Empat tahun lamanya aku menyimpan luka dan kerinduan pada Sazza. Sazza sudah seperti bagian dari diriku. Kerinduan, kesakitan dan penyesalan yang awalnya terasa begitu menyiksa, kini membuatku mati rasa.
Bayang-bayang dan sosok Sazza yang kurindukan sudah mulai samar. Setiap malam aku meratap, mencoba mengingat suara Sazza lewat boneka beruang putih yang Sazza berikan padaku sebagai hadiah ulang tahun, walau rekaman yang diambil empat tahun lalu itu kini sudah mulai rusak. Tidak lagi mengeluarkan suara jernih dan ceria milik Sazza.
Saat aku mulai lupa dengan suara yang kurindukan. Seseorang muncul dan bertanya pada teman yang tidak pernah ingin aku tanya namanya itu.
"P-permisi, kak?"
Suara lembut, namun lantang. Persis sekali dengan suara Sazza yang menyapaku di ruang musik empat tahun lalu. Tubuhku menyadarinya, tanpa sadar aku menoleh ke arah gadis yang berdiri tidak jauh dari mejaku. Gadis berambut panjang yang dikucir kuda, dan berkulit putih, namun tidak seputih Sazza.
"A-anu, Kak Juno Elvaro yang mana ya?"
Ketika gadis itu menyebut namaku, aku sontak menunduk. Menyembunyikan wajahku karena aku takut mengenal orang yang mirip dengan Sazza lagi. Walaupun, hatiku rasanya campur aduk. Ada tarikan yang membuatku ingin menatap lekat gadis itu, namun di sisi lain aku takut jika dia benar-benar mirip Sazza, aku tidak akan bisa meredam rasa bersalahku dan kembali berkelana di lautan penyesalan.
Sebelum gadis itu mendekatiku, aku menyumbat telingaku dengan earphone, memasang musik sekeras nya dan melihat ke luar jendela. Berharap bisa melarikan diri dari bayang-bayang Sazza. Walaupun, jujur aku merindukannya setengah mati.
Gadis itu mendekatiku, berucap sesuatu yang tidak bisa aku dengar. Lantunan lagu Cars outside oleh James Arthur yang terdengar dengan pantulan bayangan gadis itu di jendela. Sungguh, sejujurnya aku ingin melihatnya dengan jelas. Memastikan dia benar-benar mirip Sazza atau tidak. Bahkan, aku berpikir bagaimana jika gadis itu adalah Sazza?
"t-tugas gue udah selesai kan, No?"
Saat gadis itu pergi bersama temannya keluar dari kelas. Jantungku yang berdetak cepat mulai melambat. Aku menghembuskan napas, mencoba mengembalikan kewarasan dari pemikiran gila yang sempat aku pikirkan.
Suara laki-laki yang setidaknya aku tau namanya Asa itu membuatku menoleh. Aku melepas earphone di telingaku, lalu memandangnya lama dengan batin yang kembali berisik.
Sejak kapan aku meminta Asa untuk melakukan itu? Apa dia takut aku?
Aku mulai bertanya-tanya, namun Asa terlihat tidak nyaman. Lalu, dia berjalan pergi dengan langkah gusar yang membuatku kembali bertengkar dengan diriku.
"Susu fullcream dan roti keju, satu"
Lalu, di hari yang sama di kantin. Aku berdiri di meja pesanan, memesan makanan yang selalu Sazza makan untuk makan siang. Susu fullcream dan roti keju, aku ingat dulu pernah bertanya pada Sazza mengapa dia sering memesan makanan itu. Lalu, Sazza menjawab, Sazza suka saat susu hambar itu bercampur dengan rasa asin dari keju yang dia makan. Tentu saja, dengan pipi yang menggembung dipenuhi roti keju dan susu.
Saat pikiranku tengah berkelana di dunia yang penuh dengan Sazza. Suara yang kukenal itu kembali terdengar.
"Satu susu fullcream dan roti keju"
Lagi, yang terlihat adalah gadis berkucir kuda itu. Saat penjual di kantin berkata roti keju hanya tersisa satu, aku merogoh saku jaket ku cepat dan mengambil uang pas dari dalam sana.
"25 ribu"
Aku meletakkan uang itu di atas meja lalu mengambil bungkusan berisi pesananku. Lalu, aku berbalik dan melangkah pergi untuk menghindar dari gadis itu, namun gadis itu mengikutiku, berdiri di hadapanku tanpa kenal takut. Walaupun, aku adalah seseorang yang belum dia kenal sama sekali. Dia begitu mirip dengan Sazza, gadis periang dan pemberani. Gadis yang akan melawan saat dia merasa diperlakukan tidak adil.
"Minggir"
Aku bermaksud membuat gadis itu menyingkir, namun dia terlihat kekeuh pada pendiriannya.
"Kembalikan dulu roti kejunya"
Tangannya terulur, mataku tidak berani menatap wajahnya. Aku melirik ke arah plastik kresek yang kupegang yang berisi susu dan roti keju yang bahkan tidak bisa aku makan. Tapi, setidaknya dengan melihat makanan yang selalu Sazza makan, aku bisa mencerna makan siang dengan tenang. Dengan begitu, setidaknya aku merasa kehadiran Sazza ketika makan.
Tapi, gadis ini membuat aku merasa ingin memberikan apa yang telah aku beli. Sesuatu terlintas di kepalaku, lalu aku merogoh saku jaket ku dan mengeluarkan selembar uang yang kuambil secara asal. Lalu, meletakkan uang itu di atas tangan gadis itu yang terulur di hadapanku.
Dia, bisa makan yang lain kan?
Aku membatin. Dulu, saat tidak ada roti keju dan susu fullcream di kantin, Sazza tidak akan makan siang. Ah, lagi-lagi Sazza. Lupakan saja.
Aku melangkah pergi meninggalkan gadis itu saat dia menunduk tidak sadar akan kepergianku. Lebih baik begitu, bukan? Dia tidak akan menggangguku dan aku berharap untuk tidak bertemu dengannya lagi.
Sebulan kemudian, semuanya berjalan sempurna. kesakitan ku masih sama, kehidupan sekolahku masih gelap. Semuanya suram, seperti aku yang masih berkelana di dunia yang sama. Dunia yang aku buat empat tahun yang lalu.
Namun, saat dunia itu perlahan melenyapkan emosiku. Saat sedih, bahagia, sakit, dan kecewa tidak bisa kubedakan bagaimana rasanya. Gadis itu berdiri di hadapanku. Mengucap kalimat yang sama dengan apa yang Sazza ucapkan empat tahun yang lalu.
Ucapan itu, membuat hatiku gemerisik.
"Halo? Kak? Kenapa?"
Tangan gadis itu melambai-lambai di depan wajahku, menyadarkanku dari lamunan panjang yang sudah seperti flashback ke masa lalu.
Ini pertama kalinya aku lihat wajahnya, benar-benar mirip Sazza
Aku membatin. Ini untuk pertama kalinya aku menatap wajahnya lekat. Pipi yang gembul, kulit putih yang hampir mendekati putihnya Sazza dan rambut hitam panjang. Namun, ada yang membuat mereka berbeda. Tahi lalat di pipi gadis itu yang tidak ada pada Sazza.
"Permisi, kak. Denger gak sih? Aku transparan ya, kak?"
Gadis ini terlihat frustasi, dia melambai dengan keras di depan wajahku. Aku melihat ke arahnya, lalu membuka earphone yang menyumbat telingaku.
"Apa?"
Untuk pertama kali aku berucap pada orang selain Asa dan guru. Mata gadis itu membulat, lalu dia tersenyum merekah.
"Wah, ternyata bisa ngomong!"
Dia menunjuk ke arahku dengan wajah sumringah. Entah apa yang spesial dari satu kata yang kuucapkan padanya. Lalu, dia mendekatkan totebag berwarna biru tua padaku. Dari bentuknya saja, aku tahu totebag itu titipan kakak perempuanku. Kinan.
"Ini bekal titipan kakaknya kakak. Jangan lupa dimakan!"
Gadis itu berbalik, hendak pergi. Namun, sesuatu menarik perhatianku. Gelang yang tengah dia kenakan. Persis seperti gelang pasangan yang aku berikan pada Sazza. Tanpa sadar, aku beranjak lalu menahan tangan gadis itu hingga dia berbalik arah menatapku dengan penuh tanya.
Aku menunduk, menarik tangannya, memandang lekat gelang itu. Benar, gelang itu benar-benar mirip seperti gelang yang aku berikan pada Sazza dulu.
"Gelang ini, kamu dapat darimana?"
"Kenapa?"
"Jawab"
Gadis ini terdiam, dengan tatapan tidak nyaman dia menatapku sembari menggerak-gerakkan tangannya yang aku tahan. Gadis ini menarik tangan nya, namun aku menggenggamnya erat. Aku perlu tahu darimana gadis ini mendapat gelang ini agar pemikiran gilaku yang menganggap bahwa dirinya adalah Sazza lenyap.
"Lepas, tolong"
"Jawab"
"Aaa-lepas! Sakit tau!"
Gadis ini berteriak lalu memukul-mukul tanganku. Seperti nya tanpa sadar aku meremas tangannya kuat. Aku tersadar, lalu melepas tangannya yang sudah memerah.
"M-maaf"
Ucapku benar-benar merasa bersalah pada gadis ini. Tanpa berucap dia menatapku tajam, lalu berbalik pergi dari kelasku. Meninggalkan aku yang berdiri mematung seperti orang bodoh yang baru sadar akan kelakukan keji yang dilakukannya.
Aku melirik ke kanan dan ke kiri, lalu menghela napas panjang. Sudah pasti, kelas ini menjadikanku atensi menarik yang dijadikan tontonan wajib.
Saat mereka menjadikan aku tontonan, aku menjadikan sebuah nametag kecil yang terjatuh di atas lantai sebagai pusat perhatian. Nametag hitam dengan bingkai warna-warni bertuliskan nama gadis itu.
Erisa Katrina?
•~•~•
Sasa melangkah pelan menuju ke unit kesehatan siswa. Sesekali dia melirik ke belakang dengan mata yang berkaca-kaca sembari memegang tangan kanannya yang memerah menggunakan tangan kirinya.
Setetes air mata jatuh, rasanya tangan Sasa perih. Bukannya cengeng, tapi bekas merah itu sakit saat terkena gelang yang Sasa kenakan. Sasa berjalan sembari mengutuk Juno di dalam hatinya.
Orang gila!
Selain mengutuk, di sisi lain Sasa teringat perkataan ketua OSIS mereka di upacara MPLS minggu lalu.
"********Jangan pakai perhiasan! gelang kek, kalung kek, anting kek, apalagi yang bahannya emas. Bisa bahaya********!"
Bahaya memang, soalnya ada orang gila kayak kak Juno, batin Sasa membuka pintu UKS. Mengucapkan kata permisi lalu masuk ke dalam UKS. Di sana, ada seorang gadis yang duduk di kursi sembari mencatat sesuatu dan gadis lain yang duduk di atas brankar dengan lutut yang diplester.
"Eri?"
"Sasa! Kamu kenapa?" Tanya Eri melihat ke arah Sasa yang berjalan mendekati gadis yang sedang mencatat sembari duduk di kursi. Gadis itu mendekati Sasa, lalu memeriksa tangan Sasa saat Sasa mengulurkan tangannya yang kini memar.
"Ini kenapa bisa kayak gini?" Tanya gadis yang rambutnya tergerai rapi. Namanya Farah, siswi kelas dua anggota PMR yang tengah bertugas di UKS.
"A-anu, kepentok dinding kak, karena pakai gelang jadi gini, hahaha"
Sasa tertawa palsu, lalu melirik Eri yang menatap curiga padanya. Raut wajah Sasa menyiratkan kebohongan dan kebohongan itu terdeteksi di radar Eri yang sudah mengenal Sasa sejak SMP. Kebohongan yang Sasa tutupi demi tidak berurusan lagi dengan Juno.
"Tunggu, ini kayaknya harus di kompres dingin, deh. Kakak ke kantin dulu ya? Minta es batu"
Sasa dan Eri mengangguk, lalu Farah bergegas pergi. Meninggalkan Sasa dan Eri yang saling mencuri pandang.
"Kaki kamu, kenapa?" Tanya Sasa memecah keheningan saat Eri terus menatapnya curiga. Eri menghela napas, lalu memutus pandangannya dari Sasa.
"Jatuh. Kesenggol anggota OSIS waktu lari dari kamu tadi. Untung aja, yang nyenggol ganteng"
"ppffttt" Sasa menutup mulutnya menahan tawa. Namun, tawa itu pecah saat melihat wajah kesal Eri.
"Karma is real, sist. Makanya, tadi waktu aku ajak ikut aja"
"Ketawa aja terus, sendirinya aja luka"
Tawa Sasa lenyap saat Eri berucap. Eri mengubah arah duduk menghadap Sasa, lalu menatap Sasa dengan wajah seriusnya.
"Kenapa bisa kayak gitu? Memarnya biru banget loh, Sa"
"Tadi kepentok tangga, Ri. Buru-buru tadi"
"Bohong dosa loh, Sa. Tadi kata kamu kepentok dinding"
"hmmm, iya kepentok dinding di tangga" Ucap Sasa sembari mengangguk kuat. Namun, tatapan Eri padanya kembali membuatnya terdiam.
"Jujur, di apain kamu sama Kak Juno?"
Sasa terdiam, lalu tersenyum lebar ke arah Eri. Saat Sasa bersama Eri, kebohongan apapun yang Sasa simpan akan tercium oleh Eri. Itulah mengapa Eri tahu semua rahasia Sasa.
Tidak ada pilihan lain selain Sasa menceritakan semua apa yang terjadi padanya ke Eri. Raut serius Eri semakin serius kala Sasa bercerita. Kening Eri berkerut dan wajahnya memasang raut tidak percaya.
"Jadi ini perbuatan kak Juno yang tiba-tiba remas tangan kamu?"
Sasa menunjukkan pergelangan tangannya pada Eri, lalu mengangguk kuat.
"Iya, udah siap ngelabrak Kak Juno gak kamu?"
Eri mematung. Melabrak Juno kata Sasa? Memandangnya saja sudah membuat Eri bergetar. Eri bergidik ngeri sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Membayangkan dirinya memarahi Juno dengan badan sekecil ini saja Eri tidak berani.
"Sa, udah. Lapang dada aja ya? Kita hadapi semuanya tapi sambil sembunyi dari Kak Juno"
Senyuman Sasa timbul, kemudian Sasa tertawa kecil sembari menggeleng tidak habis pikir. Tadi Eri terlihat serius sekali, rasanya jika Juno ada di sana saat Sasa menceritakan itu bisa-bisa Juno termakan tatapan Eri.
"Kalau gitu, oke!" Ucap Sasa mengangguk mantap. Belum terlambat untuk kembali menjauhi laki-laki yang terus saja menciptakan masalah dalam kehidupan sekolah Sasa.
"Gak ada ruginya kan menjauhkan diri dari laki-laki jahat kayak Kak Juno. Udah jahat, gak ramah, gak pernah berterima kasih"
Eri mengangguk setuju saat Sasa mengucapkan semua keburukan Juno.
"Wajah nya lemah lesu kayak kurang makan, selalu pakai earphone. Kayak orang stress"
Eri kembali mengangguk.
"Ri. Kalau di pikir-pikir Kak Juno mirip wibu akut ya?"
"Iyakah?"
Suara laki-laki yang berdiri di depan pintu masuk UKS menarik atensi Sasa dan Eri. Mereka berdua bersamaan menoleh, lalu tersentak saat melihat siluet yang mereka kenal berdiri di sana.
Juno menatap mereka bergantian, lalu melangkah masuk mendekati Sasa. Sasa rasanya ingin lari saat itu juga. Jika bukan karena Eri yang sudah ingin menangis meminta Sasa untuk tidak meninggalkan nya, Sasa mungkin sudah kabur melarikan diri.
Juno mendekati Sasa sembari mengulurkan tangannya ke arah Sasa.
"A-apa? Kak Juno mau apa?"
"Tangan"
Sasa melirik tangannya, lalu wajah Juno. Di dalam hati Sasa membatin.
Mau diapain lagi tangan aku, ya Tuhan!
Tidak ada pergerakannya, Juno mengambil tindakan. Juno meraih tangan Sasa, sedangkan gadis itu terdiam dengan mata yang tertutup. Berpikir kalau Juno akan mematahkan tangannya saat itu. Namun, bukan sensasi sakit dari patah tulang, melainkan rasa dingin menjalar di pergelangan tangan Sasa.
Sasa membuka mata, di depannya Juno berdiri menggenggam es batu yang ditempelkan pada pergelangan Sasa. Sasa menatap wajah Juno penuh tanya. Laki-laki yang tidak tertebak apa isi pikirannya itu membuat kening Sasa berkerut, berpikir keras tentang apa maksud Juno sebenarnya.
"Maaf"
Kata itu terucap dari mulut Juno tanpa aba-aba membuat Sasa dan Eri terperangah. Kata itu keluar secepat kilat, membuat mereka tidak yakin akan apa yang Juno ucapkan sebelumnya.
"A-apa?"
Juno melirik Sasa, namun anggapan Sasa Juno meliriknya tajam. Juno meraih tangan kiri Sasa, lalu meletakkan nya di atas es batu yang terletak di atas tangan kanan Sasa.
"Kataku, maaf"
Juno mengulang ucapan maafnya, lalu menoleh saat suara pintu menarik atensinya. Lebih tepatnya, atensi mereka bertiga. Di pintu masuk UKS, Farah berdiri mematung menatap Juno. Lalu, tanpa basa-basi Juno melangkah pergi dari UKS. Menyisakan Eri, Sasa dan Farah yang menghela napas panjang.
"Ngapain dia ke sini?" Tanya Farah melangkah sembari meninting kain berisikan es batu yang dia ambil dari kantin. Namun, saat kompres es batu itu hendak Farah berikan pada Sasa, ada kompres lain yang terlihat mengompres tangannya.
"Itu-gak mungkin kan?"
Sasa dan Eri saling memandang.
"Dari Juno?"
Sasa mengangguk, lalu tersenyum kaku.
"Tapi kenapa?"
Tanya Farah lagi berhasil membuat Sasa Eri memandang bingung satu sama lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
sabana
sampai sini dulu, jangan lupa mampir di "cinta dibalik Heroin" dan "Bintangku"
2023-08-12
0