Tubuh Sasa mengikuti langkah Juno hingga ke ruang UKS. Juno melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Sasa, lalu meminta gadis itu untuk duduk di atas brankar, sementara dia memeriksa kompres es batu di dalam kulkas yang berada di ruang UKS.
Mata Juno menemukan kain yang membalut es batu itu, lalu mengambilnya dari dalam freezer dan meletakkannya di atas pergelangan tangan kanan Sasa, sementara tangan nya dia letakkan di atas pergelangan tangan Sasa membantu gadis itu memegang kompres.
Mata Sasa terus mengikuti pergerakan Juno. Saat laki-laki itu berada begitu dekat di hadapannya, mata Sasa tidak berhenti melihat ke arahnya. Bahkan, di jarak sedekat ini Sasa masih menatapnya lekat sembari membatin kagum dengan paras tampan Juno.
Rambut hitam legam laki-laki itu basah karena keringat, mata laki-laki itu yang besar namun sipit terbentuk begitu indah saat Juno menatap ke bawah. Jari-jari panjang dan kulit putih yang diadu dengan jari dan kulit Sasa saat Juno memegang kompres itu membuat Sasa meringis, merasa insecure dengan semua bagian tubuh yang Sasa inginkan itu.
"Lihat apa?"
Sasa mengerjap, tersadar seketika saat Juno bersuara. Sasa menatap langit-langit, lalu menggelengkan kepalanya.
"Gak ada"
Juno melirik Sasa, lalu mengangkat kompres es itu dari tangan Sasa dan memeriksa luka memar yang kini sudah melebar. Juno meringis, lalu mengutuk diri sendiri saat sadar bahwa dirinya bertanggungjawab atas setengah dari luka itu.
"Ayo ke rumah sakit"
Ajak Juno menyadari luka itu semakin parah, lalu menarik tangan kiri Sasa, namun gadis itu tidak bergerak sama sekali. Sasa menahan tangan Juno, lalu saat Juno menoleh ke arahnya, Sasa menggeleng kuat.
"Gak perlu, kak. Sebentar lagi juga sembuh, nanti aku obati di rumah aja"
"Jangan keras kepala. Kamu gak tau kalau luka sepele kayak gini bahaya"
Kedua alis Sasa naik, lalu Sasa tersenyum sumringah. Ini pertama kalinya Juno mengucap kalimat penuh pada Sasa. Bukan sepatah dua patah kata yang biasa Juno ucapkan saat berbicara dengan Sasa.
"Apa ini? Kak Juno khawatir ya?"
Sasa menggoda Juno sembari tertawa kecil tanda bahwa dia bercanda dalam kalimatnya. Namun, berbeda dengan reaksi laki-laki yang kini menatap Sasa dengan tampang serius.
"Iya. Aku khawatir"
Khawatir kamu berakhir seperti Sazza, batin Juno menatap wajah Sasa lama. Rambut yang berantakan, wajah pucat namun tidak terlihat sakit dengan pipi ranum, namun tidak gemuk. Wajah Sasa, sama persis seperti Sazza.
Kalimat itu terucap dari mulut Juno membuat Sasa mematung sembari menatap ke arah Juno. Laki-laki itu juga sama, lalu kembali menarik tangan Sasa untuk dibawa ke rumah sakit.
"Tunggu dulu, kak"
"Apalagi?" Tanya Juno saat Sasa tiba-tiba berhenti, lalu melihat ke arahnya dengan wajah kebingungan. Sasa terdiam lama membuat Juno ikut bingung atas tingkah lakunya.
"Kenapa?"
"eum?" Juno bersuara memasang raut tidak mengerti nya dengan pertanyaan dengan konteks tidak jelas yang Sasa lontarkan.
"Kenapa kakak khawatir? Memangnya kakak siapa?"
Juno terdiam, menatap netra Sasa sembari berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan membingungkan itu. Juno terdiam lama, hingga mendapati sebuah jawaban bagus yang tidak bisa didebat oleh Sasa.
"Aku pelaku"
"Apa?"
Juno menunjuk ke arah pergelangan tangan kanan Sasa yang membiru.
"Setengah dari luka kamu sekarang, itu kesalahanku. Kamu korban dan aku pelaku. Wajar kan kalau aku bertanggungjawab?"
Jawaban itu masuk akal. Sasa mengangguk, hampir saja salah paham dengan perilaku Juno terhadap nya. Sasa tersenyum, lalu menarik tangan Juno untuk pergi ke rumah sakit.
"Jadi, gitu. Aku korban, kakak pelaku. Ya, udah ayo" Ucap Sasa berjalan memimpin.
"Tapi, nanti pulangan beliin roti keju dan susu fullcream ya, kak"
"Kak Juno, nanti pulang sekolah beliin roti keju sama susu hambar ya?"
Ingatan itu terbesit, bersamaan dengan Sasa yang melepas tangan Juno dan melangkah lebih dulu. Siluet Sasa dari belakang mengingatkan Juno memori empat tahun lalu, saat dia menatap punggung Sazza yang menjauh sebagai saat terakhir kali dia melihat sosok Sazza.
"Kak Juno, ngapain? Ayo!"
Sasa berbalik, lalu melambaikan tangannya. Juno melihat ke arahnya, tanpa sadar kaki laki-laki itu melangkah menghampiri nya. Hati Juno menolak, namun tubuhnya dengan refleks mendekati Sasa.
Kerinduan itu tidak bisa bohong, walaupun Juno berusaha untuk membohongi dirinya sendiri bahwa dirinya tidak merindukan Sazza dan menganggap ingatan manis yang selama ini terbayang di benaknya sebagai hukuman bagi dirinya.
Logika mungkin bisa berkata tidak, namun hati tidak bisa ditipu.
Menjauh, dia bukan Sazza. Dan, gak akan pernah jadi Sazza.
Walaupun dia bukan Sazza, tapi untuk kali ini. Aku gak ingin membiarkan gadis ini pergi sendirian
Begitulah logika dan hati Juno bertolak belakang, berargumen di dalam batin yang membuat isi kepala Juno berisik. Namun, tubuhnya ditarik bak magnet oleh Sasa. Dan, berakhir Juno menyamakan langkah dengan Sasa. Tidak membiarkan gadis itu sendirian seperti terakhir kali dia lakukan pada gadis yang dia cintai. Yang berakhir pada penyesalan selama empat tahun membuat hidup Juno terasa seperti neraka.
•~•~•~
"Lukanya gak parah, kok. Cuma memang kalau tidak di atasi dengan baik, darahnya bisa membeku. Cukup kompres rutin dan jangan terlalu sering menggunakan tangan yang memar itu"
Dokter berujar membuat Sasa mengangguk, sedangkan Juno tetap dengan raut wajah tanpa ekspresi nya menatap dokter itu.
"Gak apa-apa, dek. Pacar kamu tangannya baik-baik aja"
Ucapan dokter itu kepada Juno sontak membuat mata Sasa membulat, lalu dia tertawa canggung.
"Bukan. Bukan pacar dok, saya adik kelasnya"
Sasa mencoba menjelaskan sembari menggeleng, melirik penuh arti ke arah Juno yang menatapnya. Lirikan yang berarti jelaskan kita tidak punya hubungan apa-apa. Namun, bukannya menjelaskan Juno malah mengangguk, lalu menarik tangan Sasa dan menggenggamnya.
"Ya udah, kalau begitu. Kami permisi, dok. Terima kasih"
"K-kak? Ma-makasih dokter" Ucap Sasa menunduk sedikit ke arah dokter yang tertawa kecil. Sasa memasang raut tidak suka, namun dia tetap mengikuti langkah Juno, walaupun sedikit sulit karena Juno melangkah lebar.
"Kak?"
"Kak Juno?"
"Kak?"
"Kenapa?" Jawab Juno saat Sasa terus saja memanggilnya. Juno menoleh ke arah Sasa yang menunjuk tangannya yang bertaut dengan tangan Juno.
"Bisa lepas gak?"
Mendengar itu Juno refleks melepaskan tangannya, lalu mengedarkan pandangan nya. Ternyata mereka sudah berjalan jauh meninggalkan rumah sakit yang tidak jauh dari sekolah mereka. Juno tidak sadar dia terus berjalan sembari menggenggam tangan Sasa dengan pikiran yang bercabang.
"Kakak gak apa-apa? Kelihatannya kayak capek gitu?"
"Gak apa-apa" jawab Juno cepat, lalu matanya kembali menelisik.
"Tunggu di sini" ucap Juno kemudian berlari menuju ke minimarket yang berada tidak jauh dari mereka. Tidak lama, Juno kembali membawa sebuah plastik besar di tangannya. Lalu, Juno memberikan plastik besar itu kepada Sasa.
"Ini apa, kak?" Tanya Sasa memeriksa isi dari plastik itu. Dua bungkus roti keju dan dua kotak susu fullcream bersama cemilan lain. Mata Sasa sontak melirik ke arah Juno, tidak percaya Juno menganggap serius ucapan Sasa.
"Aku bercanda loh, kak. Lagian ini banyak banget?"
"Rumah kamu di mana?" Tanya Juno tanpa menjawab pertanyaan dari Sasa. Sasa menatap Juno bingung, lalu memberitahu alamat rumahnya.
Juno berkacak pinggang, pandangannya kembali mengedar, lalu Juno memberhentikan sebuah taksi yang berjalan ke arah mereka.
"Pak, Jalan Metro blok 2 ya" Ucap Juno kepada supir taksi. Saat supir itu mengangguk, Juno membukakan pintu taksi, lalu mendorong tubuh Sasa untuk masuk ke dalam taksi.
"K-kak, t-tapi ini belum jam pulang?"
"Hati-hati"
Juno menutup pintu, lalu berjalan pergi menuju ke sekolah saat taksi itu melaju pergi menuju ke alamat yang Juno katakan.
•~•~•~
"Sasa pulang"
Sasa melangkah masuk ke dalam rumahnya, melempar tas nya di sofa ruang tamu, lalu menuju ke dapur untuk mengambil air minum.
Sebotol air mineral Sasa ambil dari dalam kulkas, lalu menenggak air itu hingga tersisa setengah. Sasa mengedar, lalu mencari-cari sesuatu di ruangan dapur yang kosong.
"Bunda pergi ke rumah Tante Eva"
Seseorang berucap membuat Sasa menoleh ke arah sumber suara. Heli berdiri di depan kulkas, menenggak air mineral sisa Sasa hingga habis.
"Abang? Kok pulang cepat?"
"Tangan" Heli mendekati Sasa, menengadahkan tangan kanan, meminta Sasa menunjukkan luka memar di pergelangan tangannya.
"Bunda kapan perginya, kok Abang tau?" Tanya Sasa sembari menunjukkan tangannya yang memar ke Heli. Sekilas, lalu dia kembali menyembunyikan tangannya.
Heli terdiam saat Sasa tidak mengizinkan nya untuk melihat luka itu. Heli menatap Sasa dengan raut wajah kesal, lalu menghela napas sembari mencubit pipi Sasa.
"Bunda pergi waktu Abang pulang tadi. Udah makan kamu?"
"Belum. Kenapa? Abang mau masak nasi goreng buat aku?"
Heli tersenyum, lalu mengangguk sembari menaikkan lengan kemeja seragamnya. Sasa yang melihat reaksi tidak biasa dari Heli mendekatinya, lalu menatap wajah Heli dengan wajah kebingungan.
"Abang, sakit?"
"Enggak" jawab Heli sembari mengupas bawang untuk membuat nasi goreng.
"Terus, kok Abang aneh?"
"Sa, tadi Abang lihat semuanya" ucap Heli berhenti mengupas nasi goreng dan menoleh ke Sasa menatap adiknya yang menunduk dalam.
"Abang mau nolongin, tapi Abang keinget ucapan Sasa. Sasa segitu gak mau nya ya orang tau kalau Helijah Keano itu abangnya Sasa?"
Sasa spontan menaikkan kepalanya, menatap lurus Heli dengan mata yang berkaca-kaca. Sasa lupa, saat itu Heli juga berada di lapangan. Sasa bukannya tidak ingin meminta tolong pada Heli. Hanya saja, jika semua orang tau kalau Heli adalah Abang nya Sasa, mereka semua akan terus mengusik Sasa.
Alasannya? Tentu saja, karena tampang Heli, prestasi Heli, dan popularitas Heli yang berbeda jauh dengan Sasa. Orang-orang akan mulai mempertanyakan tentang Heli dan membandingkan nya dengan Sasa. Bukannya iri, Sasa hanya tidak nyaman jika hal itu terjadi lagi.
Sasa menghela napas, lalu mengerjapkan matanya agar air mata yang ingin keluar itu kembali masuk. Setelahnya Sasa menggeleng dan tersenyum canggung.
"Buat apa Abang nolongin? Sasa bisa sendiri kok. Lagian kalau Abang nolongin, Abang yang kalah"
"Badan Abang lebih tinggi dari dia, Sa? Kalah darimananya?"
"Mental? Abang kan klemar-klemer. Dibentak ayah karena gak bener ngarahin senter aja Abang nangis, terus ngadu ke Bunda"
Heli berdecak, lalu memasang raut kesalnya.
"Gak bisa. Abang males masak nasi goreng buat kamu" ucap Heli menurunkan kembali lengan bajunya dan berjalan pergi menuju ke ruang tamu.
"Abang, masak! Aku lapar!"
Sasa mengikuti langkah Heli dari belakang, hingga Heli mengambil sekotak susu fullcream nya dari dalam plastik yang terletak di atas meja ruang tamu. Sasa mengambil susu itu paksa saat Heli sudah menenggaknya hampir habis.
"Ih, itu punyaku!"
"Bagi satu"
"Abang! Jangan, gak mau" Sasa meraih susu fullcream itu, lalu saat susu itu kembali pada Sasa, Sasa menenggak susu yang tersisa sedikit itu. Lalu, melirik tajam ke Heli yang tersenyum manis ke arahnya.
"Ganti gak!"
"Iya, nanti" Heli mengambil ponselnya dari atas meja ruang tamu. Lalu, berjalan menuju ke kamarnya. Namun, langkah nya berhenti di ambang pintu menuju ke kamarnya.
"Sa" panggil Heli ke Sasa yang mengutuk Heli sembari memeluk plastik berisi jajanan pemberian Juno.
"APA?"
Heli terkekeh dengan jawaban kesal dari Sasa.
"Cowok yang nolongin kamu tadi, pacar kamu?"
Mata Sasa membulat, lalu dengan cepat dia menggeleng kuat.
"Bukan, kenapa?"
"Shhtt, aneh" kepala Heli miring ke kanan, lalu dia menunjukkan layar ponsel nya ke arah Sasa.
"Kamu viral di base sekolah. Juno ngaku jadi pacar kamu"
"Hah?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Mawar_Jingga
halo kak salam kenal🤗like dan komen mendarat ya mampir dan ikuti "sepotong sayap patah" di tunggu y happy reading☺️
2023-08-12
0