Sebelum Kejadian Itu...

Hari ini, sama seperti biasanya. Sasa kembali pergi ke sekolah, walaupun kejadian yang tidak mengenakan itu belum lama terjadi. Namun, Sasa tidak ingin bolos sekolah hanya karena gangguan kecil yang orang-orang tidak bertanggungjawab itu lakukan.

Tidak masuk sekolah hanya karena gangguan itu sama saja dengan membuktikan kalau Sasa takut pada mereka. Dan, Sasa tidak ingin melakukan itu. Apalagi, saat ini tidak ada lagi alasan Sasa untuk takut, karena Juno selalu menunggu nya di depan gerbang sekolah.

"Kak" Panggil Sasa melihat Juno yang berdiri di depan gerbang sekolah, namun laki-laki itu tidak merespon. Seperti nya karena earphone yang menyumbat telinganya membuat laki-laki itu tidak mendengar suara Sasa.

Langkah Sasa bergegas mendekati laki-laki itu, namun berhenti tidak jauh dari tempat di mana Juno berdiri. Pemandangan laki-laki tampan di pagi hari, sepertinya pertanda hari akan berlalu dengan baik hari ini?

Mata Sasa berkali-kali melihat wajah tampan itu, namun hari ini dengan perasaan yang berbeda. Bukan perasaan saat hanya sekedar melihat kakak kelas tampan, tapi perasaan seperti melihat laki-laki yang ingin Sasa pertahankan di sampingnya. Laki-laki yang Sasa suka.

Lama menikmati karya seni Tuhan itu, mata Juno yang beralih menatap Sasa membuat gadis itu tersadar. Kemudian, tersenyum ke arah Juno yang mendekati Sasa sembari membuka earphone dari telinganya.

"Selamat pagi, Kak Juno" ucap Sasa dengan senyum yang terukir sempurna di bibirnya. Namun, laki-laki berwajah datar itu hanya mengangguk sedikit.

"Sarapan?"

Sepatah kata yang konteksnya mulai Sasa mengerti itu membuat kepala Sasa refleks mengangguk. Sepatah kata 'sarapan' yang berarti bertanya 'kamu udah sarapan?'

Mendengar jawaban itu, Juno mengangguk, lalu melangkah lebih dulu memasuki gerbang. Kemudian, Sasa mengikutinya dari belakang. Berusaha menyamakan langkah dengan laki-laki yang kembali memasangkan earphone di telinganya. Sasa mencuri pandangan, rahang tegas dan wajah serius Juno membuat senyuman nya tidak tertahan. Pemandangan itu seperti mengundang senyum Sasa tanpa izin.

Juno juga melirik sekilas gadis yang terus mencuri pandang ke arahnya. Di dalam hatinya dia bertanya-tanya, mengapa Sasa melirik nya dengan senyum aneh. Seperti ada sesuatu di wajah Juno yang membuat Sasa merasa lucu.

Juno menghentikan langkahnya, tepat di depan teras gedung sekolah, sebelum mereka melangkah masuk. Juno menoleh ke Sasa, lalu membalikkan tubuh ke arahnya.

"Kenapa?"

"Apa, Kak?"

"Ada sesuatu ya? Di mana?"

"Kak, kalau kakak ngomong itu tolong kalimatnya di lengkapi. Aku gak ngerti maksud kakak?"

Juno mendekati Sasa, wajahnya di dekatkan ke wajah Sasa. Namun, mata Juno menatap dalam mata Sasa. Iya, sangat dalam ke arah pantulan wajahnya di mata Sasa.

"Gak ada. Wajahku gak aneh, kok?" ucap Juno setelah memperhatikan lama wajahnya dari mata Sasa.

"A-an-aneh gimana?! A-apanya?! Kakak gak sopan?!"

Sasa mendorong sedikit tubuh Juno hingga laki-laki itu memundurkan diri selangkah ke belakang. Sedangkan, Sasa menunduk dengan telinga dan pipi yang memerah.

Sa? Mikirin apa?!, batin Sasa pada dirinya sendiri yang mulai berpikiran aneh. Dia salah tingkah, sedangkan laki-laki di depannya terus melihat dirinya lekat-lekat membuat jantung Sasa semakin tidak karuan.

"Mulai dari sini, kita jalan masing-masing aja kak"

"Kenapa?" Tanya Juno dengan wajah polosnya. Sasa melihat sekilas wajah itu, jantungnya kembali berdetak tidak normal hingga membuat Sasa sesak.

Kalau di antar sampai kelas, mungkin aku keburu mati, kak.

Memang, cinta itu buta, tuli dan sesak.

Sasa, gak boleh sendirian. Batin Juno mengikuti Sasa yang sudah melangkah pergi. Iya, sebenarnya tujuan dari Juno menjemput Sasa di depan gerbang dan mengantar Sasa pulang adalah untuk menghindari Sasa bertemu dengan Celine dan teman-temannya.

Karena, kejadian hari itu dan rencana mereka yang Juno dengar. Namun, Sasa yang tidak tahu apa-apa itu tanpa takut melangkah pergi sendirian menuju ke kelas. Walaupun, posisinya kini seorang diri, tidak ada teman, dan tidak ada seseorang yang berpihak padanya. Kecuali, Juno yang berada di lubang yang sama dengannya.

Kaki Juno melangkah mendekati Sasa. Lagi dan lagi tubuhnya bertindak sendiri, namun batin Juno tidak menolak. Kali ini, berbeda dengan kali sebelumnya. Kali ini, Juno benar-benar ingin menjaga gadis ini dari orang-orang jahat yang berniat menjahilinya. Kali ini, Juno bertindak bukan karena gadis ini mirip Sazza, namun karena Juno ingin melindungi Sasa.

Sebagai seorang teman makan siang yang sudah menghabiskan banyak waktu bersama. Walaupun, tidak banyak kata yang terucap dari mulut keduanya untuk saling mengenal, namun mereka sudah cukup akrab untuk saling membantu.

Juno menyamakan langkah dengan Sasa, matanya melirik sekilas wajah gadis itu yang dipoles make up tipis. Sudut bibir Juno naik sedikit. Entah mengapa, hari ini wajah tanpa ekspresi Sasa menarik perhatian nya.

Wajah tanpa ekspresi yang menjelaskan kekhawatiran dan semua perasaan yang Sasa rasakan.

Ketahuan, batin Juno mengetahui suasana hati gadis itu. Sasa yang pura-pura tidak peduli, Sasa yang mencoba berani, dan Sasa yang sebenarnya takut. Semua ekspresi yang tersembunyi di balik wajah penuh senyum yang selama ini Sasa tunjukkan, namun wajah datar dan mata sayu itu menjelaskan semuanya. Walau, tanpa sepatah kata.

Sama, seperti hubungan Sasa dan Juno saat ini.

•~•~•

Bel istirahat berbunyi, namun tidak seperti biasanya Sasa yang datang kepada Juno. Sekarang ini, Juno yang mendatangi Sasa dengan totebag biru tua di tangannya. Tentu saja, Sasa mengenal totebag itu, totebag yang dia antar pada Juno saat Kinan meminta tolong dulu.

"Kak? Tumben banget ke sini?" Tanya Sasa menghampiri Juno yang menunggu di depan kelasnya.

Juno menoleh ke Sasa, lalu mengambil totebag bekal di tangannya kemudian berlalu pergi. Sasa mengikuti langkah Juno dari belakang. Lagi, Juno tidak menjawab pertanyaan nya. Hingga mereka hampir sampai di taman belakang sekolah, namun Juno menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah Sasa yang berdiri di belakang nya.

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Bukan, kamu. Tapi, Asa"

Sasa membalikkan badan. Benar saja, Asa. Ketua kelas 12-2 tengah berdiri tidak jauh di belakang Sasa sembari menundukkan kepala. Perlahan-lahan, Asa mendekat, namun menjaga jarak dari Juno.

"Itu-"

"Kenapa? Bilang"

"Kak" Sasa melihat ke arah Juno, meminta Juno untuk berucap lebih ramah. Pasalnya, Asa yang berdiri di dekat mereka ini menunduk dalam dengan tubuh yang bergetar dan pelipis yang berkeringat. Seperti orang ketakutan.

"K-kamu dipanggil Pak Retno" cicit Asa pelan membuat Juno dan Sasa kesulitan mendengarnya.

"Apa?"

"Kamu dipanggil Pak Retno, kata nya ada urusan"

"Urusan apa?"

"I-itu"

Ucapan Asa terhenti, wajahnya terlihat gelisah. Mulut nya berkomat-kamit tanpa suara dengan mata yang mengedar asal.

Jarak Sasa lebih dekat dengan Asa membuatnya dapat melihat dengan jelas, keringat membanjiri pelipis Asa. Namun, Sasa tidak menghiraukan nya. Sasa pikir mungkin saja Asa punya kenangan buruk dengan Juno. Jadi, Sasa tidak berpikir panjang. Sasa mengambil dua totebag bekal miliknya dan Juno, lalu mengisyaratkan pada Juno untuk memenuhi panggilan Pak Retno sesuai dengan apa yang Asa bilang.

"Kalau gitu, aku tunggu kakak di sana ya?" Ucap Sasa menunjuk ke arah kursi dan meja di taman belakang sekolah, tempat makan siang baru dirinya bersama Juno.

Juno tidak bergeming, matanya menyorot tajam Asa. Alasan yang tidak bisa Asa jawab itu membuatnya curiga. Namun, Sasa berucap membuat Juno bergegas melangkah lebih dulu menuju ke ruang guru untuk menemui Pak Retno.

"Tunggu aku. Jangan ke mana-mana" peringat Juno pada Sasa. Saat gadis itu mengangguk mengerti barulah Juno memimpin jalan di depan, dan Asa mengikutinya dari belakang.

Beberapa menit berjalan, akhirnya Juno sampai di ruang guru. Matanya menelisik, mencari guru laki-laki yang mencarinya, namun matanya tidak menemukan orang itu di sana. Sama seperti Pak Retno yang tidak terlihat, Asa juga menghilang entah kemana.

"Permisi, pak. Pak Retno ada?" Tanya Juno pada laki-laki berseragam coklat muda. Seperti nya guru kelas sebelas yang baru saja masuk sekolah ini.

"Pak Retno ya, dek? Izin bapak itu mah. Katanya teh mau ikut pelatihan guru di cabang dinas"

Juno terdiam, kepalanya mulai berisik. Ada sesuatu yang terasa janggal di sini.

Jangan bilang, Sasa?

Juno menunduk sedikit sebagai ucapan terima kasih pada guru itu. Lalu, kakinya bergegas melangkah kembali ke taman belakang sekolah. Tempat terakhir kali Juno meninggalkan Sasa.

Benar saja, saat Juno sampai di sana gadis itu tidak berada di sana lagi. Tidak, bukan hanya itu yang aneh. Sasa juga meninggalkan dua totebag bekal mereka di atas meja taman.

Sial.

Juno berlari, kesana-kemari mencari keberadaan Sasa. Mulai dari taman, gudang belakang sekolah tempat kejadian terakhir, kantin, hingga ke kelas. Namun, gadis itu benar-benar tidak ada di sana. Telfon dari Juno juga tidak gadis itu angkat. Begitupula dengan Asa, laki-laki itu juga tidak menjawab panggilan Juno.

Juno menghela napas kasar. Rambutnya yang rapi berubah acak-acakan saat tangan Juno berulah menjambak dirinya sendiri saat frustasi.

Saat kaki Juno hendak kembali melanjutkan langkah, seseorang menarik tangannya dari belakang membuat Juno refleksi menoleh.

Itu Eri, teman Sasa.

"Kak. Sa-sasa" ucapnya dengan wajah penuh keringat pada Juno. Tangan Eri dingin, bisa Juno rasakan saat tangan itu menyentuh tangannya.

Eri menghela napas gusar, matanya terlihat menahan tangis nya agar tidak tumpah. Mulutnya terlihat kesulitan menjelaskan sesuatu.

"Sasa. Ada di mana?"

•~•~•~•

Kaki Sasa melangkah gontai, mengikuti dua orang yang menahan erat tanganya. Mereka membawa Sasa menuju ke suatu tempat.

Pandangan Sasa gelap, matanya ditutupi oleh sesuatu membuatnya tidak bisa melihat. Mau tidak mau Sasa mengikuti langkah mereka sembari mencoba menenangkan diri agar tidak panik.

Beberapa saat, hingga seseorang menekan bahu Sasa dari belakang membuatnya spontan berlutut. Penutup mata Sasa terbuka membuat gadis itu memicing silau. Cahaya yang tiba-tiba masuk membuat matanya sakit.

"Hello?" Farah menyapa sembari melambaikan tangan. Dia tersenyum lebar saat Sasa melihat ke arahnya. Sasa mengedar, melihat tempat yang untuk pertama kali dia datangi ini.

"Ini di mana? Kalian mau apa?"

"Ituuuu, rahasia"

Mereka semua terkekeh saat Farah menjawab dengan nada mengejek. Sasa kembali mengedarkan pandangan. Sialan sekali, hari yang Sasa kira akan berjalan baik ternyata berakhir buruk. Sekarang ini Sasa dikelilingi sepuluh anak perempuan berpenampilan bajingan.

Dan, tiga orang yang Sasa kenal berdiri di depan nya. Denada, Celine, dan Farah yang sedang berlakon seperti ketua geng mafia.

Sasa berdecih, walaupun rasanya dia ingin menangis. Akan tetapi, untuk sekarang ini Sasa harus menahannya agar dia tidak terlihat lemah dan mudah diintimidasi. Toh, kejadian ini sudah berkali-kali Sasa rasakan sejak zaman SMP nya.

"Kenapa? Anak mama kalau tanpa Juno, takut juga?"

"Enggak. Cuma aku cuma kaget aja. Ternyata Kak Farah sehina ini"

"Apa? Hina? Lo yang hina!" Farah mendekati Sasa, menarik pipi Sasa kasar hingga kuku nya menggaris pipi Sasa.

"Lihat, Lo cuma anak kecil. Tapi, kira-kira kenapa Juno milih lo? Kenapa bukan gue?"

Darah Sasa menetes dari pipinya, luka gores dari kuku panjang Farah ternyata lebih dalam dari yang dia kira. Sasa meringis, saat Farah masih menekan pipi Sasa, walaupun pipi nya sudah terluka.

"Gue olahraga sampai rasanya mau mati biar tubuh gue jadi bagus. Gue setiap bulan perawatan laser dan sedot lemak cuma buat jadi cantik. Tapi, lo tau? Juno sama sekali gak ngelirik gue, dia malah ngelirik lo? Sall of *****!"

Farah menghempas wajah Sasa hingga kepalanya menoleh ke kanan. Farah menjambak rambutnya, lalu berteriak keras membuat seisi tempat itu melirik ngeri. Farah yang emosi terlihat seperti orang gila.

"Ah, gue ingat. Lo mirip sama cewek itu"

cewek itu? Siapa?

"Celine. Lo inget kan? Anak yang mati dulu, mantan pacar Juno"

"Sazza. Sazzara Arin?"

"Ya. Sazza. Jangan-jangan, dia deketin lo cuma karena mirip mantannya. Sedih banget hidup lo " ucap Farah tertawa puas. Kini semuanya masuk akal, Juno bukannya tidak melirik ke Farah. Hanya saja, ada seseorang yang menghalangi penglihatan Juno dan membuat nya kembali teringat dengan pacar nya dulu.

"Lo. Cuma pengganti"

"Iya kah? Aku gak tau sih, kak. Tapi, bukan nya lebih baik jadi pengganti, daripada gak dilirik sama sekali. Yang menyedihkan itu kakak, berusaha keras buat nyari perhatian ke Kak Juno. Dengan cara begini kakak pikir dia bakalan tiba-tiba tertarik sama kakak? Enggak. Dia makin benci kakak"

"Diam"

"Oh, iya. Kakak juga anak pejabat kan ya? Kira-kira kalau kakak begini ke aku, reputasi orang tua kakak gimana. Ah, bukan. Kehidupan sekolah. Bukan, bukan. Ini perundungan, jadi mungkin aja kehidupan kakak sampai akhir hayat bakalan hancur"

"GUE BILANG DIAM!"

Farah melayangkan kepalan tangannya ke wajah Sasa. Membuat wajah gadis itu menoleh ke kanan dengan rasa sakit di pipinya. Setetes air mata Sasa jatuh menahan rasa sakitnya.

Sasa meludah begitu bau anyir terasa di mulutnya. Sudut bibirnya berdarah, sedangkan pipi Sasa membiru akibat pukulan Farah.

"Diam. Lo pikir gue sempat mikirin diri sendiri sekarang? Gue gak peduli apa pun. Kalaupun lo mati sekarang, gue gak peduli"

Sasa menatap Farah geram membuat gadis itu tertawa kesenangan. Wajah itu, wajah yang Farah ingin lihat. Ekpresi seseorang yang hanya bisa membalas dengan tatapan karena tidak punya kekuatan untuk kekuatan.

"Iya. Lihat sekarang. Anak kecil yang berani ganggu pacar orang"

Sampai di mana lo bisa bertahan

•~•~•~•NEXT!

Jangan lupa Voment!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!