sazza yang tampak tidak fokus. Sazza berdeham sembari menatapku, lalu kembali menatap ice cream vanillanya tanpa menjawab pertanyaan dariku.

"Za, kakak tanya kamu dari mana aja?"

"Gak dari mana-mana, tuh" jawab Sazza acuh tak acuh membuatku merasa kesal. Lalu, aku mencoba untuk meraih tangan Sazza. Hanya ingin menggenggam sebentar tangan orang yang aku rindukan. Namun, Sazza dengan cepat menyembunyikan tangannya.

"Za? kenapa?"

"Kak, kita putus aja ya?"

Perkataan itu membuat jantungku tiba-tiba bergerak cepat, tubuhku lemas. Dan, waktuku serasa berhenti pada saat itu.

"Putus? Za, bisa kasih tau kakak alasan kamu minta putus?"

"Sazza bosen" ucap Sazza tanpa menatap mataku. Tentu saja aku marah, aku menghela napas berat. Aku diam, mencoba untuk meredam semua emosiku agar tidak meledak di depan Sazza.

"Sazza, kakak lagi gak mau main-main sekarang. Jam segini kakak udah seharusnya masuk bimbingan, tapi kakak sediain waktu buat ketemu sama kamu. Jadi, jangan buat kakak kecewa"

"Sazza, udah capek" berbeda seperti saat Sazza berkata sembari menunduk, kini Sazza menatap mataku dengan pipi yang sudah basah. Wajah Sazza memang terlihat lelah, aku akui saat mataku melihat ke arah wajahnya yang sembab dengan kantung mata panda yang terlihat jelas.

"Za" Panggilku hendak mendekati Sazza, namun aku urungkan langkahku saat Sazza terlihat bangkit ketika melihatku hendak bangkit.

"Sazza, duduk. Kita harus bicara tentang kamu"

Sazza menangis, untuk pertama kali nya Sazza menangis di hadapanku. Sazza menggeleng kuat, lalu mengambil tasnya dari atas meja dan memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Kak, udah ya? Sazza mau pulang. Sazza capek"

Lalu, Sazza berlari sekencang mungkin keluar dari kedai ice cream itu. Tanpa menjelaskan sepatah kata tentang apa yang terjadi padanya.

Dan, aku hanya duduk diam sembari menatap punggungnya yang menjauh dengan jantung yang terasa diremas kuat.

Gue sakit hati, tapi Sazza butuh waktu, batinku saat itu, lalu menggandeng tasku menuju ke sekolah untuk mengikuti bimbingan akhir sekolah.

•~•~•

Sudah berbulan-bulan, tidak ada kabar dari Sazza. Hari-hariku di sekolah terasa begitu hambar, kerinduanku pada Sazza sudah sampai tahap halusinasi.

Saat melihat bungkus kue keju yang biasa kubeli untuk Sazza, aku terbayang wajahnya saat menerima kue keju itu. Dan, saat aku melewati halte bus, aku kembali teringat saat pertama kali bertemu Sazza. Kenangan bersama Sazza tampaknya sudah terlalu dalam tertanam di memoriku. Bahkan, saat aku melihat gadis berambut panjang, berkulit putih dan bertas kuning kontras, aku berlari mengejarnya dan berpikir itu adalah Sazza. Ternyata salah, aku ditipu diriku sendiri.

Bel berbunyi, kelas hari ini adalah kelas akhir sebelum aku menjalani ujian akhir sekolah. Hari itu berjalan seperti biasa, kertas bau tinta menjadi temanku, suara berisik terakhir di sekolah ini dan di kelas ini, akhir dari kehidupan sekolah menengah pertamaku.

"Mana! Mana anak itu! Anak bajingan penyebab anak saya mati!"

Suara teriakan seorang wanita membuyarkan fokus seluruh kelas. Tubuhku tersentak, lalu semua orang berlari melihat ke arah jendela. Suara itu terasa semakin dekat dengan kelas kami.

Sumber dari suara itu mendekat. Seorang wanita paru baya mengamuk memasuki kelas kami, lalu berhenti tidak jauh dari tempat aku duduk.

Wajah wanita itu terlihat begitu berantakan, matanya sembab, rambutnya diikat acak-acakan, hanya baju dan tas branded yang menjadi identitas bahwa dia orang yang berada.

"Kamu" wanita itu menunjuk ke arahku, lalu mendekatiku, memukul keras mejaku membuat semua orang tersentak kaget. Sama denganku yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Kamu Juno Elvaro, anak laki-laki bau kencur yang buat anak saya mati!"

Alisku berkerut, aku tidak mengerti sama sekali maksud dari wanita ini. Hingga, wanita itu menyebut nama seseorang yang selama ini aku rindukan.

"kamu bocah yang goda anak saya, Sazza. Kamu bikin Sazza mati! Gara-gara kamu, Sazza mati!"

"S-sebenarnya apa maksud ibu? S-Sazza, kenapa?"

"Hari itu Sazza seharusnya gak boleh pergi, tapi dia kekeuh buat pergi nemuin kamu! Harusnya hari itu kamu bersama Sazza, tapi kamu biarkan Sazza pergi sendiri! Sazza meninggal karena kamu! Harusnya ada waktu buat selamatin Sazza, harusnya ada kamu di samping Sazza yang bisa nolongin dia!"

Tubuhku rasanya mati rasa, seperti jiwa yang selama ini menetap di tubuhku kabur entah kemana. Napas yang berhembus normal ini, rasanya sulit untuk mengaturnya. Sesak seperti paru-paruku di paksa untuk tidak bergerak. Pasokan oksigen sama sekali tidak membantuku untuk bernapas.

Air mataku sudah seperti air terjun. Bayangan tentang saat aku membiarkan Sazza pergi hari itu membuatku semakin hancur. Punggung Sazza yang menjauh hari itu ternyata saat terakhir aku melihat sosok Sazza.

"Enggak, Tante bohong kan! Gak mungkin Sazza pergi! Dia belum pamit ke saya!"

"Juno. Tenang, nak" Pak Zami, wali kelasku menarik lenganku sebelum aku meraih wanita yang merupakan Mama Sazza.

"Sazza udah pergi! Kenyataan itu gak akan berubah!" Isakan tangis Mama Sazza terdengar menggema di seluruh ruangan. Pekikan sakit atas kehilangan begitu mengiris hati. Orang-orang yang memperhatikan kami hari itu memasang raut iba.

"Ma, udah. Ayo pergi" seorang laki-laki berseragam SMA menarik wanita itu pergi, walaupun langkahnya setengah gontai, wanita itu akhirnya benar-benar meninggalkan kelasku.

Dalam keheningan yang berisik itu, tubuhku luruh ke lantai. Pandangan orang lain yang tidak bisa diartikan itu terasa mencekam. Seperti menagih sebuah klarifikasi dariku.

Namun, ada yang lebih mencekam. Kenyataan tentang Sazza yang sudah pergi dari dunia ini. Kenyataan tentang diriku yang tidak pernah lagi bertemu dengan cantikku Sazza. Kenyataan tentang kenangan yang aku habiskan bersama Sazza tidak pernah terulang kembali.

Sazza, kakak janji. Kakak gak akan pernah bahagia. Sama seperti kamu melepas tangan kakak dan kakak yang kembali menggenggam tanganmu. Seperti saat kakak berkata tidak akan pernah merelakan kamu, walaupun kamu merelakan kakak. Sazza, gadis cantik yang selama setahun ini menghiasi hidupnya kakak. Jangan pernah maafkan kakak yang membiarkan kamu pergi. Karena kakak gak akan merelakan kamu pergi dari ingatan kakak.

Hari itu, 28 Desember 2015. Akhir tahun yang ditutup dengan berakhirnya kebahagiaanku bersama dengan hidup Sazzara Arin. Leukimia yang merenggut Sazza dan kebodohan yang merenggut Sazza dariku. Hidupku, sudah berakhir pada hari itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!