Sekarang Aku Tahu

Hari semakin sore dan awan menggumpal di atas langit biru yang menggelap. Tampaknya, hari ini awan yang abu-abu itu tengah menggambarkan suasana hati Sasa.

Kaki nya menapak lurus, mengikuti alur perempatan menuju ke rumah nya yang sekarang berada di depan mata. Namun, batin Sasa berliku-liku, memikirkan kesalahan apa yang sudah dirinya perbuat pada Eri hingga Eri berlaku demikian.

Hingga Sasa tanpa sadar sedari tadi mengabaikan laki-laki yang berdiri di sebelahnya. Laki-laki itu melangkah bersamanya sembari meninting tas Sasa di lengan kanannya. Sedangkan, tas laki-laki itu diranselkan sempurna di punggungnya.

"Rumah kamu yang ini kan?"

Juno bertanya kepada Sasa yang kemudian tersadar dari lamunannya. Sasa mengangguk, lalu tersenyum tipis ke Juno sembari mengucapkan terima kasih. Namun, saat Sasa hendak melangkah masuk Juno menahan tangannya.

"Tunggu"

Ucap Juno menarik tangan Sasa hingga tubuh Sasa berbalik sempurna, lalu Juno menaruh tas yang berada di tangan kanan nya ke Sasa.

"Eh, sejak kapan tas aku ada di kakak?"

"Sejak tadi?"

Jawab Juno yang memang sudah membawa tas Sasa dari sekolah tadi, karena Sasa tidak terlihat ingin membawa tasnya. Saat Juno menjemput Sasa di kelas Sasa tadi, Sasa kehilangan fokusnya dan hanya memegang tas nya di tangan nya hingga menyeret lantai. jadi, Juno berinisiatif untuk membawakannya.

Juno menarik tangan kanan Sasa, lalu meranselkan tas itu sempurna di punggung gadis itu.

"Jangan khawatir"

"ya?" Tanya Sasa yang tidak mengerti konteks dari ucapan Juno. Juno menepuk bahu Sasa, menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan tinggi Sasa.

"Kejadian itu. Gak akan terulang lagi"

"Kak Juno tau dari mana? Kalau mereka berbuat kayak tadi lagi besok, gimana?"

"Kamu takut?" Tanya Juno kembali berdiri tegak, hingga membuat Sasa harus mendongak menatap wajahnya.

Sejak kapan Kak Juno setinggi ini ya? Atau memang tinggi nya segini?, Sasa membatin, baru saja menyadari ternyata Juno setinggi ini. Padahal, Sasa sendiri sudah tergolong tinggi dibandingkan gadis-gadis lain di kelasnya.

Ah, mungkin karena aku selalu ketemu Kak Juno waktu duduk aja ya?

"Enggak. Buat apa takut? Tadi aku gak lawan mereka karena mereka ramean aja"

"Ah, gitu ya?" Bibir Juno tertarik sedikit, namun mata Sasa menangkap senyuman pelit itu membuat Sasa menatapnya nanar.

"Kak Juno gak percaya?"

"Percaya, percaya"

Kalau marah gini, semakin mirip Sazza, pikirkan itu terbesit di kepala Juno yang membuat senyum pelitnya seketika hilang. Wajahnya kembali berubah datar, membuat Sasa mengerutkan dahi kebingungan.

Ekpresinya berubah secepat itu?, batin Sasa memperhatikan wajah Juno yang kembali ke setelan awal saat pertama kali bertemu dengannya.

Sedangkan laki-laki itu menggerutu memaki dirinya yang seharusnya tidak begini.

Aku bukan orang jahat, Sasa dan Sazza itu berbeda.

"Kalau gitu, aku masuk dulu ya. Kak?"

Sasa bertanya membuat Juno tersadar, lalu mengangguk mengerti.

"Bye, Kak Juno"

"Iya" ucap Juno menepuk pundak kepala Sasa pelan. Lalu, tersenyum tipis setipis tisu di bagi dua.

Sasa membeku, menatap wajah Juno lekat. Rasa ini kembali lagi, rasa geli yang membuatnya ingin tersenyum dan berteriak, rasa seperti jantung berada di tenggorokan, namun tidak sampai membuat mati. Rasa jantung berdegup kencang, membuat napas menjadi sesak. Namun, entah mengapa Sasa menyukai perasaan ini.

Juno yang tanpa sadar meletakkan tangannya di atas puncak kepala gadis itu dengan cepat menyingkirkan tangannya.

Juno, sialan. Dia bukan Sazza.

"Aku pulang dulu, sampai jumpa besok"

Pamit Juno berusaha untuk terlihat alami, padahal dirinya tengah memaki diri sendiri yang melakukan kebiasaan lama nya. Juno melangkah pergi untuk pulang ke rumah, sedangkan Sasa menatap punggung laki-laki itu yang semakin menjauh dengan wajah yang merona.

Gak mungkin.

"Aku gak suka sama Kak Juno kan?"

"Terus kenapa pulang bareng?"

"Anj- kaget!" Sasa tersentak, lalu tubuhnya refleks berbalik melihat ke arah sumber suara. Di ambang pintu rumah, Heli berdiri sembari berkacak pinggang.

"Bundaa! Adek ngomong jelek!" teriak Heli mengadu pada Bundanya. Sasa melangkah cepat menghampiri Heli, lalu mencubit perutnya.

"Sasa gak boleh ngomong jelek ya!"

"Iya, Bunda! Sasa gak ngomong jelek. Abang yang ngomong jelek" ucap Sasa melirik sinis ke Heli yang meringis kesakitan.

"Abang, bosen jadi Abang yang baik ya?" Tanya Sasa pada Heli yang kembali berulah, padahal semenjak Sasa masuk SMA, Heli sudah jarang menjahilinya.

"Enggak, sayangku. Utututu, Abang masih baik kok. Adik kecilku mau makan apa, sayang?"

Heli berujar dengan nada imut sembari mengambil ransel Sasa. Sasa melirik Heli ngeri, jika sudah seperti ini tidak mungkin Heli tidak punya maksud terselubung.

"Abang lupa minum obat cacing?"

"Udah tuh"

"Diputusin sama pacar Abang?"

"Pacar Abang kan ada banyak, diputusin satu juga masih sisa sepuluh"

Sasa memasang raut jijiknya, lalu melangkah masuk menuju ke dapur, karena perutnya sekarang ini benar-benar minta diisi. Sedangkan, Heli mengikuti langkahnya dari belakang.

"Sa. Kamu suka sama cowok itu?"

"Cowok mana? Kak Juno?" Tanya Sasa sembari menegak sebotol air mineral, lalu mengambil roti keju yang berada di atas meja makan.

"Iya, suka gak?"

"Gak tau. Suka ya? Mungkin? Karena belum pernah suka sama orang, aku gak ngerti rasanya. Abang tau?"

"Tau. Rasanya pengen ketemu terus, kalau lihat dia bawaannya seneng. Terus gak mau dia sedih atau diganggu orang lain"

Beberapa rasa itu, Sasa sudah rasakan. Sasa tidak sabar menunggu bel istirahat untuk mengantar bekal Juno. Sasa pikir dia merasakan itu hanya karena ingin menyombongkan lauk yang Bunda masak hari itu. Lalu, saat orang lain mengganggu Juno, Sasa tidak bisa terima. Sasa pikir dia harus membantu dan itu bentuk kemanusiaan. Dan, bahagianya? Beberapa kali Sasa merasakan kebahagiaan itu ketika melihat Juno.Apa itu benar-benar bentuk rasa suka yang sesungguhnya?

"Aku bingung. Coba jelasin lebih spesifik"

"Waktu kamu dekat dia rasanya jantung mau copot, napas rasanya tercekat. Tapi kamu suka"

Rasa itu, persis seperti gejala yang beberapa kali Sasa alami.

"Abang" Sasa menatap wajah Heli serius.

"Kayaknya, aku benaran suka Kak Juno"

Mendengar itu, sesuatu seperti menghantam jantung Heli. Matanya membulat, lalu berubah datar menatap Sasa. Namun, sebisa mungkin Heli bersikap biasa saja.

"Gitu ya? Sasa suka ya? Padahal harusnya gak boleh begini"

"Hmm? Abang bilang apa?"

"Enggak. Gak ada apa-apa"

"Gak ada apa-apa ya? Kalau gitu, Sasa balik ke kamar dulu"

Heli mengangguk sembari tersenyum, sedangkan Sasa melangkah pergi menuju ke kamarnya.

Dari banyaknya cowok, kenapa laki-laki itu sih, Sa.

Heli merogoh saku celananya, lalu mengambil ponselnya dari dalam sana dan menghubungi seseorang.

"Sion, kayaknya adik gue suka sama dia"

"Gitu ya? Ya, udah. Mau gimana lagi? Pilihannya cuma satu kan?"

"Iya. Cuma pilihan itu ya? Mau gak mau, harus gue lakuin. Biar adik gue, gak berakhir kayak dia 'kan?"

•~•~•~•

"Suka ya? Aku suka Kak Juno ya? Kira-kira di sisi mana ya?"

Sasa terduduk di depan cermin di dalam kamarnya, berbicara sendiri dengan bias dirinya di cermin.

"Kepribadian?"

Sasa menggeleng kuat, tidak mungkin itu alasan dirinya menyukai Juno. Kepribadian Juno kan, begitu. Kasar dan tidak ramah.

"Apa, karena pinter?"

Mungkin? Bisa jadi? Kalau dipikir sekali lagi, Sasa merasakan jantungnya berdegup kencang pertama kali saat Juno mengajarinya praktikum kimia. Saat Juno menjelaskan rumus yang tidak Sasa mengerti. Saat itu, Juno penuh karisma.

"Iya sih, kemungkinan karena itu ya? Tapi, kayaknya"

"Karena Kak Juno ganteng?"

Benar. Dibandingkan dengan kepribadian dan kecerdasan yang tidak mungkin membuat seseorang langsung jatuh hati. Berbeda dengan fisik yang bisa langsung menyentil hati dan mengusik pikiran. Juno Alvaro itu kan laki-laki yang punya tubuh tinggi dengan rambut hitam lebat agak panjang, berkulit putih, hidung mancung, punya bahu bidang, dan berlesung pipi.

Pipi Sasa merona begitu sosok Juno terbayang di benaknya. Sosok Juno yang tersenyum ke arahnya, membuat hatinya kembali tidak karuan.

"Jadi ini, rasa ini ya?"

Sasa tersenyum sumringah. Akhirnya setelah bertahun-tahun menjadi seorang remaja, Sasa merasakan rasa suka untuk pertama kalinya. Dibandingkan rasa suka pada makanan, dan rasa suka pada hewan imut. Ternyata, rasa suka pada manusia itu agak, tidak sopan ya?

"Ini apa?"

Sasa menutup wajahnya yang memanas ketika membayangkan sesuatu di benaknya.

"Sasa gila" celetuk Sasa memukul kepalanya pelan ketika membayangkan Juno tengah menggenggam tangannya dan Sasa menaruh kepalanya di bahu bidang Juno.

"Enggak. aku itu kan masih kecil, mana boleh pegangan tangan"

Boleh kok? Kan umur aku udah lima belas. Pegangan tangan itu kan wajar.

"Gak boleh. Sasa setan!" Sasa memukul kepalanya, lalu mengambil novel dari bawah laci meja belajar nya.

"Ih, udah lama" ucap Sasa melihat sampul buku yang sudah usang itu. Sebuah novel yang dipinjamkan seseorang empat tahun lalu.

"La memoria" ucap Sasa membaca judul novel itu. Sasa kembali teringat, saat empat tahun lalu dirinya menangis di depan toko buku hanya karena kehabisan stock novel best seller yang dia incar. Lalu, seseorang meminjamkan novel itu padanya. Itu saat saat ketika Sasa masih senang mengoleksi novel fantasi romantis.

"Kira-kira, kakak tetangga itu pindah ke mana ya? Padahal, dulu sering dikira anak Bunda"

Sasa tersenyum tipis, membuka lembaran kertas novel yang sudah menguning itu. Membaca kembali cerita yang jalan ceritanya samar-samar Sasa ingat. Walaupun, Sasa sudah habis membaca isi novel itu.

"Kalau ketemu lagi. Harus balikin novelnya, atau beliin novel baru"

•~•~•~•

Sasa berdiri mematung di depan kelas 12-2. Kepalanya menunduk, wajahnya memerah, melihat ke arah Juno yang berdiri memandang ke arahnya.

Sial, rasa suka nya separah ini ya?

Sejujurnya Sasa tidak menyangka, setelah menyadari bahwa dirinya menyukai Juno. Melihat wajah laki-laki itu saja membuat jantungnya tidak karuan.

Kak Juno tiba-tiba tambah ganteng, gak berani masuk, ya Tuhan.

"Mau berdiri di sini terus?"

"Sial, an- sejak kapan kak Juno berdiri di sini?"

Tanya Sasa yang kaget pada Juno saat laki-laki itu tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya. Juno menatap asal, lalu mengambil totebag bekal dari tangan Sasa.

"Sejak tadi. Hari ini, makan di tempat lain" Juno melangkah lebih dulu, namun Sasa masih tetap berdiri mematung memandang Juno.

Tuhan kayaknya ciptain Kak Juno waktu lagi niat ya? Ganteng banget, astaga!

"Kenapa diem aja? Ayo" ucap Juno menarik tangan Sasa, membuat jantung Sasa kembali berdegup kencang. Wajahnya yang biasa saja itu menjadi merah seperti tomat. Matanya terus melirik tangannya yang Juno pegang.

Jari-jari Kak Juno juga bagus. Eh, Sasa kamu udah kayak orang mesum!

"Duduk"

Suara Juno menyadarkan Sasa. Tempat dimana kini mereka berada tampak asing di mata Sasa. Gadis itu mengedarkan pandangan, di depan mereka ada sungai kecil dengan pohon yang rindang. Sedangkan, bangunan-bangunan sekolah berada di sisi kanan kirinya. Di tempat ini, juga banyak rumput yang menyerupai bunga.

"Ini di mana kak? Baru pertama kali lihat aku tuh"

"Taman belakang sekolah" jawab Juno sembari membukakan kotak bekal milik Sasa, meletakkan kotak bekal itu di depan Sasa dan menaruh sendok di tangan Sasa.

"Cantik" ucap Sasa sembari menyendokkan nasinya, lalu menyeruput susu fullcream yang berada di sebelah kotak bekalnya. Susu yang Juno belikan.

Lauknya, gak di makan lagi.

Juno membatin melihat cara makan Sasa yang aneh. Nasi putih dimasukkan ke dalam mulut, lalu menyeruput susu fullcream seperti lauk. Coba bayangkan bagaimana rasanya?

"Makan lauknya juga"

"Oh iya, hari ini lauknya lele goreng. Enak tau kak, lele goreng nya dibumbuin sama Bunda jadi enak"

"Iya, enak. Maka nya di makan" ucap Juno menyendokkan nasi ke dalam mulutnya. Mereka berdua kembali terdiam, menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang sedikit membuat Sasa mengantuk.

"Tapi lebih enak susu fullcream, sih"

"Besok, susu fullcream nya gak ada lagi"

"Yah, kakak mau berhenti beli? Nanti aku bisa mati kalau gak ada susu fullcream. Cukup roti keju yang hilang"

"Makanya lauk nya di makan. Nanti Bundamu marah"

Sasa menatap lauknya lama, lalu mengambilnya dan meletakkannya di kotak bekal Juno.

"Kalau gini Bunda gak akan marah, habisin ya, kak"

Sasa tertawa kecil melihat raut wajah datar Juno, namun laki-laki itu tetap menikmati makanannya seperti tidak terjadi apa-apa. Reaksi pasrah itu lucu.

"Besok lauk bunda apa ya?"

"Untuk apa di pikirkan. Kamu kan gak makan lauknya"

"Iya, kan. Tapi, kan aku harus berpikir besok Bunda kasih makan Kak Juno apa ya"

"Sekarang anak Bunda mu aku ya?"

Sasa tersenyum sumringah, lalu tertawa kecil.

"Kalau gitu, Kak Juno jadi Abang aku. Gak mau ah"

Juno melirik Sasa sembari memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

Aku juga gak mau jadi abangmu.

"Makan. Sebentar lagi bel"

ucap Juno mengganti topiknya, membuat Sasa buru-buru memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.

"Pelan-pelan"

"Iya"

Di sisi lain, seseorang memperhatikan mereka dari lantai dua dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan rasa kesal.

"Kak Farah. Lihat apa?"

"Denada. Pulang sekolah nanti, bawa anak itu ke tempat biasa ya. Jadi lemah lembut ternyata gak mempan buat dia"

"Oke, kak"

"Juga, bawa itu ya?"

"Kak, tapi itu kan. Gak boleh. Kak Farah, aku takut dikeluarin dari sekolah"

Farah tersenyum sinis, lalu menekan bahu Denada kuat.

"Sekarang udah pandai menjawab ya? Bawa aja. Gue gak bakalan bawa bawa lo kalau terjadi sesuatu"

"tapi, kakak bisa dipenjara"

"Gue gak peduli. Gue bakalan ngelakuin apa aja selama Juno bisa jadi milik gue. Tanpa dia, lebih baik gue dipenjara, atau sekalian aja mati"

"K-kak?"

•~•~•~•

FYI

SMA Dharmawangsa :

Lantai 1 \= Kelas 10

Lantai 2 \= Kelas 12

Lantai 3 \= Kelas 11

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!