Ingatan tentang hari itu masih lekat. Dulu, saat hari-H eksekusi mati ayah, aku bahkan tidak bisa menangis karena merasa begitu emosi dengan kebodohan yang dia lakukan. Saat Kak Kinan dan Mama menangis begitu pilu menatap layar televisi yang memberitakan eksekusi mati mantan jaksa yang melakukan korupsi, aku termenung dengan pikiran kosong karena tidak tahu harus bereaksi bagaimana atas kejadian itu.
Ayah yang setiap hari lembur dan tidak pernah menyebut namaku itu, sama sekali tidak ada ingatan yang membekas tentang nya di kepala ku. Begitupula, dengan Mama yang kupanggil Mama, namun sama sekali tidak pernah berperan sebagai Mama di dalam hidupku.
Seratus persen hidup mereka dihabiskan untuk bekerja. Rumah hanya sebagai tempat singgah mereka, dan anak hanya sebagai pelengkap agar mereka disebut keluarga. Aku teringat, dulu saat umurku lima tahun dan diserang demam berdarah, yang membawaku ke rumah sakit bukan mereka. Tapi, Kak Kinan yang sebenarnya sudah sibuk belajar untuk ujian nasional. Aku dirawat dua Minggu lamanya, namun tidak sehari pun mereka datang. Bahkan, hanya untuk melihat wajahku sekilas.
Saat semua orang memanggilku anak jaksa korup, hanya satu orang yang tetap berada di sisiku. Walaupun, semua orang ikut mencercanya sebagai pacar anak jaksa korup yang dieksekusi mati. Pacar dari laki-laki yang keluarganya semuanya mati.
Aku ingin menyerah. Namun, ada yang ikut berperang bersamaku, bagaimana caranya aku meninggalkan gadis yang tengah meringkuk dengan seragam dan rambut acak-acakan ini sendirian, saat dia berusaha untuk membelaku?
"Sazza" panggilku menghampiri nya yang duduk meringkuk di depan gerbang sekolah dengan seragam dan rambut acak-acakan. Dan, dengan jejak darah yang berada di hidungnya.
"Kak Juno akhirnya datang" ucap Sazza menyambutku sembari tersenyum sumringah. Tidak sadar dengan kondisi nya yang sudah tidak berbentuk.
Aku mengelap hidungnya dengan tissue, lalu mengusap kepala Sazza agar rambutnya yang berantakan kembali rapi. Lalu, aku duduk di samping Sazza.
"Kamu berantem lagi? Belain kakak lagi?"
"eumm" ucap Sazza mengangguk kuat, lalu meletakkan kepalanya di bahuku.
"Mereka gak tau Kak Juno, jadi mereka berani ngomong jelek tentang kakak. Karena aku tau Kak Juno, jadi aku harus bela kakak"
"Dengan buat badan kamu luka-luka kayak gini? Kamu bela kakak, tapi kamu gak mikirin diri kamu sendiri, Za"
"Ah, sakit. Jangan marahin Sazza lagi, badan aku udah sakit semua tau" ucap Sazza cemberut saat aku hendak menceramahi nya lagi.
Aku menepuk pipi Sazza pelan, lalu mengelusnya.
"Iya, kakak diam"
Aku dan Sazza menatap ke arah jalan raya, melihat ke arah kendaraan yang berlalu lalang melewati kami berdua.
"Suatu hari, kalau Sazza udah gak sama kakak lagi. Sazza harap ada orang yang membela kakak kayak Sazza belain kakak"
"Kalau gitu, mudah-mudahan gak ada. Yang boleh belain kakak cuma kamu"
"Gak bisa begitu. Memangnya Sazza selamanya sama kakak? Kalau gak ada yang belain kakak, setidaknya kakak belain orang lain kayak Sazza belain kakak"
"Gak mau" aku berucap membuat Sasa kembali cemberut. Gadis kecil yang meninting tas kuning ini beranjak berdiri, lalu menatapku kesal.
"Gak bisa gini, Kak Juno ngeselin. Ayo, Kak Juno harus tanggung jawab"
"Tanggung jawab gimana?"
"Beliin Sazza roti keju dan susu fullcream yang banyak!"
•~•~•~
Melihat kondisi Sasa yang meringkuk dengan seragam dan rambut acak-acakan membuatku kembali teringat memori itu. Siluet, posisi, kondisi, kesamaan ini kembali membuatku teringat dengan Sazza.
Kakiku terhenti, mataku menyorot Sasa yang sekarang ini aku bayangkan sebagai Sazza. Mataku tanpa izin ingin menangis, bulir-bulir air mata dengan kurang ajarnya menumpuk di pelupuk mataku. Sesak, sama seperti dulu, apa aku bisa mengelus kembali puncak rambut gadis itu? Walaupun, aku tersadar kembali bahwa gadis itu bukan Sazza saat Sasa menolehkan wajahnya sempurna ke arahku.
"Kak Juno, datang"
"Kak Juno, akhirnya datang"
Deg.
Sazza?
Jantungku berdegup kencang, napasku tercekat, aku melangkah cepat mendekati gadis itu, dan tanpa sadar memeluknya erat. Mataku terpejam, ingatan Sazza yang mulai memudar, kembali terbayang-bayang di kepalaku.
"Kak Juno, ada masalah apa? Mau pinjam peluk Sazza?"
"Kalau Kak Juno capek, istirahat dulu. Nih, bahu aku nganggur"
"Kak Juno belajar berlebihan lagi ya? Sini, Kak Juno harus dihukum karena nyakitin orang yang Sazza sayang!"
"Hey-yo! Kak Juno! Semangat!"
Aku mendekap tubuh yang kukira Sazza itu, suara Sazza yang sudah hampir kulupakan kembali teringat. Beberapa saat, aku tenggelam dalam pikiran sembari mendekap Sasa yang menangis.
"I-itu, kak. Makasih" ucap Sasa yang terduduk di sampingku. Matanya melirik canggung ke arahku. Seperti nya, dia terpikirkan dengan kejadian tadi. Seharusnya aku tidak melakukan itu.
"M-maaf. Aku gak bermaksud"
"Gak apa-apa, kak. Pelukan kakak tadi aku tau maksud nya bukan pelukan laki-laki ke perempuan. Aku paham, tapi tetap aja makasih, kak"
Sasa tersenyum ke arahku dengan mata sembabnya. Sejenak, hatiku merasa bersalah, karena pelukan itu sebenarnya bukan ditujukan padanya.
Mataku menyorot Sasa yang acak-acakan, sangat tidak elok dilihat. Apalagi kemeja seragam nya yang menjiplak karena basah. Aku membuka jas seragamku, lalu memberikannya pada Sasa.
"Kamu gak apa-apa? Mau aku bantu izinkan pulang sekarang?"
"Enggak. Gak perlu. Kak Juno gak perlu repot" ucap Sasa mengenakan jas seragam sekolahku, lalu berdiri dari duduknya.
"K-kak, kayaknya aku harus pergi sekarang. Soalnya, masih ada kelas-"
"Tunggu"
Apa anak ini punya seragam ganti? Masuk kelas dalam keadaan seperti ini sama saja seperti mempermalukan diri sendiri.
"Kamu, bawa seragam ganti?"
"Anu, itu-" Sasa terdiam membuatku mengerti jawaban dari keheningannya.
"Ikut aku"
•~•~•~
"Ambil"
Aku memberikan kaus putih dan jaket abu-abu yang biasa aku kenakan kepada Sasa. Kaus itu tidak pernah aku kenakan sama sekali, aku menyimpannya di loker hanya untuk berjaga-jaga jika ada orang iseng yang mengerjaiku. Sama seperti situasi Sasa sekarang, dulu situasiku juga begitu. Apalagi, saat pertama kali menginjakkan kaki di SMA Dharmawangsa. Tempat kebanyakan alumni sekolah ku dulu bersekolah.
Tapi, apa yang Sasa pikirkan? Gadis ini terus terdiam sambil melihat ke arah tanganku.
"Itu- kayaknya kalau aku yang pakai bakalan kebesaran. Tapi, gak apa-apa, makasih, Kak Juno"
Sasa berucap dengan cepat, bergegas mengambil kaus putih dan jaket yang ada di tanganku dan berlari masuk ke dalam toilet wanita. Sementara, aku menunggu Sasa di depan toilet itu.
"Ah, sialan. Gue kesel, anjir. Seandainya tadi Farah gak ikut campur udah gue habisin itu anak kecil"
"Maksud kakak, Sasa?"
Suara yang menggema dari lorong sebelah toilet itu menarik fokusku. Tidak, maksudku nama yang disebut dalam percakapan itu menarik fokusku. Lagi-lagi, mereka belum menyerah juga mengganggu Sasa. Hembusan asap rokok yang terlihat menyebar hingga ke lorong toilet membuat kakiku melangkah untuk mendekati arah suara.
"Ssshhiiittt! Rokok murahan!"
"Kak Celine kenapa? Bad Mood?"
"Sial. Kalau gak karena ****** sok polos itu dompet gue gak akan dikeluarin dari sekolah. Duit gue udah habis, padahal hari ini tas Gucci keluaran terbaru dirilis"
"Sinting, masih aja mikirin itu. Kan ayah kakak juga punya banyak uang? Ayah kakak pengusaha material kaya raya kan?"
"I-iya, benar. Tapi, gue gak seenak jidat minta terus sama papa gue!"
"Jadi? Gimana? Kakak mau jahilin Sasa lagi gak? Mumpung aku belum puas?"
"Enggak bisa, kita gak boleh bertindak kalau tanpa seizin Farah. Lagian, semua ide ini asalnya dari Farah kan?"
"Jadi sekarang kakak bawahan nya kak Farah?"
"Eh, sialan. Lo kalau ngomong mikir dulu, siapa yang bawahan siapa. Kalau gitu, ayo kita lakuin lagi. Lagian selama Farah gak tau, gak apa-apa kan?"
"Kak Juno, kakak lagi ngapain?"
Aku berbalik, menarik tangan Sasa untuk pergi dari sana sebelum mereka menyadari keberadaan kami.
Bel mata pelajaran terakhir berbunyi, ternyata kami bolos cukup lama . Kini, aku dan Sasa berjalan menelusuri lorong menuju ke kelas Sasa yang sudah ada di depan sana. Aku menoleh ke arah Sasa yang sedari tadi diam sembari menunduk ke lantai. Apa kejadian jam makan siang tadi mengganggu pikiran Sasa? Tapi, mengapa aku ingin tahu isi pikiran gadis ini?
"Aku gak tau cara menghibur orang lain?"
"Eum?" Sasa menoleh melihat ke arahku dengan kepalanya yang miring ke kanan.
"Kamu mau permen?"
Tapi, seharusnya aku mencoba untuk menghiburnya seseorang yang sedang ada masalah, kan? Walaupun, aku tidak tahu cara menghibur orang lain, bahkan diriku sendiri. Tidak cara lain yang bisa aku pikirkan, selain memberikan setangkai permen cola yang sering aku makan.
Tangan Sasa yang kecil dan pucat itu mengambil permen dari telapak tanganku. Lalu, tersenyum manis sembari mengucap.
"Makasih, Kak Juno"
Sadar Juno, dia bukan Sazza.
Aku membatin, memperingatkan diriku agar tidak terus salah paham. Sebenarnya, bisa dibilang bukan salah ku juga selalu berpikir gadis ini adalah Sazza. Benar, gadis ini sangat mirip Sazza jika wajahnya tidak diperhatikan begitu mendetail.
Tapi, kenapa aku melakukan ini? Tanganku tidak sadar sudah mendarat di puncak rambutnya. Apa ini insting masa lalu? Apa kebiasaan merapikan rambut Sazza kini kembali lagi?
"Kakak ngapain?"
"Enggak, itu. Ada, debu"
Aku menepuk-nepuk kepala Sasa, membuktikan alasan bodoh yang sudah pasti bohong. Kebiasaan itu, aku harus memaksa diriku untuk melupakannya.
"Oh, benaran ada debu?"
Sasa memegang kepalanya dengan kedua tangan, lalu menepuk-nepuk kepalanya dengan mata yang melirik ke atas. Berusaha untuk melihat ke arah kepala yang semua manusia tidak bisa lihat seberapa kali pun dia berusaha. Perempuan ini, tidak, tidak. Manusia ini lucu.
"Makasih, Kak Juno. Aku balik ke kelas dulu ya?"
"iya"
Sasa berbalik, lalu berjalan menuju ke kelasnya. Namun, seorang gadis yang mengikuti langkah nya dari belakang membuatku teringat dengan percakapan Celine dan gadis itu di lorong dekat toilet tadi.
"Sasa!" panggilku lagi membuat Sasa berbalik badan. Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini, tapi yang pasti aku harus melakukan ini.
"Ayo pulang bareng"
"A-apa, kak?"
"Ayo pulang bareng aku!"
Setidaknya aku harus melakukan ini, agar Sasa baik-baik saja, kan?
"Hmmm, ayo!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments