Perasaan

Senja semakin pekat, namun laki-laki ini berjalan lambat menatap langit sembari meninting plastik berwarna hitam di tangan kanannya. Plastik berisi dua buah baterai, satu pensil, kertas kardus kecil, dan dua buah kabel berwarna merah hitam yang dia beli dari toko di dekat rumahnya.

Juno mengetuk pintu sebelum mendorong pintu kayu besar rumahnya untuk masuk. Tidak seperti kesunyian yang biasa menyambut nya, kini aroma masakan gosong tercium pertama kali saat Juno masuk ke dalam rumah nya. Membuat Juno spontan melangkah menuju ke dapur. Memeriksa apakah dia memasak sesuatu sebelum pergi tadi dan lupa mematikan kompornya, namun yang Juno lihat pertama kali bukan kuali terbakar. Tapi, Kinan kakaknya yang dua minggu ini tidak dia lihat, kini sedang mencoba memadamkan api yang berkobar di atas kompor.

Juno bergegas melangkah mendekati Kinan, menarik tubuh kakaknya ke belakangnya agar menjauhi api. Lalu, Juno mengambil handuk dari atas lemari dapurnya dan membasahi handuk itu di wastafel. Kemudian, menutup api itu menggunakan handuk basah.

"Sebenarnya kakak ngapain sih?" Tanya Juno yang jantung nya hampir copot melihat setengah api itu sudah membakar kitchen set mereka.

Kinan tersenyum kaku, lalu menunjuk ke arah bahan makanan yang sudah dia potong, ingin memasak makan malam untuk Juno yang sudah lama tidak dia temui.

"Kakak mau masak buat kamu. Kakak takut kamu kelaparan karena gak pernah makan selama kakak dinas. Kakak juga gak pesan catering buat kamu, jadi-"

"Memangnya aku bodoh? Kalau aku lapar aku juga makan, kak. Juno bukan anak kecil lagi"

Juno mendekati Kinan, lalu menarik tangan Kinan. Memeriksa tangan Kinan apakah ada luka bakar di sana atau tidak.

"Kakak juga tau kamu bukan anak kecil lagi. Tapi, kamu jarang makan, jadi kamu kurus kayak gini- eh" Kinan menatap wajah Juno lekat-lekat. Kinan menemukan perbedaan di wajah adiknya, tidak seperti wajah Juno dua minggu yang lalu.

"Juno, kamu gendutan?" Tanya Kinan sembari mencubit pipi adiknya yang lebih gendut dari sebelumnya. Juno menarik tangan Kinan, lalu menjauhi kakaknya.

"Gak tuh"

"Pipi kamu berisi. Selama kakak pergi kerja, kamu sering jajan ya? Wah, Juno udah besar, udah pinter beli makan sendiri"

"Enggak, aku gak beli" bantah Juno merapikan kerusakan yang kakaknya perbuat. Juno mengambil potongan sayur yang dari potongannya saja Juno tahu bahwa Kinan tidak bakat dalam memasak. Juno memasukkan potongan sayur dan teflon aluminium yang bolong karena terbakar ke dalam plastik.

"Jadi? Gak mungkin kamu ditraktir atau dibawain temen makan siang kan? Kamu kan gak punya temen"

Juno melirik Kinan sekilas, lalu memasukkan plastik itu ke dalam tempat sampah.

"Iya, aku gak punya temen. Tapi, aku punya diriku sendiri. Sekarang kakak lihat sendiri kan? Juno bisa bangkit. Aku udah mandiri sekarang, jadi tugas Kak Kinan sama Juno sekarang selesai. Mulai hari ini Kak Kinan fokus jalanin hidup Kak Kinan sendiri"

Juno mengambil plastik hitam yang dia letakkan di atas meja makan. Lalu, berjalan pergi menuju ke kamar. Sedangkan, Kinan mematung dengan air mata yang meluncur dari pipi kanannya.

Manna, Juno sekarang udah dewasa. Anak itu udah besar sekarang. Udah bukan anak-anak yang menyalahkan diri sendiri atas kematian pacarnya. Bukan Juno saat SMP yang mencintai pacarnya, karena gak bisa mencintai mama nya yang tiba-tiba pergi meninggalkan dia, bahkan sebelum mama ucapkan maaf sama Juno

Kinan mengusap air matanya yang kini mengalir dari dua pelupuk matanya. Kinan tersenyum sembari menangis bahagia.

"Juno, ayo beli makan. Kita makan bareng!" teriak Kinan yang tersadar, lalu berjalan menuju ke ruang tamu.

"Aku kenyang!"

"Kenyang juga harus beli makan! Kakak pesan ya! Ayam goreng bumbu pedas ditambah cola? Gimana?!"

"Kalau udah sampai bilang!"

"Oke!"

•~•~•~

Di depan toko serba ada, Sasa berdiri di depan bangunan toko sembari memegang recehan yang tersisa untuk membeli peralatan praktikumnya.

"Tujuh ribu, mana cukup?" Ucap Sasa menunduk lesu, lalu berbalik badan untuk pergi ke sekolah. Hari ini adalah hari Sasa membuat janji pada Juno untuk mengerjakan praktikum bersama, namun uang Sasa tidak cukup untuk membeli peralatan praktikumnya.

Keuangan Sasa menipis saat Ayah dan Bundanya pamit pergi kembali ke Jakarta untuk keperluan bisnis bersama tantenya. Uang jajannya terbatas, namun barang yang terlanjur Sasa pesan tidak bisa dicancel, berakhir seluruh uang saku yang Ayah dan Bunda Sasa berikan habis untuk membayar paket yang setiap hari datang. Minta kepada Heli juga tidak ada gunanya, karena keperluan Heli lebih banyak darinya.

"Sekarang gimana, issshhh" Sasa meletakkan kepalanya di atas meja sembari menjambak rambut nya. Pikiran seputar perlengkapan praktikum itu terus saja mengganggu nya hingga bel istirahat berbunyi.

"Sa? Kamu kenapa?"

Cio menyentuh bahu Sasa membuat gadis itu tersentak. Sasa melihat ke arah Cio yang berdiri di hadapannya, lalu mata Sasa tidak sengaja melihat ke arah laci meja Cio. Peralatan praktikum milik Cio berada di sana.

"Itu- mau bilang gak apa-apa tapi sebenarnya ada apa-apa. Cio-" Panggil Sasa membuat Cio melihat ke arahnya.

"Kamu ngerjain tugas praktikum hari ini?"

"Iya. Nanti pulang sekolah"

"Bakalan lama gak ya?" Tanya Sasa membuat Cio melirik jam tangannya.

"30 menit? Kalau dihitung dari sini ke Study Cafe dekat SMA Garuda Musara. Kamu tau kan? Cafe dekat perpustakaan kota"

Niat Sasa untuk meminjam peralatan praktikum milik Cio pupus. Jika menjemput peralatan praktikum Cio sejauh itu, Sasa akan butuh uang lebih untuk transportasi, bahkan lebih banyak dari uang tujuh ribu yang kini dia pegang.

"Yah. Y-ya, udah. Kalau gitu"

"Kenapa, Sa?"

"I-itu, niatnya mau minjem peralatan praktikum setelah kamu, tapi kamu pergi nya jauh banget. Jadi-" Sasa menggaruk telinganya, tidak enak sebenarnya mengatakan hal ini pada Cio.

"Ah" Cio mengangguk mengerti.

"Kalau gitu, kamu pakai duluan aja. Aku juga setelah pulang sekolah rapat osis dulu baru ke Study Cafe. Kamu bisa ngerjain tugas praktikum nya selama lima belas menit kan, Sa?"

Sasa mengangguk kuat, lalu tersenyum sumringah. Kekhawatiran tentang alat praktikum kini tidak perlu di pikirkan lagi. Ada Cio yang menyelamatkan nya untuk hari ini.

"Cio, makasih!"

"Sama-sama"

•~•~•~

Bel pulang sekolah berbunyi, seluruh siswa dan siswi bergegas mengemas barang untuk pulang. Begitupula dengan Sasa yang beranjak membawa plastik kresek hitam berisi peralatan praktikum milik Cio, lalu melangkah menuju ke lantai dua. Menghampiri Juno di kelas nya untuk mengerjakan tugas praktikum bersama seperti janji mereka.

Saat sampai di depan kelas 12-2, Sasa mengetuk pintu kelas itu tiga kali. Karena, Juno terlihat meletakkan kepalanya di atas meja, bosan menunggu Sasa yang baru saja pulang, sedangkan kelasnya sudah pulang lebih dulu. Aturan di sekolah mereka memang begitu. Kelas dua belas dipersilahkan pulang lebih dulu, karena beberapa di antara mereka harus mengikuti les tambahan atau belajar mandiri di sekolah.

"Kak Juno" panggil Sasa menghampiri Juno. Namun, tepat sebelum kepala Juno menoleh dan kaki Sasa melangkah, benda yang terakit di atas meja yang Juno duduki membuat Sasa berbalik badan dan bergegas pergi ke lantai satu untuk mengembalikan peralatan praktikum milik Cio. Karena ternyata, Juno sudah membawa. Ah tidak, sudah merakit tugas praktikum itu bahkan saat Sasa belum berada di sana.

Tidak sampai lima belas menit, Sasa kini duduk di sebelah Juno. Praktikum yang sudah terakit itu kini sudah kembali berpisah. Dua buah kabel buaya merah hitam, satu buah tabung reaksi, dua buah pensil yang sudah diraut dua sisi matanya dan air mineral serta garam dapur berada di atas meja Juno sekarang.

"Kita mulai sekarang?" Tanya Juno yang dijawab anggukan oleh Sasa.

"Kamu udah tau langkah-langkah nya?"

"eumm. Belum, kak. Sejujurnya di kelas masih belajar materi kak, belum dijelasin soal praktikum nya. Aku juga gak sempat nonton tutorial nya" jawab Sasa berbohong sedikit. Bukannya tidak sempat menonton video tutorial praktikum itu, hanya saja Sasa sibuk mencari uang di setiap sudut rumahnya. Karena, Sasa membutuhkan uang untuk membeli peralatan praktikum seperti yang berada di depan matanya sekarang. Walaupun, tidak ada gunanya mencari uang di sudut rumah, karena Sasa hanya dapat tujuh ribu.

Juno mendengus, lalu merogoh tas nya. Mengambil kamera dari dalam sana, lalu dipasang di pinggir meja yang hanya merekam tangan mereka berdua.

"Nah, pertama-tama. Masukkan air mineral ke dalam tabung reaksinya" perintah Juno yang langsung dijalankan oleh Sasa. Sasa menuangkan air mineral ke dalam tabung reaksi hingga Juno memintanya untuk berhenti.

"Setengah aja, terus masukkan garam dapur"

"Seberapa banyak, kak?"

"Feeling aja" ucap Juno membantu Sasa menuangkan garam dapur itu hingga Juno rasa cukup.

"Aduk, Sa. Terus, letakkan potongan kardus di atas tabung. Nah, tusuk dua pensil di kardus itu. Iya, sampai pensilnya kena larutan garam di bawahnya"

Juno terus memerintah, dan Sasa dengan fokus mengikuti arahannya.

"Nah, sekarang jepit masing-masing kabel ke mata pensil. Yang hitam positif, yang kuning negatif. Terus, ujung kabel dua-duanya di jepit ke ujung baterainya. Iya, kayak gitu. Udah"

Sasa melepaskan tangannya dari jepitan itu, lalu memperhatikan apa yang terjadi pada hasil praktikum nya. Senyum Sasa merekah saat melihat gelembung-gelembung keluar dari ujung mata pensil. Dengan bersemangat, dia menoleh ke Juno menunjuk ke arah tabung reaksi. Mata pensil itu semakin lama semakin banyak mengeluarkan gelembung seperti gas.

"Keren. Kak Juno tau caranya dari mana?"

"Belajar" jawab Juno, kemudian mengadahkan tangan ke arah Sasa, seperti meminta sesuatu.

"Apa, kak?"

"Buku. Kita harus tulis persamaan reaksinya"

"Ah, iya" Sasa merogoh tas nya, kemudian mengambil buku nya dari dalam sana. Sasa mulai menulis saat Juno menjelaskan persamaan reaksi yang seharusnya menjadi tugas Sasa untuk mencaritahu.

Entah mengapa hari itu, suara Juno yang menjelaskan persamaan reaksi yang bahkan tidak Sasa mengerti terasa begitu candu. Saat Juno sesekali mengibas poni nya yang panjang hingga mengganggu di mata membuat waktu terasa seperti slow motion, bergerak begitu lambat. Efek glittering saat Sasa melihat wajah Juno kembali membuat jantung Sasa berdetak begitu kencang.

Pipi Sasa memerah, begitu Juno tidak sengaja menyentuh tangannya saat membantu Sasa menulis rumus kimia yang tidak dia mengerti. Suara, pemandangan wajah tampan, tulisan yang indah, serta kuku dan jari cantik Juno begitu melekat di kepala Sasa membuatnya sama sekali tidak mengerti tentang pelajaran yang tengah Juno ajarkan. Ah, tidak. Bahkan, Sasa tidak mendengar apapun yang Juno katakan.

Ya, Tuhan. Sebenarnya Sasa kenapa? Rasanya pengen teriak, tapi juga mau muntah. Jantung Sasa kenapa, Ya Tuhan?

Sasa membatin, tidak sadar dirinya kini sedang jatuh. Jatuh ke dalam pesona Juno yang membuat Sasa menyukainya. Namun, saat ini gadis ini masih belum menyadarinya.

Cr : pinterest by Vulpecula

Sasa point of view, waktu lihat Juno jelasin persamaan reaksi sel elektrolisis.

NB : Hanya penggambaran, tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan artis!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!